Membahas Nepotisme dan Budaya Konservatif dari Sudut Pandang Mahasiswa Semester X

Ilutrasi: Rino Waŕisman Putra
Rino Warisman Putra
Mukadimah: Bahasan Nepotisme
Hubungan baik antar sesama manusia bisa menjadi faktor pendongkrak seseorang menuju tangga kesuksesan, pun begitu hubungan baik dengan yang maha kuasa juga akan mendapatkan ganjarannya dengan kemudahan hidup yang diberikan, tapi apakah ada tolong menolong yang justru merupakan akhlak mazmumah?
Tolong-menolong yang dimaksud adalah Nepotisme. Baik, mungkin kita mulai dahulu dengan apa itu nepotisme. KBBI menjelaskan Nepotisme merupakan kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah.
Seyogyanya perilaku nepotisme sudah barang tentu telah terjadi berabad-abad yang lalu, namun istilah nepotisme ini dikaburkan dengan istilah yang lebih ciamik bernama dinasti. Jika kita arahkan ke politik Indonesia, jelaslah banyak parpol yang menggunakan azas dinasti, sebut saja PDIP dengan Mega-Puannya, Nasdem dengan Surya-Pranandanya, atau Demokrat dengan SBY-AHYnya. Seorang anak dari tokoh besar, sudah tentu akan mendapatkan privilege yang lebih besar dibandingkan dengan orang-orang biasa yang coba merintis dari nol. Bahkan dari kakek buyutnya pun masih akan tetap disebut. Atau juga sebutan habib yang disematkan kepada keturunan nabi Muhammad yang pastinya akan mendapat keistimewaan lebih dimata masyarakat urban.
Anda sudah pernah bayangkan tidak, akan jadi apa Megawati tanpa bapaknya, kalau kata netizen di Facebook, "Mega tanpa bapaknya hanya ibu-ibu gendut biasa," ungkapan yang membuat kita "Mikir" kalo kata Cak Lontong.
Kembali lagi kepada budaya nepotisme, perilaku nepotisme juga diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam UU ini menjatuhkan hukuman paling ringan 2 tahun dan paling lama 12 tahun kepada pelaku nepotisme dengan ganjaran denda hingga 1 Miliar Rupiah. Wah, dengan demikian Buk Mega, Pak Surya, atau Pak SBY melanggar UU dong? Oh tentu saja tidak.
Kenapa tidak, hal ini dikarenakan hukuman ini hanya dijatuhkan kepada penyelenggara negara, dan penyelenggara negara yang dimaksud Undang-undang Nomor 27 tahun 1999 ialah:
1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya Buk Mega, Pak Surya dan Pak SBY tak termasuk kedalam penyelenggara pemerintahan, namun tetap saja anak-anak beliau berada dibawah bayang-bayang sang orang tua.
Nepotisme merupakan gerbang awal menuju korupsi, korupsi biasanya dilakukan oleh orang-orang terdekat pelaku, dan bersekongkol melakukan praktik haram tersebut, banyak kasus besar menjerat satu ruang lingkup saja, contohnya: proyek hambalang yang meluluhlantakkan Integritas partai demokrat tahun 2010 sampai 2012, atau yang terbaru kasus korupsi penyalahgunaan dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Universitas Udayana Bali, yang mencatatkan hasil uang haram hingga 3,8 Miliar, sama dengan kasus hambalang kasus ini terjadi karena jalinan nepotisme antar para pelakunya, untuk kasus ini pelakunya berada di lingkup Rektorat Universitas Udayana.
Selanjutnya, Bahasan Konservatif
Jika kita bicara dari akar rumput, sudah barang tentu nepotisme telah menjadi budaya bahkan adat istiadat.
Di Padang Pariaman misalnya, gelar petua adat 'Datuak' biasanya diturunkan dari mamak (Paman) ke kemenakan laki-laki, dan gelar datuak ini akan didapatkan kemenakan jika mamak telah wafat atau memang sengaja melepaskan gelar karena ketidaksanggupan, dan ini akan memaksa pergantian datuak, dan mau tidak mau si kemenakan laki-laki tertua harus siap menyandang gelar datuak melalui prosesi adat bernama 'Batagak Gala'
Datuak di Padang Pariaman, memiliki peranan yang cukup krusial dan memiliki kedudukan tinggi di Padang Pariaman, datuak memegang peranan dalam memimpin suatu kaum dan juga sebagai pelindung.
"Meskipun laki-laki yang diangkat sebagai datuak di kaumnya itu masih berusia muda, mereka tetap harus menjalankan amanah sepenuhnya. Tidak boleh ragu-ragu. Artinya, usia tidak bisa menjadi pedoman kebijaksanaan seorang datuak suatu kaum. Sebab mereka diangkat jadi datuak, tentu karena dinilai mampu menjadi tempat berlindung seluruh individu di kaumnya," ungkap sosiolog Unand Dr. Azwar saat diwawancarai Padang Ekspres dua tahun yang lalu.
Nepotisme di Minang adalah hal yang sangat terbuka dan bukan tabu lagi. Satu kaum atau suku akan lebih menaruh rasa hormat yang lebih kepada sanak familinya yang satu suku juga. Banyak transaksi mempermudah sesuatu yang yang sudah chaos atas dasar 'Sasuku' sebut saja dalam hal pendidikan, banyak praktik nepotisme yang didasarkan atas bantuan kemudahan yang diberikan oleh sanak-family seseorang yang berada dalam pendidikan lingkup tersebut.
Alhasil tujuan tercapai dan tak jarang juga harus memakai sedikit pelicin kalau masuk sekolah namanya 'Bali Bangku'. Selain itu banyak Caleg di Sumbar memakai asas politik identitas dan kesukuan dalam berkampanye, slogan-slogan petatah petitih minang selalu dipakai dalam spanduk yang terpampang. Bahkan dalam beberapa spanduk caleg juga terpampang gelar adat yang disandang bersanding dengan gelar akademik dibelakang namanya.
Banyak janji diobral dalam spanduk itu, mulai dari obral janji berbahasa minang sampai obral janji pembangunan daerah.
Di Padang Pariaman, kebiasaan untuk mengedepankan identitas kesukuan untuk masyarakat sangat kental adanya, banyak masyarakat akan memandang remeh suku dari pulau lain. Menganggap mereka rendah dan tak beradat. Ini sudah membudaya turun temurun dan bahkan hal ini juga terjadi dibeberapa daerah yang terbilang masih sangat kental budaya konservatifnya.
Budaya konservatif tak bisa dielakkan manusia, yang bisa dielakkan adalah tuntutan tugas dari yang maha kuasa, tapi masih terikat sampai alam baqa, bagaimana manusia menikmati konservatif itu? Sederhananya dengan ajojing yang gembira, seperti suku maya berajojing menyambut kiamat 2012, tapi dasarnya manusia akan selalu bertumbuh dan bertambah, semakin banyak ilmu semakin congkak, semakin tinggi badan, semakin mudah mengambil jambu warga berbuah lebat di jalan. Tapi sebaliknya, makan siang yang enak sudah barang tentu dengan Nasi Padang bukan Lontong Malam.
Komentar
Kirim Komentar