Paradoks Pendidikan Indonesia: Antara Mencerdaskan atau Kuda Troya Para Korporat?

Sumber ilustrasi: okezone.edukasi
Muhammad Amar Alfian
Dalam dunia pendidikan republik ini, ada sebuah pameo yang sering terdengar di tengah-tengah masyarakat yang mana bunyinya "butuh uang untuk kuliah, butuh kuliah untuk kerja, dan butuh kerja untuk mengembalikan uang yang sudah terpakai sebelumnya." Sebuah sistem ciamik yang diulang-ulang seperti radio rusak, menjadi lingkaran setan yang seolah takkan pernah putus. Melihat arah pendidikan republik ini yang dewasa ini mengarah pada ilmu praktis atau bersifat vokasistik membuat orang tua dan siswa berburu kursi perguruan tinggi di bidang seperti informatika, teknik, kesehatan, ekonomi bisnis dan hukum.
Bak gayung bersambut hal ini juga diamini oleh perguruan tinggi dengan membuka prodi-prodi baru atau menambah jumlah kuota prodi yang berhubungan dengan bidang-bidang tersebut. Tak ayal hasil pendidikan kita tak lebih tenaga-tenaga ahli sesuai kebutuhan korporat-koporat, kita memang menang secara kuantiti akan tetapi apakah kita menang secara kualitas?
Penulis juga tidak bisa menafikan fakta di republik ini masih kurangnya tenaga profesional di bidang kesehatan yang sempat menjadi pembicaraan pada revisi UU kesehatan di DPR yang mana langkah itu diambil untuk mencukupi persentase jumlah dokter dengan penduduk serta memerataannya yang selama ini terpusat di kota-kota sehingga wilayah-wilayah terdepan republik ini menjadi tidak mendapatkan yang seharusnya didapatkan sesuai tugas dan kewajiban negara pada rakyatnya. Akan tetapi hal ini mendapat tentangan dari pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang menganggap UU ini sebagai bentuk penindasan terhadap profesi dokter dan kesehatan rakyat banyak.
Berbanding dengan apa yang diutarakan IDI tersebut fakta yang diungkap oleh kemenkes dan pihak lainnya yang menyebabkan kekurangan dokter di republik ini adalah tingginya biaya perkuliahan yang dipatok oleh pihak pergutuan tinggi kepada mahasiswa, hal semacam ini sudah menjadi rahasia umum di republik ini bagaimana untuk masuk kedokteran memerlukan biaya hingga ratusan juta rupiah belum lagi seperti kasus tahun lalu di salah satu PTN di Lampung yang rektornya memasang tarif 350 juta kepada orang tua calon mahasiswanya.
Lamanya masa studi dan maraknya kasus perpeloncoan terhadap dokter-dokter junior oleh senior mereka berkaitan dengan pengambilan spesialis, terdapatnya diskriminasi yang dilakukan kepada dokter-dokter keturunan Tionghoa sehingga mereka merasa lebih aman untuk berkarir di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, dan rasa egoisme beberapa oknum dokter yang tidak mau ditempatkan di wilayah terdepan menambah panjang permasalahan kesehatan di republik ini.
Kembali ke pembahasan, dalam sejarah dunia pendidikan modern di republik ini tidak terlepas dari diberlakukannya Trias Van Der Venter atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis. Salah satu isinya adalah edukasi pemberian pendidikan modern kepada kaum bumi putra. Seperti program-program kolonialis lainnya apapun kebijakannya haruslah menguntungan kepentingan negeri induk yakni Kerajaan Belanda dan pada faktanya kondisi kolonialisme di dunia kala itu mengalami perubahan dari yang sebelumnya agraris menjadi indusrti.
Hal ini mendorong ketersediaan tenaga-tenaga ahli yang mampu menjalankan semua sistematika industri. Karena terbatasnya jumlah orang Belanda yang mau dikirim ke Hindia Belanda menyebabkan Kerajaan Belanda memberlakukan program edukasi dengan tujuan untuk menyediakan tenaga ahli dengan biaya murah, jumlah yang banyak dan instan. Terlebih pada tahun 1912 ketika wabah menyebar di Jawa pemerintah Hindia Belanda kesulitan memenuhi tenaga medisnya dan akhirnya mengambil solusi dengan mendirikan sekolah dokter bumi putra (STOVIA) yang kelak menjadi Fakultas Kedokteran UI.
Pada periode transisi dekade 60-an ke dekade 70-an sistem perekonominan di republik ini mengalami perubahan dari ekonomi terpusat menjadi sistem ekonomi terbuka. Hal ini juga memengaruhi arah pendidikan republik ini berubah yang tadinya sistem klasik menjadi sistem modern (mekanis) yang menyebabkan permintaan dunia kerja terhadap tenaga ahli di bidang mekanika sehingga minat masyarakat pada sekolah STM sangat tinggi pada waktu itu.
Pada dekade tahun 2000 awal sistem perekonomian kembali mengalami gejolak kali ini mengarah pada tenaga ahli di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan hukum. Pada dekade 2010-an trend pasar kerja mengalami gejolak kembali kali ini tenaga ahli di bidang teknologi dan informasi menjadi primadona dan sampai dekade 2020-an ini IT mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya perusahaan start up dan sosial media yang melahirkan lapangan kerja baru seperti content creator, food vloger, dan lain sebagainya.
Kampus sebagai Tempat Pencetak Budak Korporat
Diantara pembaca yang budiman barangkali pernah mendengar istilah Budak Korporat bukan?, Budak Korporat merupakan istilah gaul dikalangan milenial yang berupa satir terhadap pekerja perusahaan yang kerja dan gajinya tidak seimbang. Kalau kita teliti lagi penyumbang terbesar Budak korporat hari ini berasal dari kampus, berdasarkan data Tahun 2022 akumulasi setiap kampus di republik ini disetidaknya meluluskan sekitar 1,85 juta mahasiswa yang nantinya diarahkan untuk bekerja di perusahaan
Pengarahan ini sudah dilakukan oleh kampus semenjak adanya program MBKM (merdeka belajar dan kampus merdeka) dan Sinergitas Pentahelix, Sinergitas Pentahelix merupakan bentuk sinergi antar berbagai sektor seperti perguruan tinggi, dunia industri, pemerintah, masyarakat, media. Kelima pihak ini membangun relasi yang tujuan sesungguhnya untuk memenuhi permintaan stakeholder, salah satunya Para pemilik modal. Kurikulum MBKM sendiri tercipta karena adanya trend Global yang diarahkan oleh kapitalisme barat untuk membentuk knowledge base economics artinya dunia internasional mengharuskan kapitalisasi di bidang pendidikan berbasis ilmu pengetahuan.
Ada beberapa bahaya besar yang muncul dari sistem ini Pertama, dunia pendidikan sebagai conveyor belt (sabuk penyambung) Korporasi, yang fungsinya untuk membantu industri dalam mengeksploitasi mahasiswa muaranya adalah membentuk lulusan yang sesuai dengan orientasi pasar untuk memperkuat ekonomi kapitalis. Dalam praktiknya korporasi-korporasi menggunakan beasiswa sebagai media untuk mendapakat tenaga-tenaga ahli yang dibutuhkan hal semacam ini menimbulkan istilah baru yakni beasiswa kontrak, dengan diberikan beasiswa full kepada mahasiswa dengan perjanjian agar si mahasiswa yang diberikan beasiswa ini bekerja diperusahaan mereka untuk mengembalikan biaya beasiswa yang dikeluarkan oleh korporasi tersebut sebelumnya.
Kedua, pendangkalan ideologi dan degradasi moral kaum intelektual, poin ikonik yang hilang di tengah mahasiswa adalah hilangnya kemampuan merespon isu publik sampai ketika ada yang membahas itu publik di kampus itu dianggap sesuatu yang tabu. Istilahnya pemikiran berbasis ideologi inilah yang meninggalkan standar benar dan salah yang berdampak munculnya amoralitas.
Generasi baru yang dipersiapkan oleh sistem pendidikan di republik ini diarahkan harus patuh bagai robot yang sudah di program yang tau bekerja dan kehalangan rasa sebagai manusia sebagai mana mastinya. Hilangnya Sense of Humanty (rasa sebagai manusia) yang notabenenya merupakan jati diri yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa inilah yang harus dihindari oleh manusia itu sendiri dan jika manusia kehilangan rasa sebagai manusia apa bedanya kita robot ataupun binatang ternak yang hanya bekerja dan mendapatkan makan yang pada akhirnya hanya menunggu ajal datang.
Pada akhirnya kita benar-benar harus melek secara pemikiran untuk sadar bahwa apa yang terjadi hari ini perlu tindakan pasti untuk melakukan perubahan secara menyeluruh sampai menyentuh akar persoalannya. Perubahan merupakan keciscayaan yang tidak bisa dinafikan akan tetapi cara kita untuk menggubrisnya itu merupakan hal yang harus dipegang teguh spirit dan norma-norma baik hendaklah dipertahankan terus untuk kedepannya.
Jangan sampai kita menjadi kopi yang terlalu banyak gula yang larut di dalamnya, tataplah tinggalkan rasa pait yang menjadi aslinya. Sebagai pengingat penulis mengkutip tulisan dari seorang Filsuf dan sekaligus Bapak Republik Tan Malaka yang berbunyi "Tujuan Pendidikan Itu untuk Mempertajam Kecerdasan Memperkukuh Kemauan, Serta Memperhalus Perasaan,".
Komentar
Kirim Komentar