Terserah

Desain oleh Habil Rahmanda
12-07-2020, 11:30 WIB
Beberapa waktu yang lalu, kata terserah acapkali menggandrungi kalimat-kalimat percakapan khalayak. Mulai bermunculan dalam pelbagai gesekan, yang kemudian berakhir dengan kata lain yang disebut pasrah. Terserah seolah terdengar seperti keadaan hampa, ketika pedagang berujar, "ahh!" pada kekangan gerak, atau tenaga medis yang merasa lelah atas situasi yang kian kabur. Namun, kita tentu tak bisa mendapati muara dari keterserahan tersebut layaknya Snow White bertanya pada sebingkai cermin, "siapakah wanita yang paling cantik di dunia?", dalam dongeng populer koleksi Grimm bersaudara. Lalu, siapa yang patut kita layangkan cuitan?
Terserah, jika memang kesimpangsiuran terasa menggelikan, tetapi tidak pula dapat kita pungkiri bahwa objek pandemi adalah virus yang tak bisa dielu-elukan. Kehidupan terus berjalan sedemikian rupa, ada banyak hal yang mungkin tak terduga. Pandemi di tahun ini, memaksa beberapa kegiatan dilakukan dari rumah, dan tentu penyusaian dan kebijakan baru dalam skala besar-besaran dilakukan oleh negara demi menjaga keberlangsungan hidup ribuan nyawa.
Kemunculan tagar "Indonesia Terserah" di jagat media sosial diterjemahkan dengan beragam perasaan. Sebagian melontarkannya sebagai luapan kekecewaan para tenaga medis atas lemahnya ketegasan pemerintah dalam mengeluarkan instruksi, juga bertambah abainya masyarakat menanggapi himbauan untuk beraktivitas dari rumah saja. Terkesan tidak adil di saat tenaga medis yang diagung-agungkan sebagai garda terdepan harus memeras tenaga berkali lipat jika rakyat sendiri cuek dengan aturan. Di sisi lain, kata terserah dapat dimaknai sebagai penolakan pada kebijakan.
Ungkapan teserah agaknya tidak akan terdengar bila masyarakat menaruh kepercayaan pada perubahan kebijakan tersebut, sebab kepercayaan adalah landasan bagi sebuah kepemimpinan. Sehingga akan ramai celotehan orang-orang di kedai kopi persimpangan dan ribuan komentar warganet yang mengamini setiap keputusan pemimpin yang dianugrahi kepercayaan. Lain cerita ketika kepercayaan yang mulai luruh dari masyarakat. Dua variabel yang saling bertolak belakang, adalah masyarakat sebagai acuan dan pemimpin layaknya tumpuan tak saling berujung pada koordinat yang sama, bagaimana kepercayaan akan tumbuh selaras?
Belum lagi di saat kondisi pandemi yang menggerogoti segala aspek bermasyarakat, bisa saja ungkapan ini melahirkan budaya keterserahan dalam artian baik ataupun buruk. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki sifat bawaan dalam mengembangkan bermacam ekspresi, keinginan, serta emosi. Pada perasaan sejumlah orang yang sama tersebut, kemudian diyakini dan diaktualisasi akan menjadi landasan berkembangnya suatu budaya. Lebih akrabnya budaya disandingkan dengan sejarah dan seni, tetapi budaya juga melekat pada aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Kekhawatiran berkembangnya budaya keterserahan terjadi jika membawa pengaruh buruk dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun sebaliknya, jika keterserahan dapat menjadi sinyal ekspresi dan mampu membuka mata berbagai pihak akan sesuatu yang mengganjal, tentu ada baiknya
Komentar
Kirim Komentar