Budaya FoMO dan Keseruan Mengklaim Diri Sebagai Orang Lain

Sumber ilustrasi: tgrcampaign.com
Esa Adilla
Kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengakses informasi akhir-akhir ini membuat kehidupan sebagian manusia diekspos di sosial media. Melansir dari data Reportal, di tahun 2023, terdapat sebanyak 167 juta pengguna media sosial. Di mana 153 juta pengguna sosial media berusia di atas 18 tahun, yang merupakan 79,5% dari total populasi di Indonesia. Kondisi demikian membuktikan bahwa sebagian manusia lebih sering mengisi aktivitasnya di sosial media. Dengan adanya sosial media memungkinkan setiap manusia untuk berkabar dan menunjukkan kegiatan apa saja yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, siapa sangka di balik kemudahan mengakses informasi dari media sosial, ada dampak buruk yang terjadi bagi sebagian kalangan manusia. Media sosial menjadi wadah untuk memudahkan akses dan menjadi pusat bagi orang-orang yang selalu update untuk mencari tahu apa yang dilakukan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial membuat manusia saling terhubung satu sama lain sehingga tanpa sadar rasa ingin tahu orang tersebut terhadap orang lain dapat menimbulkan perasaan tidak ingin tertinggal dan merasa setiap hal yang dilakukan dan dicapai belum sebaik dengan yang orang lain lakukan.
Fenomena kekhawatiran karena tidak up to date terhadap apa yang terjadi saat ini dikenal dengan istilah Fear Of Missing Out atau disingkat dengan istilah FoMO. Melansir dari Kompasiana.com istilah FoMO pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan asal Inggris yang bernama Dr. Andrew K. Przybylski pada tahun 2013. Fenomena sindrom ini merupakan salah satu fenomena komunikasi interpersonal dimana seseorang merasakan khawatir, cemas, hingga takut jika ketinggalan informasi yang beredar di sosial media (Aisafitri, Yusriyah, 2020).
Melalui perasaan yang timbul tersebut, akhirnya akan menyebabkan seseorang gelisah pada diri sendiri dan berujung pada ketakutan untuk kehilangan momen sehingga tanpa sadar fenomena ini dapat mengakibatkan seseorang untuk selalu bergantung terhadap gadget dan sosial media. Hal ini akan menyebabkan seseorang merasa resah atau tidak nyaman apabila tidak membuka atau terhubung dengan sosial media mereka sendiri.
Kehadiran sindrom FoMO ini pada akhirnya mendorong seseorang untuk menciptakan kehidupan virtual yang tidak sesuai dengan kepribadian dirinya sendiri. Karena tidak ingin merasa tertinggal, pada akhirnya seseorang mengunggah segala hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka di sosial media. Misalnya mengenai liburan, konser, tempat makan, bahkan mencakup hal-hal pribadi seperti pernikahan, anak, dan sebagainya yang tidak luput dieksploitasi untuk menjadi bahan postingan semata. Bahkan tak jarang pada suatu kondisi saat mereka tidak memiliki sesuatu hal yang diunggah dalam sehari saja, mereka cenderung merasa ada sesuatu hal yang salah dalam kehidupannya.
Seiring berjalannya waktu, budaya FoMo tidak hanya menjangkit kehidupan di sosial media saja, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Seperti halnya yang terjadi dengan mahasiswa saat ini. Dilansir dari situs VeryWefi Mind, FoMo dapat terjadi pada semua umur atau gender. Tetapi, pada saat ini budaya FoMO sering terjadi di kalangan generasi milenial khususnya mahasiswa.
Seperti yang kita ketahui, di lingkungan kampus banyak sekali mahasiswa yang mengikuti kegiatan organisasi ataupun kegiatan selingkup kampus lainnya. Kerap sekali didapati mahasiswa yang merasa FoMO apabila melihat mahasiswa lain tergabung dalam organisasi, kepanitiaan ataupun perlombaan padahal dirinya sendiri tidak berminat akan hal itu. Ketika seseorang mengalami FoMo, maka mereka akan lebih fokus untuk tertuju terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain, terutama pada hubungan relasi bersama dengan orang-orang terdekatnya.
Budaya ikut-ikutan atau FoMO ini seakan lumrah terjadi pada kehidupan mahasiswa akhir-akhir ini. Sebagai mahasiswa hal ini memang sesuatu hal yang baik jika menjadi aktif dan produktif. Namun, ada kala kita harus tetap mengatur batasan diri, karena hal ini bisa saja menjerumuskan mahasiswa pada budaya gila kerja atau hustle culture. Dilansir dari glints.com, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa seseorang hanya bisa mencapai kesuksesan apabila mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya. Ditambah lagi, ada pandangan di masyarakat yang mengatakan bahwa orang yang lebih aktif atau memiliki kesibukan lebih akan lebih sukses. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan memicu kegelisahan, rasa cemas, dan khawatir ketinggalan dari orang lain.
Menurut Anggraeni (2021), budaya FoMO yang dialami atau dibiarkan akan memberi dampak negatif seperti kelelahan, stress, depresi, bahkan masalah tidur. Oleh sebab itu, untuk menghindari budaya FoMO setiap orang harus memiliki self control atau kontrol diri yang baik agar tidak membiarkan emosi di sekitarnya mempengaruhi kondisi dirinya sendiri.
Komentar
Kirim Komentar