UU Cipta Kerja Melanggengkan Oligarki dan Menindas Rakyat

Sumber: Sìndo
Putri Cahaya Illahi
Berkali-kali pengesahan UU Cipta Kerja selalu memunculkan polemik yang panas, DPR yang diharapkan akan menjadi wakil rakyat kini berganti menjadi wakil oligarki. Pasalnya pengesahan UU Cipta Kerja dilandasi oleh kebutuhan mendesak di bidang ekonomi namun pernyataan ini kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik serta pernyataan menteri keuangan yang menyebutkan kondisi Indonesia baik-baik saja (detik.news 30/03/23).
Menanggapi hal tersebut para buruh dan seluruh kampus di Indonesia turun ke jalan menyuarakan suara mereka termasuk mahasiswa Sumatera barat yang menggelar aksi demo di depan DPRD Sumbar (Tribun Padang 30/03/23). Pengesahan ini dinilai sebagai bentuk pendiskriminasian terhadap buruh dengan adanya pasal tenaga alih daya yang hanya di diperuntukkan oleh pekerjaan tertentu. Pengaturan tentang upah tertentu ditambahkan frasa "indeks tertentu" memunculkan ambiguitas atau ketidakjelasan makna sebenarnya. Jelas aturan ini sangat memberatkan karena akan menutup lapangan pekerjaan bagi buruh (BBC.com 04/01/23).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut UU Ciptaker akan mendorong investasi dan membangun relasi baik dengan investor asing. Sebagaimana diklaim nilai realisasi investasi asing yang dibenamkan di Indonesia meningkat pesat sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja diterbitkan dua tahun lalu.
Sebenarnya UU Ini Untuk Siapa?
UU Cipta Kerja lahir prematur dan menuai penolakan dari lapisan masyarakat, tetapi suara rakyat hanya angin lalu, UU itu tetap saja berlaku. Sudah menjadi kisah yang sama bila suatu negeri dikendalikan kapitalis atau pemilik modal.
Semua regulasi yang lahir hanya untuk memperlancar kapital menjalankan misi mereka yakni meraup keuntungan sebesar-besarnya. Fakta ini membongkar penguasa sekarang tidak lagi pro terhadap rakyat melainkan penguasa dan investor.
Akhirnya para buruh kehilangan pekerjaan, penetapan gaji tidak ada kejelasannya, pesangon, dan pengaturan terhadap jam kerja sama sekali tidak memihak terhadap rakyat. Lalu apa yang disebut dari rakyat, oleh rakyat, kepada rakyat?
Lihatlah gelaran karpet merah pemerintah terhadap asing, menjadikannya sahabat dekat. Sumber daya alam pun dibiarkan dikelolanya, pemerintah tinggal terima bersih dari hasil pajak. Dampak alam dan limbahnya siapa yang manggung? jelas rakyat lagi. Lihat saja gunung emas di Papua kini sudah menjadi kawan yang sangat curam, tetapi rakyat disini sangat jauh dari kata sejahtera.
Komentar
Kirim Komentar