Masihkah DPR Menjadi Representasi Suara Rakyat?

Sumber: detikhot
Sabarnuddin
Dinamika perpolitikan Indonesia sejak Indonesia merdeka pada 1945 hingga saat ini, mengalami perubahan serta hegemoni partai politik yang sangat massif. Hal ini mempengaruhi kemajuan menuju kedewasaan menyelesaikan permasalahan dengan cara cara sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Korelasi pengetahuan yang baik akan politik dan relasi dengan sejumlah tokoh Pemerintahan menghantarkan tafsiran yang sesuai dengan para pendahulu yang membangun bangsa sesuai dengan corak zaman yang berlaku. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan rakyat belakangan ini seolah multitafsir bagi setiap orang yang membacanya.
Pasalnya dalam Undang Undang yang disahkan oleh para Wakil Rakyat tersebut justru tidak lagi berpihak pada rakyat kecil maupun demi kemajuan bangsa. Namun yang terjadi ialah kemudahan oligarki melancarkan operasi nya meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa harus memikirkan nasib rakyat di pedalaman.
Tingginya ekspektasi rakyat kepada wakil nya yang duduk di DPR membuat wibawa dan percaya diri yang tinggi di benak sang wakil rakyat, tidak mengerti akan nasib rakyat daerah pemilihannya yang butuh didengar dan dibuktikan kerja nyata nya dalam membantu meringankan beban rakyat di masa yang serba sulit. Realitanya suara yang sampai ke wakil rakyat hanya dari para tim sukses yang dahulu pernah membantu dalam kampanye saat Pemilu, ada ribuan orang yang punya permasalahan terkait dengan pelayanan ataupun kebijakan publik yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Hal ini bukan lagi tabu di masyarakat, bahwa wakil rakyat hanya akan mendengar dan memperhatikan siapa yang memilih nya dan mengeksekusi segala hal problem yang ia dengar bila sesuai dengan kehendak partai. Sistem yang berlaku menghantarkan karakter politisi akan bersikap demikian, sebab suara serta dukungan itu hanya akan tercapai hingga ke senayan bila di sponsori oleh parpol dan masyarakat tertentu yang mendukung nya.
Lalu apa artinya demokrasi yang selama ini digaung-gaungkan sebagai sistem terbaik untuk bangsa ini bila hanya untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang yang punya dukungan dan kepentingan yang disokong oleh cukong cukong bermuka dua. Pemahaman generasi yang mulai ikut ke dalam politik juga turut mewarisi sistem yang mendarah daging dalam demokrasi yang tengah berjalan, meraup suara dengan membangun citra yang baik dengan memperlihatkan modal suku, agama ataupun berada di partai tertentu
Kepentingan Partai Lebih Utama
Mengabdikan diri sebagai anggota partai tentu akan mengikuti seluruh amanat serta kehendak pengurus partai. Menurut catatan Beetham dalam (Muliansyah, 2015), demokrasi yang banyak terjadi hanya menekankan pada dimensi prosedural demokrasi semata-mata pada aspek elektoral politik. Sehingga demokrasi seolah-olah hanya ritual semata, yang hanya dilihat pada saat Pemilihan Umum dan terpilihnya pemimpin-pemimpin publik.
Sebuah hal yang sangat apik untuk melancarkan kepentingan serta strategi yang telah dirancang agar terus berlanjut hingga eksekusi program berjalan dengan baik. Partai punya kepentingan dibawah visi dan misi serta gagasan partai yang dibawa digabungkan dengan tujuan politisi masuk ke lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya lantang menyuarakan berbagai permasalahan kebijakan yang dicanangkan pemerintah, bukan justru ikut mengaminkan segala program yang pemerintah sahkan.
Fenomena ini ditampilkan dengan pernyataan sikap koalisi atau oposisi pemerintah. Ada pemahaman yang harusnya sudah ada dalam benak setiap wakil rakyat yakni dalam rangka menyukseskan niatnya masuk ke senayan maka perlu dukungan partai, namun setelah duduk dalam senayan mereka bukan perwakilan partai namun perwakilan rakyat daerah masing masing. Hal ini harus jelas karena esensi menjadi wakil rakyat menyuarakan keresahan rakyat bukan justru sebaliknya.
Tampak jelas bahwa kehadiran partai sebagai penyokong dan pendongkrak elektabilitas calon akan sangat berpengaruh dan menggaungkan kekuatan partai di daerah pemilihan yang terdapat sejumlah persoalan, dengan berbagai iming-iming dan gaya kampanye yang menjanjikan kemajuan terbawa suasana rakyat terlena.
Apter dalam rohaniah (2015) partai partai politik merupakan perantara tunggal terpenting untuk politik, daya saing, tawar menawar dan negosiasi. Partai memungkinkan para politisi tetap dekat dengan publik di satu pihak dan menjadi sesuatu yang berlainan bagi sejumlah orang besar.
Sebaliknya, ketika memperoleh jabatan, para politisi diharapkan mampu berdiri diatas berbagai kepentingan publik yang lebih umum. Jelaslah bahwa sebagian politisi bertindak seperti itu, dan sebagian yang lain tidak, tetapi itu semua merupakan bagian permainan partai.
Sebagai seorang yang idealis dan kritis sebelum menduduki kursi senayan, harusnya hal yang sama juga ditampilkan saat menjadi perpanjangan tangan rakyat kepada pemerintah, namun mengapa yang terjadi justru kemesraan yang semakin menjadi-jadi tatkala rakyat menjerit perihal harga BBM naik yang dipelintir dengan statemen "harga minyak dunia sedang naik''.
Persoalan selanjutnya ialah penyerobotan lingkup kewenangan, wakil rakyat yang diamanahkan untuk mendengar aspirasi rakyat bukan justru melaksanakan program kerja Kepala daerah ataupun kepala dinas tertentu di daerah pemilihannya. Sudah melampaui hal yang tidak wajar bila ini terus dibiarkan dan menjadi warisan pula bagi politisi baru yang memulai karir di senayan.
Dukungan Daerah Pemilihan
Pemilihan umum dirancang hingga ke rakyat dari berbagai latar belakang dan wilayah, penghematan waktu dan tenaga terus diupayakan dalam rancangan pemilu akan datang. Namun hasil dari pemilihan umum akankah menjadi penyampai suara dari daerah pemilihan tertentu.
Merujuk pada pendapat Michel dalam Newton (2006), partai-partai modern telah terperangkap dalam jebakan politisi karir profesional yang mengelola partai dan menyelenggarakan pemilihan umum secara sentralistik dan sangat profesional. Sehingga urusan ini hanya meliputi jajak pendapat, membentuk kelompok fokus, memoles berita, kampanye kehumasan dan penggalangan dana yang dirancang secara cermat, teknologi komputer dan penguasaan media massa.
Wakil rakyat bila sudah duduk dalam kursi senayan maka, ia akan bekerja sesuai porsi dimana bidang ia diletakkan. Selama ini yang terjadi ialah karakter politisi yang aktif mengomentari kebijakan daerah nya dari pada mengurusi bidang nya yang di amanahkan kepadanya di DPR. Rakyat bisa melihat progres seperti apa yang telah wakil nya kerjakan untuk kemajuan bangsa, ataukah hanya mengaminkan segala kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan.
Bermain Anggaran APBN
Dana aspirasi gaya merupakan model korupsi gaya baru yang dilakukan seluruh anggota DPR. Sebab DPR periode 2014-2019 ini tak lagi memiliki kewenangan membahas anggaran teknis dengan pemerintah dan lembaga negara. Mahkamah Konstitusi pada 22 Mei 2014 telah membatalkan UU No 27/2009 Tentang MPR, DPR, DPD (UU MD3) dan UU No 17/2013 Tentang Keuangan Negara.
Maka, usulan dana aspirasi DPR merupakan cara baru untuk dapat melakukan korupsi politik berjamaah guna mendapatkan anggaran dari APBN. Sebab sebelum putusan MK tersebut, anggota DPR 209-2014 melalui Badan Anggaran (BA) dapat dengan bebas meminta uang jatah APBN melalui kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah.
Ada banyak harapan terbaik untuk bangsa ini di masa yang akan datang, bila wakil rakyat terus menduplikat politik gaya lama yang hanya mendustai amanah rakyat lebih baik mengurungkan niat untuk menjadi politisi sebab Negara ini Di bangun dengan perjuangan yang panjang bukan dengan Menggerogoti uang Rakyat.
Komentar
Kirim Komentar