Pemikiran Kritis dalam Krisis: ChatGPT Membantu atau Menghambat?
Sumber ilustrasi: Harapanrakyat.com
Diana Dwi Fortuna
Mesin bisa menulis sendiri menjadi teknologi nyata yang hadir di era ini. Jika sebelumnya kita cukup takjub denganchatbotseperti Anonymous telegram yang bisa digunakan untuk mendapatkan teman virtual, chatbot Simsimi yang cukup menghibur menjawab pertanyaan konyol kita yang populer sekitar tahun 2012 lalu, maka sekarang hadir chatbot yang lebih serius yaitu ChatGPT (Generative Pre-trained Transformed).ChatGPT merupakan purwarupa chatbotArtificial Intelligence(AI) berbasis dialog yang mampu memahami bahasa alami dan memberikan respons dalam bahasa alami.
Aplikasi ini mendapat sambutan hangat, terbukti dengan banyaknya jumlah pengguna yang mencapai satu juta orang setelah lima hari peluncurannya. Bulan Maret 2023, ketika diluncurkan versi terbaru ChatGPT, penggunanya telah mencapai 1,6 milyar di seluruh dunia. Beberapa dari mereka bahkan menyebut ChatGPT sebagai pengganti Google karena mampu memberikan solusi untuk masalah rumit secara langsung. ChatGPT didasarkan pada GPT-3.5, model bahasa yang menggunakan teknologi deep learning untuk menghasilkan teks mirip manusia. Namun, ChatGPT ini lebih menarik karena jauh lebih baik dalam menghasilkan teks terperinci, bahkan dapat menghasilkan puisi.
Kehadiran ChatGPT ini sebenarnya memiliki banyak manfaat dan memudahkan dalam menyelesaikan tugas. Termasuk kemudahan dalam menyelesaikan tugas akademik, dengan adanya ChatGPT, maka dapat membantu penyelesaian tugas dengan lebih cepat dan akurat. ChatGPT juga memiliki keunggulan dari segi efisiensi waktu karena memiliki kemampuan memberikan respon dan solusi yang cepat. Misalnya, ChatGPT dapat digunakan sebagai alat bantu pembelajaran interaktif. Mahasiswa dapat berinteraksi dengan ChatGPT untuk mendapatkan penjelasan tambahan, meminta saran, atau bahkan mendiskusikan topik tertentu. Hal ini dapat membantu meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan mahasiswa.
Namun kenyataannya, di balik kemudahan tersebut tentu saja terdapat kekurangannya, dimana sebenarnya mahasiswa dituntut untuk mampu berpikir kritis. Ketika teknologi ini digunakan sebagai sumber tunggal untuk mencari informasi atau menjawab pertanyaan, individu mungkin kehilangan kemampuan untuk menilai kebenaran, validitas, atau kredibilitas informasi. Hal ini dapat berdampak negatif pada kemampuan kritis mereka dalam mengevaluasi informasi yang diterima.
Mahasiswa sering mengandalkan ChatGPT untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tanpa melakukan upaya berpikir yang mendalam. Misalnya, jika seorang mahasiswa memiliki pertanyaan yang rumit, daripada melakukan penelitian dan memikirkan solusi yang tepat, mereka akan lebih memilih untuk mengajukan pertanyaan di ChatGPT dan mengandalkan jawaban yang diberikan oleh sistem. Hal ini dapat menurunkan kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan analisis yang penting dalam proses pembelajaran.
Hal ini diasumsikan karena terdapat kenyamanan dalam menggunakan ChatGPT. Tugas-tugas seperti esai, makalah, laporan praktikum, bahkan tugas akhir yang seharusnya menuntut kreativitas pembahasan dan orisinalitas ide seorang pelajar dapat mengalami disrupsi karena adanya ChatGPT. Apalagi ChatGPT mampu menghimpun berbagai sumber dari riset atau berbagai tulisan. Hal ini tentu dapat menurunkan perkembangan kognitif seseorang dalam proses pembelajarannya. Tidak hanya ChatGPT, teknologi AI secara umum dapat mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang, terutama ketika otaknya masih dalam tahap perkembangan.
Dalam rangka merangkul kecanggihan teknologi seperti ChatGPT, penting bagi individu untuk mempertahankan kemampuan berpikir kritis mereka. Penggunaan yang bijaksana dan pendekatan yang berhati-hati terhadap informasi yang diberikan oleh teknologi ini dapat membantu memastikan bahwa dampaknya pada berpikir kritis tetap positif. Selain itu, perlu adanya upaya bersama antara lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa sendiri. Lembaga pendidikan perlu memberikan pedoman yang jelas mengenai penggunaan ChatGPT dalam tugas dan proyek akademik.
Dosen perlu memonitor dan menilai tugas dengan cermat untuk mengidentifikasi tanda-tanda plagiarisme atau kekurangan pemikiran kritis. Selain itu, mahasiswa perlu diberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya kemandirian dan pengembangan keterampilan intelektual mereka sendiri. Mereka perlu menyadari bahwa ChatGPT hanyalah alat bantu dan tidak boleh menggantikan usaha dan pemikiran mereka sendiri. Jadi, sejauh kita terus mengembangkan hubungan antara manusia dan kecerdasan buatan, menjaga keterampilan berpikir kritis harus tetap menjadi prioritas.
Komentar
Kirim Komentar