Yatim Piatu
Mery Nurfa Dilla
Seorang gadis malang tengah berada diantara dua gundukan tanah sambil menangis tersedu-sedu. Gundukan tanah yang satu masih terlihat baru karena adanya bunga mawar yang bertaburan di atasnya. Sedangkan untuk gundukan tanah lainnya terlihat sudah lama karena pagar pembatas yang terbuat dari kayu sudah terlihat rapuh.
Dia adalah Bulan, seorang gadis yang pada hari ini menjadi anak yatim piatu karena kedua orang tuanya sudah tiada. Ayahnya baru saja menghembuskan nafas terakhirnya karena sudah berbulan-bulan sakit. Sedangkan ibunya sudah tiada empat belas tahun yang lalu. Merekalah pemilik gundukan tanah itu, ayah dan ibu Bulan.
Untuk ke depannya Bulan akan menjalani hidup sebatang kara karena dia tidak mempunyai kerabat baik dari pihak ayah maupun ibunya. Lebih tepatnya, Bulan tidak mengetahui karena selama hidup dia dan ayahnya sering kali pindah rumah bahkan pindah kota. Dia tidak lama juga bersama sang ibu, karena ibunya meninggal di usianya masih dua tahun. Bahkan untuk mempunyai kenangan indah dengan sang ibu saja dia tidak ada.
Bulan berjalan lunglai menuju kontrakan kecil yang beberapa waktu belakangan ini dia tempati dengan sang ayah. Sesampainya disana, dia kaget karena sudah mendapati buk Sumarni selaku pemilik kontrakan dengan menenteng sebuah koper miliknya. Bulan sudah paham kenapa hal ini terjadi karena dia sudah nunggak tiga bulan tidak membayar kontrakan karena sang ayah membutuhkan obat selama sakit.
"Buk, apakah saya tidak boleh untuk menginap hari ini saja?," tanya Bulan dengan raut wajah memohon. "Tidak akan ada lagi rasa kasihan untukmu, silahkan pergi dari sini! Jika masih ada yang ingin kau ambil di dalam, silahkan dikemasi secepatnya!," Bulan pasrah dengan jawaban buk Sumarni, dengan berat hati dia masuk ke dalam.
Barang terpenting yang akan dibawanya adalah seragam sekolah, dia tidak ada berniat untuk putus sekolah meskipun dengan keadaan terpuruk seperti saat ini. Hal tersebut lantaran janjinya dengan sang ayah yang menginginkannya menjadi seorang dokter. Selain itu, Bulan mengambil sepasang cincin pernikahan yang sempat diberikan sang ayah sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, "Nak, ini cincin nikah ayah sama ibumu, disimpan baik-baik ya. Mungkin ini juga bisa menjadi penyambung hidupmu, Nak,". Akan tetapi, Bulan tidak ingin jika benda ini harus dijual, karena hanya ini satu-satunya peninggalan dari kedua orang tuanya.
Sudah dua jam, Bulan menyusuri desa tapi tak kunjung dia dapatkan tempat untuk beristirahat sementara waktu. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah masjid yang sedang mengumandangkan adzan maghrib. Dia memutuskan untuk melaksanakan shalat maghrib dan membaca al-qur'an sembari menunggu waktu isya untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Setelah shalat isya, satu persatu jamaah masjid pergi meninggalkan rumah Allah ini. Bulan mendapatkan sebuah ide dimana dia akan menginap untuk sementara waktu, minimal untuk malam ini saja. Bulan mencari dan menemui marbut masjid bernama pak Amin yang informasinya dia dapatkan dari jamaah masjid. Setelah ditemukan, dia meminta sebuah permohonan kepada beliau, "Pak, bolehkah saya menginap malam ini di masjid ini," tanya Bulan memohon.
Pak Amin nampak bingung, "Kenapa? Apakah kau sedang melakukan perjalan jauh?" tanyanya. "Bukan Pak, pagi tadi ayah saya meninggal dunia, dan saya tidak punya siapa-siapa lagi, selain itu saya juga diusir dari kontrakan," jawabnya dengan nada yang sendu. Beliau merasa kasihan mendengar penuturan yang disampaikan oleh gadis malang yang berada di hadapnya,"Baiklah, ikut saya saja," ujarnya.
"Siapa namamu, Nak?" tanya pak Amin. "Bulan Pak," jawabnya. "Oke Bulan, ini rumah saya dan kebetulan juga ada kamar kosong. Kamu bisa menginap disini untuk sementara waktu atau mungkin selamanya. Kebetulan saya dan istri juga belum dikaruniai seorang anak," ujarnya ketika sudah sampai di sebuah rumah yang terletak di samping Masjid. "Sebelumnya terima kasih banyak Pak, karena sudah membantu saya," ujar Bulan dengan senyuman yang terukir di wajahnya.
Keesokan paginya, setelah shalat shubuh, Bulan membantu istri pak Amin yang tengah membersihkan Masjid. Sebenarnya sudah ditolak, tapi Bulan tetap gigih untuk membantu beliau karena dia tidak enak hati jika harus berdiam diri saja. Dia sangat beruntung karena pak Amin dan istri menerima kehadirannya, bahkan perlakuan mereka sangat baik terhadapnya.
Saat ini, Bulan tengah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, ternyata untuk jarak dari tempat dia sekarang cukup dekat. Salah satu alasan Bulan untuk tidak putus sekolah adalah karena dia mendapatkan sebuah beasiswa sampai tamat SMA. Sayang saja jika tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Selain itu, cita-citanya yang ingin menjadi dokter juga harapan dari ayahnya sejak dulu. "Ayah Ibu, kalian bahagia ya. Bulan janji akan membuat kalian bahagia di alam sana," ujarnya dengan tetesan air mata yang mengalir di pipinya.
Kebiasaan Bulan setiap harinya adalah menjual gorengan yang dititipkan di kanitn sekolah. Jika tidak habis, Bulan akan berjualan keliling. Hal tersebut dia lakukan supaya tidak terlalu membebani pak Amin dan istri. Selain itu, dia juga membantu membersihkan masjid. Akan tetapi, Bulan juga tak lupa dengan waktu belajarnya.
Setahun lebih telah berlalu, saat ini Bulan tengah berpamitan dengan Pak Amin dan istri. "Pak, Buk, terima kasih banyak karena sudah menerima Bulan selama ini. Bulan gak nyangka di tengah keterpurukan bertemu dengan orang yang sangat baik. Bulan janji, jika semuanya sudah selesai, Bulan akan kembali berkunjung kesini," ujar Bulan sambil menyalami punggung tangan mereka bergantian. "Jaga diri baik-baik ya, semoga kamu bisa mewujudkan cita-citamu," ujar Pak Amin yang dibalas dengan senyuman indah yang terukir di wajahnya dan diakhiri dengan pelukan singkat.
Bulan berpamitan untuk pergi karena dia mendapatkan beasiswa di salah satu universitas ternama yang ada di berada Indonesia dengan jurusan kedokteran. Sekarang langkah untuk mewujudkan cita-cita dan harapan orang tuanya hampir berada di depan matanya. Tapi, Bulan tidak putus asa dan menyerah karena dia merasa bahwa perjalanan masih panjang.
Komentar
Kirim Komentar