Aku Ingin Jadi Sarjana Bapak

Ilustrasi: atmosferku.com
Nurfadilla Sahara
Awan tampak mendung di atas langit sana, namun tanda-tanda sang tulang punggung keluarga belum juga menampakkan diri. Entah sudah berapa banyak pundi-pundi rupiah yang terkumpul dari raga yang tak lagi muda itu, dari tangan yang tak lagi bertenaga, dan dari kaki yang tak lagi bisa berjalan dengan elok di atas tanah. Sejak matahari belum memancarkan sinarnya dan kokok ayam belum berbunyi, ia sudah pergi meninggalkan gubuk yang kapan saja bisa roboh oleh angin.
Di depan pintu yang sudah lapuk dan beberapa lubang kecil karena serangga pemakan kayu, tak hentinya seorang gadis berbaju putih selutut berdiri melihat ke kiri dan ke kanan. Gadis itu terlihat cemas dengan tangan yang terus meremas-remas bajunya. Sekali-kali ia juga melihat ke atas langit takut hujan akan segera turun. "Kak, belum juga bapak pulang,?" Tanya seseorang yang baru saja datang dan berdiri disebelah gadis itu.
Ia juga ikut melihat ke arah kanan dan kiri ternyata belum juga ia dapati orang yang mereka tunggu itu pulang. Gadis itu menoleh mendapati sang adik juga ikut berdiri disebelahnya "Belum. Entah kemana bapak pergi. Hujan sebentar lagi akan turun, tapi bapak belum juga pulang," Jawab gadis itu dengan cemas.
"Laga, pergilah kau cari bapak. Aku takut bapak tidak bisa pulang karena hujan sudah turun di sana. Pakai terpal plastik itu untuk melindungi diri jika hujan nanti," Lanjut gadis itu menyuruh adiknya untuk pergi menyusul bapak mereka.
Sudah hampir satu jam sejak adiknya pergi mencari bapak mereka, gadis itu tetap berdiri menunggu di depan pintu. Namun tidak ada tanda-tanda keduanya akan kembali. Tak sedikitpun perasaannya tenang mengingat bapaknya sudah tidak lagi muda dan mudah sakit bila terkena hujan. Menarik nafasnya gadis itu masuk ke dalam rumah dan menyiapkan teh hangat untuk di minum bapak dan adiknya jika mereka pulang nanti.
"Uhuuk, Assalamualaikum," Salam seseorang dari arah pintu yang terbuka. Gadis tersebut menoleh ke arah pintu dan tersenyum mendapati bapak dan adiknya sudah pulang.
"Waalaikumussalam," Jawabnya dan menyalami tangan berkeriput itu.
"Akhirnya pulang juga bapak. Masuklah dulu ke kamar bapak dan ganti baju. Nanti bapak sakit, biar saya bawakan teh hangat. Kau juga begitu Laga, ganti bajumu dan segera minum teh hangat di meja itu," Sambung gadis itu.
"Yasudah, nanti tolong kau bawakan saja ke kamar bapak," Kata bapak mereka dan masuk ke dalam kamar.
"Laga, dimana kau bertemu dengan bapak?," Tanya gadis itu menghentikan langkah adiknya menuju kamar.
"Aku bertemu bapak di pasar depan toko buku bekas itu, kak," Jawab Laga dan berlalu pergi. Setelah mendengar jawaban adiknya gadis itu terdiam dan meneteskan air matanya tanpa diketahui siapapun.
"Bapak, ini teh hangatnya," Kata gadis itu sambil mengetuk pintu kamar bapaknya.
"Iya, masuk saja, Syah," Jawab bapaknya. Mendengar jawaban dari bapaknya gadis itu langsung masuk ke dalam dan mendapati bapaknya sedang duduk di tepi kasur dengan satu kantong plastik hitam di sebelahnya.
"Diminum, pak. Aisyah keluar dulu," Pamit gadis yang bernama Aisyah itu.
"Aisyah, kemari," Perintah bapaknya. Aisyah menghentikan langkahnya dan kembali mendekati bapaknya. Aisyah duduk menghadap ke arah bapaknya dan memandangi wajah yang sudah penuh dengan keriput itu dan rambut yang sudah memutih dimakan usia.
"Ada apa pak?," Tanya Aisyah yang mulai memijit kaki bapaknya.
Diperlakukan dengan sangat baik oleh anaknya, sang ayah tersenyum dan mengusap kepala anak gadis satu-satunya yang selama ini selalu mengurusnya setelah kematian sang istri.
"Aisyah, lihat ini," Kata pria tua itu dengan menggeser kantong plastik hitam yang sebelumnya berada di sebelahnya berpindah ke pangkuan sang anak gadis. Aisyah menghentikan pijatan di kaki bapaknya. Membuka bungkusan kantong plastik hitam itu dengan sesekali memandangi wajah ayahnya. Beberapa buku yang sudah usang terlihat dari dalam isi kantong plastik hitam itu. Aisyah mengambilnya dan menatap bapaknya dengan sendu, ternyata ini alasan kenapa bapaknya pergi terlalu pagi dan pulang sangat lambat hanya karena buku ini.
"Bapak, apa ini? Kau pergi sebelum matahari terbit dan pulang dengan keadaan basah diguyur hujan hanya karena buku ini?," Kata Aisyah dengan menahan air mata yang akan jatuh di atas pipinya.
"Dari mana bapak mendapatkan buku-buku ini? Apa bapak bekerja?," Lanjut Aisyah.
"Ssttt! Kau tidak perlu tau, Aisyah. Kau ingin kuliah, bukan? Kau ingin jadi sarjana, kan? Uhuk...Dulu waktu kecil kau sering berkata di depan ku, jika kau sudah dewasa nanti kau ingin jadi dokter yang hebat. Katanya kau ingin mengobatiku jika aku sakit, kan? Ah, ambil ini, ambil. Belajar kau yang rajin. Biar orang tahu bahwa si pria tua yang jalannya sudah pincang ini punya anak seorang sarjana dan dokter pula. Wahh, betapa bahagianya aku," Jawab bapaknya dengan semangat dan tersenyum bahagia.
"Pak, lupakan itu. Aku sudah tidak ingin lagi jadi sarjana seperti omongan di masa kecil ku. Kita tidak akan bisa hidup jika aku menjadi sarjana, pak," Kata Aisyah yang sudah meneteskan air matanya. Sungguh, ia sudah tidak lagi memikirkan mimpinya untuk jadi sarjana. Ia jadi sarjana? Bahkan jika kata itu terlintas di benaknya dengan cepat ia menghempaskan pikirannya itu.
"Apa katamu? Kau akan jadi sarjana seperti omonganmu di masa kecil. Akan aku pastikan itu. Biarpun aku mati, kau akan tetap menjadi sarjana!," Tegas bapak Aisyah dengan menggenggam tangan Aisyah erat.
"Pak, sarjana bukan hanya berpakaian toga di saat wisuda. Bertahan di dalam hidup yang serba tidak berkecukupan dan harus sabar tanpa mengeluh juga sarjana, pak. Sarjana bertahan hidup!," Jawab Aisyah dengan pergi meninggalkan bapaknya yang terdiam. Sambil berjalan meninggalkan kamar bapaknya ia terus menyeka air matanya. Aisyah sangat sedih, ia tidak menyangka bapaknya masih berusaha untuk mewujudkan keinginannya waktu kecil. Bagi Aisyah tidak ada yang lebih penting dari kesehatan ayah dan adiknya ditengah kesulitan ekonomi yang mereka alami.
"Kak, aku setuju dengan bapak. Kuliahlah kau, kak," Ucap Laga yang menghentikan langkah sang kakak. Ternyata ia sedari tadi mendengar perdebatan antara bapak dan kakaknya. Laga tahu betul bagaimana kakaknya sangat ingin kuliah bahkan di dinding kamarnya terdapat tempelan gambar universitas impian sang kakak yang ia ambil dan di gunting dari koran bekas.
"Apa katamu, kau jangan ikut-ikutan. Persiapkan saja dirimu untuk masuk SMA. Kau baru saja lulus SMP dan aku mau kau melanjutkan pendidikanmu. Jangan kau pikirkan aku," Kata Aisyah dengan menghapus kasar air matanya.
"Kak, aku tidak masalah jika harus putus sekolah. Aku akan bekerja untuk membantu bapak membiayai kuliahmu. Lagipun sekarang ada beasiswa yang bisa meringankan biaya kuliah, kakak," Bujuk Laga agar kakaknya mau kuliah.
"Sampai kapanpun kau tidak bisa kerja yang layak jika hanya mengandalkan ijazah SMP. Kau hanya akan mengulang apa di alami bapak jika kau hanya punya ijazah SMP, Laga!," Teriak Aisyah.
"Kak!,"
"Aisyah!,"
Suara teriakan Laga bersamaan dengan teriakan sang ayah. Dari arah kamar yang tadi Aisyah tinggalkan berdiri tubuh yang tak lagi gagah dan kuat dengan tangan yang berpegangan pada knop pintu dan air mata mengalir di wajah tua itu.
Ia berkata "Aku memang tidak sekuat dulu lagi, bahkan kaki ini hanya mampu aku seret dikala sakit dan lelah menyapanya. Aku memang tidak memiliki tenaga yang kuat untuk bekerja lagi. Aku hanya ingin mimpi gadis kecil ku dan mimpi istriku terwujud karena anak cantiknya memakai toga wisuda dan menjadi sarjana sesuai keinginannya," Setelah mengatakan itu ia kembali masuk ke dalam kamar meninggalkan dua saudara tersebut.
"Bapak, aku—,"
"Kau merendahkan bapak, kak. Bapak hanya ingin kau menggapai mimpimu di sisa usianya. Bapak hanya ingin melihat kau tersenyum manis dengan pakaian toga wisuda mu sebagai sarjana dari hasil jerih payahnya. Dan kini kau melukainya, kak. Kau melukai perasaannya, kak. Kau menghancurkan harapannya dan kau mematahkan semangatnya dengan perkataanmu," Kata Laga yang juga menitikkan air matanya.
(Selesai)
Komentar
Kirim Komentar