Pengakuan Kebudayaan Mentawai dalam Perspektif Undang-Undang

Foto: detikNews
Tiara Tri Dewi
Saat mendengar seseorang membahas provinsi "Sumatera Barat" yang muncul di benak kita adalah mengenai Minangkabau. Hal itu dikarenakan mayoritas penduduk Sumatera Barat bersuku Minangkabau. Meskipun begitu, ada beberapa suku selain suku Minangkabau, salah satunya adalah suku Mentawai.
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Suku Mentawai dianggap sebagai salah satu suku tertua di Indonesia yang telah mendiami Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat sejak 500 SM. Di tengah arus modernisasi, suku Mentawai memiliki kebudayaan kuat yang masih terjaga hingga saat ini.
Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Nusyirwan Effendi selaku Guru Besar FISIP Universitas Andalas pada acara Revitalisasi Pengetahuan dan Eksperesi Budaya Tradisional antara Minangkabau dan Mentawai pada 2016 lalu menyampaikan perbedaan antara kebudayaan Minangkabau dan Mentawai.
Pertama, dari segi rumah adat, di Minangkabau rumah adatnya adalah Rumah Gadang. Secara tradisional, rumah adat adalah sebuah rumah panggung milik suatu kaum yang ditinggali oleh keluarga batih dari keturuan matrilineal bersama dengan anak-anaknya yang belum menikah. Sedangkan pada kebudayaan Mentawai rumah adatnya disebut Uma. Secara tradisional, Uma adalah sebuah rumah adat panggung besar untuk tempat tinggal keluarga yang masih memiliki hubugan kerabat.
Kedua, dalam organisasi sosial tokoh suatu Uma dalam kebudayaan Mentawai disebut rimata. Tokoh religi disebut sikerei. Keluarga batih terkecil disebut lalep yang dipimpin oleh seorang yang disebut ukui. Garis keturunan adalah patrilineal. Sedangkan pada budaya Minangkabau tokoh suatu nagari disebut penghulu. Tokoh religi disebut alim ulama. Keluarga batih terkecil disebut dengan samande. Garis keturunan adalah matrilineal.
Pada 25 Juli 2022, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 Pasal 5C tentang Provinsi Sumatera Barat yang berbunyi "Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik, yaitu: adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah adat basandi syara', syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religious dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat."
Penetapan Undang-Undang tersebut tentunya memunculkan polemik baru. Masyarakat Mentawai merasa dikesampingkan karena yang disebutkan hanyalah kebudayaan Minangkabau. Padahal kebudayaan Mentawai juga bagian dari Sumatera Barat. Menindaklanjuti hal tersebut, mengutip dari kompas.id pada 09 Agustus 2022, Aliansi Mentawai Bersatu (AMB) menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat. Aliansi tersebut menuntut agar gubernur Sumatera Barat juga memperjuangkan masyarakat adat Mentawai agar diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Dalam pengetahuan penulis, masyarakat Mentawai tidak mempermasalahkan narasi yang menyebutkan "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah". Namun, kejanggalan menurut mereka adalah tidak disebutkannya kebudayaan Mentawai dalam Undang-Undang tersebut.
Menanggapi hal tersebut, dikutip dari cnnindonesia.com, Gubernur Sumbar Mahyeldi membantah tudingan diskriminasi budaya Mentawai dalam Undang-Undang Nomor 17 (UU) tentang Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang baru disahkan pada 25 Juli 2022. Menurutnya, tidak ada pengucilan dan mengesampingkan budaya Mentawai yang selama ini ada di Sumatera Barat. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk berkonsultasi dengannya terkait masalah tersebut.
Dalam pandangan penulis, pengakuan suatu kebudayaan dalam Undang-Undang merupakan hal yang penting. Terlebih Undang-Undang merupakan suatu hal yang sakral. Sama halnya dengan kebudayaan dan adat yang tak kalah pentingnya karena sudah melekat di dalam masyarakat Indonesia sejak nenek moyang dahulu.
Mentawai adalah bagian dari Sumatera Barat dan tidak ada yang bisa mengelak atas hal tersebut. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda tetapi tetap satu jua, kita juga harus ikut merasakan dan memperjuangkan hak-hak yang belum didapatkan oleh saudara-saudara kita yang ada di Mentawai. Tidak hanya di Mentawai, tetapi juga di seluruh elemen masyarakat bangsa Indonesia.
Komentar
Kirim Komentar