Tuhan, Biarkan Aku Sembuh
Sumber ilustrasi: Istock
Rani Citra Lestari
Seperti hari-hari biasa tak ada ada hari yang istimewa bagi Lita. Lita mengayuh sepedanya dengan lunglai, Ia tahu sebentar lagi bel masuk pasti sudah berbunyi, biarlah. Lita ingin sekali saja merasakan bagaimana rasanya terlambat pergi sekolah agar nanti ada yang menjadi bahan cerita di masa tua, mungkin.
"Ibu tidak mau tahu, Intan yang harus mengikuti lomba itu dan kamu Lita, beri alasan pada gurumu untuk tidak ikut perlombaan itu," meski ucapan itu hanya sebuah perintah biasa tapi bagi Lita itu adalah sebuah ancaman, Ia tahu jika tidak dituruti hanya dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, Lita akan mendapat luka fisik. Kedua, Lita akan dapatkan luka batin karena makian ibunya yang selalu mengatakan,
"Dasar anak tidak tahu diri!"
"Anak tidak tahu di untung!"
Ya, setelah sang ayah pergi meninggalkan mereka selamanya, Lita lah yang selalu menjadi sasaran emosi sang Ibu angkat. Lita yatim piatu, ia dibesarkan oleh saudara ibunya yang memiliki seorang anak perempuan yang sebaya dengannya.
Ancaman di rumah tadi membuat Lita bingung apa yang harus ia lakukan, seandainya ia memilih mundur dan memberi hak perlombaan itu pada Intan lalu berbohong pada guru apakah itu tindakan yang benar. Akan tetapi, jika Lita tetap mengikuti perlombaan itu nantinya apa yang akan terjadi pada dirinya. Lita terkadang bingung mengapa ia harus hidup dengan pilihan yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, apa Tuhan sangat yakin pada pundaknya.
Benar dugaan Lita, ia terlambat sepuluh menit, gerbang sekolahnya sudah ditutup. Seorang guru menghampiri Lita menanyakan mengapa ia terlambat.
"Lita? Kamu terlambat? Tidak biasanya," ujar guru itu pada Lita yang sudah turun dari sepedanya.
"Iya, maaf Bu tadi ban sepeda saya bocor jadi saya perbaiki dulu." Oh Tuhan untuk ke sekian kalinya maafkan Lita harus berbohong pada gurunya. Guru itu hanya mengangguk lalu menyuruh Lita untuk segera masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Gadis dengan tas coklat yang sudah sedikit lusuh itu pun langsung berlari menuju kelasnya.
Lita mengikuti pelajaran sampai waku pelajaran pertama berakhir. Para siswa kelas Delapan yang sedang menunggu mata pelajaran kedua itu pun memilih untuk bercanda ria dengan teman sebangkunya. Lita tetap diam di tempat duduknya sambil menulis ulang naskah puisi yang diberikan oleh gurunya untuk dilombakan itu terlonjak kaget karena Intan yang tiba-tiba duduk pada bangku di depannya.
"Eh Lita, kamu dengarkan perkataan ibuku tadi pagi? Malam nanti harus aku yang ada dipanggung perlombaan!" Tuntut Intan pada Lita. Lita hanya diam, bahkan tak sedikit pun dari kegiatannya tadi yang berubah.
"Awas saja ya Lita, kalau kamu tidak melakukan apa yang ibuku suruh, jatah makan mu akan semakin dikurangi ibuku bahkan lebih sedikit dari hari-hari sebelumnya." Usai mengatakan itu Intan beranjak dari kelas Lita.
Perihal makan, ya Lita selama ini hanya mendapat setengah porsi makan setiap harinya. Lita diperlakukan layaknya pengemis yang perlu dikasihani. Terkadang Lita ingin marah pada keadaan, ia ingin marah pada ayah dan ibunya, ia ingin marah apakah ia senakal dan sejahat itu sampai ia harus ditinggal sendirian?
Selama ini Lita hanya menuruti apa keinginan sang ibu dan saudara angkatnya, jika ia menolak seperti yang dikatakan tadi, Lita akan menerima dampaknya. Entah sudah berapa luka yang ada pada batin Lita. Luka itu merubah Lita yang dulunya anak yang sangat ceria menjadi gadis yang tak bisa apa-apa, menjadi gadis yang selalu murung.
Pelajaran telah usai untuk sementara, karena Lita akan mengikuti lomba baca puisi antar sekolah se-Kabupaten ia diminta gurunya, Bu Alin untuk latihan setelah jam istirahat selesai. Lita latihan bersama guru di aula sekolah.
Ucapan ibunya pagi tadi ditambah dengan desakkan dari Intan memenuhi kepala Lita sehingga ia sedikit gagal fokus dalam membacakan puisinya. Bu Alin yang memperhatikan Lita pun kebingungan ada apa dengan Lita hari ini.
"Lita, istirahat sebentar, dari tadi ibu lihat kamu tidak fokus, ada apa?" Ujar Bu Alin pada Lita yang terlihat tidak semangat.
"Gapapa bu, Lita baik-baik aja," bohong Lita.
"Lita, ibu tahu kamu bagaimana, jadi ada apa? Jangan takut." Bu Alin meyakinkan Lita sambil menyentuh pundak Lita dan saat itu juga Lita meringis kesakitan. Bu Alin semakin yakin ada yang tidak beres, tanpa menunggu Bu Alin memeriksa bahu Lita dan saat itu juga bu Alin tercengang tak percaya melihat bekas luka bakar pada pundak Lita.
"Bu, kalau Lita gak jadi ikut lomba malam ini boleh gak?" Lirih Lita berharap Bu Alin menganggukkan kepalanya agar Lita dapat terhindar dari masalah besar dengan ibunya nanti.
"Kenapa? Kenapa Lita tidak mau? Apa ada yang mengancam?" Lita hanya diam tidak menjawab, kepalanya mulai menunduk, Lita menangis.
"Lita bilang sama ibu kalau ada yang mengancam dan luka apa ini?" Desak Bu Alin menetap Lita dengan penuh kekhawatiran.
"Lita takut bu, Lita tidak kuat, Lita mau semua berakhir," racau Lita dengan suaranya yang bergetar.
"Kalau Lita ikut lomba nanti Lita dihukum lagi sama ibu, ibu maunya intan yang ikut. Intan gak lolos seleksi karna itu ibu marah-marah terus kasih luka ini," jelas Lita pada bu Alin yang sedang menatapnya iba.
Pantas saja sudah setahun ini bu Alin melihat Lita jadi lebih pendiam, ternyata gadis seumur Lita hidup penuh dengan luka dan ancaman.
"Lita kamu harus mengikuti lomba itu, kamu tidak bisa digantikan oleh intan," keputusan bu Alin sudah tidak bisa diganggu.
"Tapi nanti Lita dihukum bu, Lita gak sanggup," ujar Lita yang masih menangis.
"Kamu tidak perlu khawatir yang harus kamu pikirkan gimana kamu bisa tampil maksimal nanti malam, oke? Selebihnya biar ibu yang urus," bu Alin merusaha menenangkan dan meyakinkan Lita agar tetap ikut lomba. Setelah merasa tenang, Lita kembali berlatih.
Malam perlombaan pun datang, Linda dan Intan yang kesal karena Lita tidak pulang memberi kabar pun menyusul Lita ke lokasi perlombaan yang ada di lapangan kantor Dinas Pendidikan daerahnya.
Lita terlihat pucat dan letih, akan tetapi ia menutupi itu semua seolah ia baik-baik saja karena Lita tidak ingin membuat sekolah kecewa padanya terlebih pada Bu Alin. Lita belum makan nasi seharian ini, ia sudah ditawari oleh Bu Alin tapi ia menolak dan mengatakan sudah makan padahal Lita hanya membuat perutnya kenyang dengan meminum banyak air putih.
Bu, Ayah tolong do'akan Lita, Lita tidak mau membuat orang yang menyayangi Lita kecewa jika penampilan Lita tidak bagus. Bu, Ayah semoga kita cepat bertemu, Lita rindu.
Lita melangkahkan kakinya ke panggung yang berhadapan langsung dengan jurinya, ini bukan yang pertama kali bagi Lita tapi tetap saja ia gugup. Lita tampil dengan sangat baik sampai di akhir penampilan Lita tak sengaja melihat ibu dan saudara angkatnya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Tuhan, Lita takut tetapi Lita berusaha untuk tidak peduli, untuk kali ini biarkan ia melakukan apa yang ingin ia lakukan.
Tepuk tangan memenuhi suasana saat Lita berhasil membawakan puisinya dengan baik.
Tibalah waktunya para juri mengumumkan siapa yang menjadi pemenang baca puisi kali ini. Lita tidak berharap banyak, apapun hasilnya ia akan senang dengan itu karena ini pilihannya.
Kebahagiaan untuk Lita karena ialah yang berhasil menyandang juara satu dalam perlombaan baca puisi antar sekolah se-Kabupaten. Lita bahagia sungguh. Sampai akhirnya Lita roboh dalam pertahananya membuat semua orang yang ada disana terlonjak kaget. Lita pingsan, itu dugaannya.
Bu alin dan beberapa tim medis membawa Lita ke dalam ruangan. Tim medis memeriksa Lita dan ternyata, perlombaan yang diraihnya tadi adalah yang terakhir kalinya, Lita sudah pergi menyusul orang tuanya.
Semua orang yang ada disana kaget dan sangat menyayangkan kepergian Lita yang tiba-tiba termasuk ibu dan saudara angkatnya. Bu Alin mendekati ibu dan anak itu lalu menyerahkan selembar kertas yang ia terima dari Lita sebelum ia menaiki panggung.
"Saya harap dengan ini anda sadar," ujar Bu Alin yang kembali menatap wajah Lita yang sudah semakin pucat, Bu Alin masih tidak percaya, Tuhan biarkan dia sembuh.
Maaf dan terima kasih - Lita
Komentar
Kirim Komentar