Modernisasi: Urang Minang Jan Sampai Lupo Jo Kato Nan Ampek
Afifah Salsabilah Putri
Indonesia merupakan negara yang majemuk dan memiliki keragaman kebudayaan. Beragam suku dan budaya menyebar dari Sabang hingga Merauke. Tak bisa dipungkiri setiap suku dan kebudayaan memiliki sistem adat dan nilai-nilai luhur budaya yang menjadi ciri khas-nya tersendiri. Sama halnya dengan suku Minangkabau, tidak hanya memiliki rumah adat, pakaian adat serta makanan yang autentik saja, namun mereka juga memiliki nilai luhur nan indah. Salah satunya "Kato Nan Ampek" (Kata Yang Empat).
Kato secara sederhana dapat diartikan sebagai tata aturan, tatakrama dalam bertutur kata yang baik antarsesama. Adat Minangkabau menekankan nilai-nilai etika dalam berkomunikasi, yang diatur dalam filosofi Kato Nan Ampek.
Dalam budaya Minangkabau dikenal empat cara bertutur yang disebut dengan Kato Nan Ampek, yaitu pertama kato mandata, tata krama bertutur kata kepada teman sebaya meskipun seusia, kata yang dituturkan harus dalam koridor saling menghargai dan tidak menyinggung satu sama lain.
Kedua kato mandaki, tata krama bertutur kata kepada yang lebih tua, bertutur katalah dengan sopan dan tunjukkan rasa hormat.
Ketiga kato manurun, tatakrama bertutur kata kepada orang yang lebih muda, meskipun lebih muda jangan merasa paling tahu dan paling benar.
Dan terakhir kato malereang, tata krama bertutur kata kepada orang yang disegani, untuk berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki latar belakang status sosial tertentu, seperti datuak, tanpa memandang usia.
Andai saja ada orang Minangkabau yang tidak bisa menggunakan tutur kata tersebut sesuai dengan budaya yang berlaku, maka orang tersebut akan dikatakan "indak tau di nan ampek" maksudnya tidak tau akan hal yang empat artinya orang tersebut tidak mempunyai etika, sopan santun, tidak beradat, tidak bermalu serta tidak beradab.
Salah satu pituah adat Minangkabau mengenai sopan santun dalam berperilaku, yaitu Nan Kuriak Iyolah Kundi, Nan Sirah Iyolah Sago, Nan Baiak iyolah Budi, Nan Indah Iyolah Bahaso. Yang artinya dalam kehidupan bergaul, budi pekerti yang baik serta sopan santun sangatlah berharga, tuturan yang baik, agar tidak menimbulkan konflik, sehingga terciptanya interaksi yang baik antara individu dengan individu lainnya.
Akan tetapi, saat ini ketika zaman sudah berubah, ketika teknologi informasi sudah merajai nusantara, etika berbahasa Minangkabau mengalami kemerosotan pemakaian.
"Nak, beko tamui se amak di kadai buk santi dih" (Nak, nanti temui saja Ibu di kedai Buk Santi), ujar Buk Nia kepada salah satu anaknya saat berkumpul.
"Jam bara kiro-kiro tu?" (Kira-kira jam berapa?), jawab salah satu anak buk Nia.
Sekilas saat didengar tidak ada yang salah dalam percakapan di atas, hanya menggambarkan situasi umum yang menggunakan kalimat sederhana guna bertanya waktu janjian seorang anak kepada ibunya. Namun, kalimat pertanyaan yang dituturkan tidak menyertakan alamat kepada siapa ia bertutur kata.
Sesuai dengan etika berbahasa Minangkabau, pemilihan diksi dalam sebuah kalimat tadi tidak menggambarkan filosofi Kato Nan Ampek. Andai diucapkan di daerah kabupaten Sumatera Barat (Sumbar) yang notabene dihuni oleh masyarakat yang memiliki pemahaman akan nilai luhur budaya Minangkabau yang masih kental, tentu akan berpotensial menimbulkan sebuah persoalan.
Dalam penerapannya di tengah masyarakat, kato nan ampek adakalanya sering terlupakan. Hal ini tentunya memicu pertikaian dan merusak pergaulan Orang Minang sudah mulai terpengaruh dengan budaya mengglobal.
Tak ayal, banyak ditemui orang Minangkabau (khususnya muda-mudi Minangkabau) yang telah lupa atau bahkan tidak pernah diajari akan etika dan nilai luhur budaya dalam bertutur kata yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Kato nan ampek semestinya senantiasa diterapkan saat kapanpun dan dimanapun komunikasi dijalin, baik itu berkomunikasi secara tatap muka atau pun tidak. "Kato nan ampek" akan sangat ampuh mengurai persoalan diskomunikasi.
Manusia pada dasarnya akan senang dihargai dan dihormati. Bila penghargaan itu diberikan terlebih dahulu kepada pasangan komunikasi, maka proses komunikasi yang kita lakukan selanjutnya akan lebih baik dan tidak akan ada masalah serta hambatan.
Adat Minangkabau mengajarkan kita agar pandai bertutur kata secara baik. Oleh karena itu, kita mesti menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ucapan yang kita lontarkan merupakan cerminan diri kita sendiri.
Baik buruknya yang kita tuturkan itu kembali lagi kepada konteks diri sendiri. Sebagai mahasiswa yang merupakan ujung tombak dalam memperbaiki kualitas bangsa tentunya harus menyadari hal yang sesederhana ini.
Komentar
Kirim Komentar