Karbak 85

Ilustrasi:Salamadian.com
Adinda Ardhia Salsabila
Aku bahagia bisa tinggal di gang yang dihuni dari berbagai suku, agama, dan ras. Meskipun ada saja pasal (masalah) kutemui di gang rumahku, tapi kami semua hidup rukun dan damai serta saling menolong. Nama gangku "karbak" dan kisah ini terjadi di tahun 85-an, di manaserial unyil jadi tontonan favorit.
Gang tempatku tinggal tidak terlalu kecil hingga mobil bisa lewat dengan panjang hingga lebih 1 km. Di ujung depan gang, ada jalan besar dua arah yang terdapat bangunan hotel, ruko, dan supermarket. Sementara di ujung belakang gang terdapat jalan raya juga satu arah dengan beberapa bangunan kampus dan sekolah. Jadi, bisa dibilang daerah tempatku tinggal adalah lokasi strategis di tengah kota, meskipun di dalam gang rumahnya rapat-rapat.
Aku ingat kalau bahan sembako di rumah habis, maka mamak akan menyuruhku dan adikku untuk kasbondulu ke toko sembako orang china di gang depan rumah namanya Ko Arthur. Kebetulan Ko Arthur teman dekatnya Bang Wawan, yaitu sama-sama satu kampus di Fakultas Ekonomi. Kadang bergantian kakak sama abangku yang disuruh ngutang dulu yang nantinya akan dibayar setelah Bang Wawan mengirimkan uang gaji setiap bulannya.
Bermodalkan list catatan bahan pokok yang dibutuhkan, aku pun dengan rasa cemas dan sedikit malu pergi ke toko. Cemas nanti kalau yang melayani bukan Ko Arthur gimana? Takut tidak dilayani dan tidak dikasih hutang lagi. Kalau yang melayani Ko Arthur aku lega karena orangnya sangat baik dan ramah. Ko Arthur akan langsung menyuruh karyawannya segera mengambilkan bahan sembako pesananku, seperti beras, minyak, susu, telur, dan lainnya.
"Ini adik si Wawan dilayani dulu," ucapnya sambil tersenyum ramah padaku. Maka aku bernafas lega dan pulang dengan perasaan bahagia karena telah terlepas dari beban.
Selain Ko Arthur tetangga gang kami bernama Pingping dan Meimei adalah satu-satunya orang China yang ada dalam gang. Mereka adalah teman sepermainan kakakku, Upi dan Ida. Cuman kalau mau bermain ke rumahnya harus mengintip dulu apakah anjingnya ada. Biasanya Pingping dan saudara kembarnya, Meimei akan mengunci anjingnya di kamar belakang agar kakakku dan teman lainnya bisa masuk.
Sewaktu imlek, keluarga Pingping akan membagikan kue imlek seperti kue bakul dan kue raya mereka ke tetangga. Kakakku juga suka diajak naik mobil bersama Pingping ke sekolah. Keluarga Pingping memang sangat baik pada warga gang kami. Semua warga senang pada mereka dan kami pun hidup harmonis serta saling menghormati satu sama lainnya.
Mirisnya kadang dari ras sendiri malah tidak saling menghormati dan sering tidak akur. Contohnya keluarga Wak Amara orang Indonesia yang sering berkelahi dengan tetangga hanya masalah anak. Bila anaknya kesenggol dikit, maka Wak Amara akan langsung melabrak anak tersebut. Padahal anak Wak Amara sendiri yang sering memulai duluan cari masalah hingga sering adu mulut dan adu hantam dengan anak gang kami.
Kata orang-orang, keluarga Wak Amara berdarah panas alias gampang emosinya mendidih bila tersulut atau tersenggol. Makanya kami harus menahan sabar ketika kesulitan air dan harus beli air pam keluarga Wak Amara dengan memasang selang air dari rumahnya. Lepas atau bocor sedikit selang kami, Wak Amara langsung berteriak marah. "Sabar," ucap mamakku.
Selain orang China, banyak juga warga keturunan India di daerah kami. Cuman bedanya mereka tinggal di perkampungan tersendiri Nama kampungnya "keling" yang berganti menjadi nama "madras" demi menghormati mereka dengan tidak menyebut keleng yang artinya hitam.
Pada kehidupan sehari-hari, warga mereka ada yang berjualan jajanan berupa cenil dan putu mayong, yaitu kue dari tepung beras yang diolah sedemikian rupa dan dikukus sehingga bentuknya seperti gumpalan bihun. Biasanya dihidangkan bersama cenil dan gula aren yang dicairkan. Jualannya dipikul memakai tampah yang dilapisi lembaran pisang dan sering lewat di gang kami. Ada juga yang jualan susu keliling pakai sepeda namanya susu menggali. Penjualnya rata-rata memakai sorban putih yang dililit di kepala.
Ada pengalaman lucu sekaligus bikin aku kesal kalau Mamah (panggilan orang keling penjual cenil) lewat di gang kami. Maka spontan anak-anak gang meneriaki aku.
"Ujanni, itu mamakmu datang, ha-ha-ha."
Aku yang bete dan malu dipanggil Manjula langsung lari ngumpet di kamar. Ujanni ini sebenarnya nama anaknya si penjual cenil. Kata si mamah penjual cenil anaknya memang mirip denganku, hitam, rambutnya agak keriting dan mancung. Jadilah anak gang seringnya memanggilku Ujanni.
Bukan, namaku sebenarnya adalah Sky.
Memang kulitku tambah hitam karena sering bermain walau panas di siang hari. Bahkan penjual susu yang orang menggali itu suka senyum-senyum bila melihatku.
"Mau gak nikah sama anakku," ucap dia melihatku.
Alamak, aku kan masih bau kencur dan bermain juga masih sering nggak pakai sandal. Aya-aya wae si menggali.
Masa kecilku adalah masa yang sangat indah dan penuh kegembiraan, sebab lebih banyak kuhabiskan dengan bermain bersama teman-temanku. Menurut psikolog, bermain adalah kebutuhan utama bagi anak-anak di masa pertumbuhannya, yang bila terenggut akan membuat anak tersiksa. Jadi, betapa bahagianya aku yang bisa bermain tanpa batasan. Berbagai jenis permainan anak-anak di tahun 90-an sudah kurasakan. Mulai dari bermain masak-masakan, lompat tali, patok lele, gundu, dan petak umpet.
Temanku juga berasal dari berbagai suku dan karakter. Sehingga banyak pengalaman yang kudapatkan dari interaksi dengan mereka. Kata yang lainnya, aku mencari bahagiaku lewat bermain. Walau aku tak selalu merasa bahagia dalam bermain akibat sesekali di-bully. Seringnya dilakukan oleh Ana si penguasa, sekaligus bos bagi kami kala bermain.
Ana adalah orang Melayu yang memiliki tubuh tinggi dan kurus, tapi tenaganya kuat. Berbeda denganku yang kurus, namun malas makan. Ada lagi temanku, Tini yang orang Padang, badannya berisi dan tubuhnya bagus. Sedari kecil Tini sudah terlihat lebih genit dari kami dan rajin berdandan. Tini hanya malas kalau disuruh beberes rumah seperti cuci piring atau menyapu. Sedangkan Wiwik orang Mandailing sangat rajin, tapi berwajah pas-pasan dan agak perhitungan soal uang.
Tapi, kalau berkelahi dengan Ana, pasti tidak bisa menang karena dia tenaganya banyak. Mana tulangnya keras, jadi sakit rasanya kalau berkelahi dengan Ana. Kayaknya makanan Ana lari ke tulangnya semua, deh. Enggak enaknya kalau pas Ana mengajak kami mencuri mangga atau jambu. Padahal aku takut dosa karena mencuri. Sebagaimana ceramah yang sering kudengar, haram kata pak ustad dan guru mengaji kalau makan hasil curian. Masalahnya anak-anak takut sama Ana, termasuk aku karena Ana ketua geng kami. Semua omongannya harus kami turuti, sebab kalau melawan bakal di es-ke-te-in deh alias enggak ditemenin.
Kalau sudah enggak ditemenin otomatis tidak boleh ikut bermain. Rasanya tidak enak saat melihat anak-anak lain bermain, tapi aku tidak boleh ikut. Cuman mengintip dari jendela dan dengar suara riang bermain mereka saja. Padahal Ana selalu punya ide mengajak bermain yang seru dan asyik. Entah itu main masak-masakan di rumahnya, main bola kasti, dan battalion. Itu, lho, batu bata yang disusun-susun. Siapa yang kalah harus jaga dan menyusun batu bata. Pokoknya seru deh kalau ikut si Ana bermain.
Buat yang masa kecilnya tahun 80 sampai 90-an pasti tahu. Sementara anak yang lain cepat-cepat sembunyi biar nggak gampang ditemukan saat dicari. Atau main patok lele dan kuaci. Bukan kuaci yang bisa dimakan dari biji matahari, ya. Permainan kuaci adalah benda yang bentuk gambarnya terbuat dari plastik berukuran kecil dan berwarna-warni. Ada gambar orang, rumah, perabot dapur, dan banyak lagi. Pemain harus dua orang dengan cara dibuat garis pembatas lalu kuaci disebar dan dipatuk pake gaconya. Bila keluar garis berarti menang. Juga permainan seru lainnya yang ada saja idenya di kepala Ana. Herannya, kok kami mau-mau saja waktu itu diperintah oleh Ana.
Kalau ingat masa itu, aku jadi kangen permainan masa kecil. Permainan yang sarat makna dan masih terjalinnya interaksi sosial yang nyata bukan maya seperti gadget. Selain itu, adanya bonding emosional yang kuat dengan sesama teman yang ikut bermain. Serta kerja sama dan sportifitas dalam permainan. Bandingkan dengan zaman sekarang yang mulai terkikis dengan kemajuan arus gelombang teknologi. Anak-anak usia balita saja sudah dikasih gadget oleh orang tuanya. Kembali lagi ke cerita Ana yang mengajak mencuri mangga dekat masjid. Aku yang mengalami konflik batin, akhirnya memberanikan diri menolak ajakan Ana mencuri buah di halaman rumah orang.
"Ana, kata guru mengaji mencuri itu dosa. Gue nggak mau ikutan."
"Alah! Sok alim kali kau Sky!"
Aku tetap menolak ajakan Ana dan gengnya.
"Ya sudah kita es-ke-te-in saja!"
Meskipun nggak ditemenin, aku tetap memegang prinsip untuk nggak mau diajak mencuri jambu atau mangga. Meskipun hati ini tersiksa karena tidak bisa ikut main walaupun sehari. Mamak malah senang melihat aku di rumah terus beberapa hari karena tidak lagi keluyuran sampai lupa pulang. Nah, kalau sudah di es-ke-te-in alias diboikot Ana, dia akan mencegat anak yang dimusuhi ketika lewat, salah satunya aku. Pokoknya jadi ciut kalau keluar rumah. Harus lihat dulu dari jauh ada Ana dan gengnya tidak, ya? Takut dicegat.
Apalagi Ana pasti dapat dukungan kuat dari teman-teman yang akhirnya ikutan musuhin juga. Soalnya kalau tidak patuh akan di es-ke-te-in juga sama dia. Pokoknya tiada kata takut dalam kamus Ana, meskipun lawannya lebih besar dari dia.
Ada satu hal yang ditakutkan oleh Ana, yaitu bapaknya merupakan guru mengaji. Kalau lagi belajar mengaji sama bapaknya, barulah kita bisa lihat Ana nangis kejer akibat dibentak dan dihajar. Soalnya walau sudah diajari, Ana enggak bisa-bisa juga baca Al-Qur-an. Kesabaran bapaknya Ana suka habis hingga membentak-bentak Ana. Modusnya Ana mau mengajakku kembali berdamai kalau pas ada maunya, yaitu minta dibuatkan tugas matematika, sebab walaupun dia kuat di antara kami, tapi kecerdasan Ana jauh di bawah kami.
Aku bahagia karena memiliki banyak saudara, jadi tidak kesepian. Abangku ada tujuh, tapi satu sudah meninggal saat masih SMP. Sedangkan kakakku ada dua dan adikku satu laki-laki. Makanya kami tidur selalu berdempetan saking ramenya. Oleh mamak, akhirnya dibikin tempat tidur bertingkat biar tidak ada lagi yang tidur di kaki. Di mana risikonya bisa ketendang-tendang apalagi aku tidurnya lasak.
Alhamdulilah setelah aku kelas 6 SD, ada rejeki dari kerabat bapak yang memberi dana untuk membangun rumah kami menjadi dua lantai. Selain itu satu persatu abang dan kakakku mulai bekerja setamat SMA. Kami tidak terlalu kekurangan lagi, tapi cukup dan listrik juga tidak pernah diputus lagi oleh PLN karena selalu menunggak. Tak heran kami juga pernah makan sambil gelap-gelapan, tapi tetap saja seru kurasakan.
Kata mamak sebenarnya uang untuk membangun rumah adalah biaya untuk memberangkatkan bapak naik haji. Namun, bapak memilih uangnya untuk membuat rumah bertingkat untuk kami dan menguburkan impiannya yang sudah lama untuk berangkat haji karena yang lebih penting menurut bapak adalah memberikan rumah yang layak untuk keluarganya. Aku sampai berkaca-kaca karena terharu mendengarnya.
Seru itu pas makan bersama dengan lauk sederhana. Hanya berupa telur sambal atau telur dadar. Bahkan saking susahnya kami pernah makan hanya berlauk garam dan sedikit minyak goreng biar lebih lemak kata nenekku. Tapi herannya nasi racikan nenek rasanya nikmat sekali, hingga aku makannya bertambah-tambah. Nenek senang membacakan doa-doa yang diambil dari Al-Qur'an. Mungkin di sanalah letak berkahnya. Memang bicara soal gizi tidak memenuhi standar. Tapi bila bergizi juga kalau dari hasil mencuri misalnya, berkahnya tidak ada. Idealnya, sih, yang kita makan haruslah bergizi dan berkah. Satu hal yang tak pernah kulupa ketika mamak suka menyuruhku membeli kuah sayur lontong di tempat si Ana bila di rumah tidak ada yang bisa dimasak. Ibunya si Ana memang satu-satunya penjual lontong di gang kami.
"Sky, sayurnya sudah habis tinggal kuahnya aja. Nih, aku kasih murah. Gimana mau sekolah dan kost di Yogya kamu, Sky. Makannya saja sanggupnya cuma pakai kuah lontong," ucapnya dengan nada mengejek sambil tertawa. Makjleb banget, kan? Walau sakit hati, tapi aku berusaha tak memedulikan ejekan Ana.
Dalam hati aku cuma bisa membatin, "Lihat saja nanti, Ana. Kalau aku nanti pasti bisa sekolah ke Yogya."
Jadilah kami benar-benar makan nasi hanya dengan kuah lontongnya saja waktu itu.
Bukan hanya Ana saja yang suka cari pasal (masalah) di gang kami. Tapi ada tetangga kami Bu Shinta yang dikenal suka bikin pasal (masalah) dan tak mau kalah dalam hal pamer harta. Makanya kalau ada yang baru beli barang bagus akan mendadak tidak dicakapi (dalam bahasa Medan didiamkan alias tidak ditegur). Lalu tak lama kemudian akan ikutan membeli barang serupa. Misalnya ada yang baru beli kulkas baru, maka Bu Shinta akan segera beli kulkas juga yang lebih bagus, walau sudah punya kulkas di rumah. Pokoknya tidak mau dikalahkan dalam soal kekayaan.
Satu lagi, Bu Shinta ini kalau lagi latihan senam di rumahnya bersama teman-teman sosialitanya, suara musik senam akan ia setel sekencang-kencangnya. Bikin berisik dan mengganggu sekali karena kami tetangga yang pas ada di samping rumahnya. Pokoknya mengalahkan suara tetangga depan rumah kami yang orang Batak ketika bernyanyi dengan suara tinggi sambil bermain musik. Belum lagi si Ferdi tetangga yang tak jauh dari rumahku. Bila sedang patah hati pasti setel lagu galau Malaysia dengan volume cukup tinggi. Salah satunya lagu band UKS cinta itu buta.
"Jika benar cinta itu butaaa, butakah hatikuuu. Berkali-kali terluka masih juga kumenunggu."
Alamak! Sudah seperti pasar malam.
Aku ingat suatu hari Bu Shinta mengajak abang-abangku untuk menghadiri sebuah acara dengan imbalan uang. Aku yang waktu itu masih sekolah kelas 4 di SD negeri tidak ikut. Bayarannya lumayanlah buat uang jajan. Abangku dan anak-anak di gang kami yang masih duduk di bangku kelas 6 SD hingga SMP pun tergiur dengan syarat kalau nanti ditanya sama yang memberi sumbangan mereka harus mengaku sudah yatim piatu. Apa?
Tentu saja aku bingung mendengar penjelasan abang-abangku setelah selesai acara. Soalnya bapak dan mamak masih hidup. Kok, abang-abangku disuruh mengaku sebagai anak yatim? Itu sama saja mendoakan orang tua kami meninggal dunia. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang orangtuanya masih hidup, pikirku.
Awalnya Bu Shinta yang mengaku mempunyai sebuah yayasan anak yatim (padahal yayasannya tak pernah ada hanya tertulis di banner besar-besar yang dipasang di depan rumahnya) mengajak anak-anak gang untuk ikut memeriahkan acara yang diselenggarakan. Ternyata itu sebuah acara untuk memungut amal atau sumbangan dari para pemilik dana. Nah, agar pemberi sumbangan percaya, dia meminta anak-anak yang hadir untuk mengaku sebagai anak yatim di yayasan fiktifnya.
Berhubung sudah terlanjur hadir dan dapat upah, anak yang masih memiliki orangtua seperti abang-abangku dan temannya pun terpaksa berbohong. Yah, namanya juga anak-anak yang masih polos ditambah iming-iming uang jajan lagi. Jadi, status mereka hanyalah anak yatim fiktif karena aslinya masih punya orangtua.
Para orang tua termasuk mamak pun tidak pernah tahu dan curiga waktu itu. Apalagi anak-anak gang kami termasuk abang-abangku hanya berkata diundang oleh Bu Shinta dan dapat duit. Namun setelah kejadian itu, anak-anak gang kami oleh para orangtuanya dilarang untuk ikut bila diundang lagi. Herannya yayasan fiktif Bu Shinta masih tetap ada meski hanya tertulis di depan rumahnya. Mungkin dia mengajak anak-anak gang lain ketika meminta sumbangan lagi. Herannya tidak ada warga yang berani melaporkannya ke polisi. Jadi, dibiarkan saja selama tidak merugikan warga. Entahlah!
Itu baru soal pemalsuan status dan kebisingan yang mengganggu keluargaku, belum lagi soal pencurian tanah oleh keluarga Bu Shinta. Jadi ceritanya keluarga Bu Shinta baru beli mobil dan tidak punya garasi. Tanpa merasa bersalah tanah di depan rumahnya yang merupakan jalan umum, langsung mereka aspal buat parkir mobilnya. Hal ini tentu saja memakan jalan umum hingga jalanan yang dilalui warga menjadi kian sempit karena sudah berkurang lebarnya akibat diambil.
Lalu kesalnya lagi, Bu Shinta juga diam-diam malah mengambil tanah samping rumah kami. Untuk memperlebar rumahnya, Bu Shinta tanpa merasa bersalah menyemen tanah samping rumah kami untuk dibuat pagar. Masih belum puas juga, Bu Shinta lalu memperluas rumahnya dengan mengambil tanah di belakang rumahnya milik tetangga. Bu Shinta lupa kalau tetangga belakang rumah kami tidak sesabar ibuku yang memang tidak suka ribut. Mereka pun melabrak keluarga Bu Shinta, meskipun tidak mempan juga. Karena tidak terima, tetangga belakang rumah kami pun mengancam akan mendatangkan harimau mereka dari hutan Pasaman Padang kalau tanah mereka tidak juga dikembalikan.
Bu Shinta malah tertawa dan tidak takut apalagi percaya dengan adanya ancaman akan didatangi harimau milik turun-temurun tetangga belakang rumah kami. Pikirnya mana mungkin ada harimau siluman di zaman sekarang? Namun, keesokan harinya tersebar kabar heboh bahwa Bu Shinta jatuh pingsan pada saat membuka pintu belakang rumahnya di pagi buta. Katanya Bu Shinta mengalami syok setelah tiba-tiba melihat seekor harimau yang hendak menerkamnya. Entah benar atau salah yang pasti Bu Shinta langsung minta maaf dan mengembalikan tanah belakang yang ia ambil tanpa ijin.
Aku sendiri sampai sekarang masih bingung harus percaya apa tidak tapi pengakuan Bu Shinta dia melihat sendiri dengan mata kepalanya. Untuk itulah dia langsung mengembalikan tanah yang ia ambil. Padahal kalau Bu Shinta tahu hukumnya mengambil tanah orang lain, pasti ia lebih takut lagi menghadapi siksa saat mati nanti.
Berbicara soal orang kaya, di masa itu sekitar tahun 90-an di gang kami hanya keluarga July temanku yang baru memiliki video. Sehingga kami sering diajak nonton film ratapan anak tiri, ateng, dan film lainnya yang terkenal waktu itu. Kaset video jaman dulu bisa setebal roti bantal. Tidak tipis seperti sekarang yang berbentuk DVD. Biasanya aku dan anak-anak yang diajak nonton film akan duduk menunggu dengan tak sabar tiga puluh menit sebelum film diputar di lantai yang beralaskan karpet.
Bapak July terkenal sangat baik dan dermawan pada lingkungan sekitar. Bahkan kami sering diberi uang jajan oleh bapaknya July saat bermain di rumahnya. Begitu juga dengan abang-abang July, tak pernah meminta uang kembalian dari warung saat menyuruh kami dan anak-anak tetangga membelikan barang keperluan atau makanan yang mereka inginkan seperti cemilan, sabun mandi, dan sebagainya. Sepertinya uang keluarga July tidak ada serinya alias tak terhitung banyaknya.
Suatu hari kami mendengar sebuah berita yang mengejutkan bahwa bapaknya July mati dibunuh. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati July dan keluarganya. Usut punya usut ternyata bapaknya July dibunuh oleh musuhnya sendiri. Rasanya tak percaya orang sebaik dan seramah bapaknya July punya banyak musuh.
Para tetangga pun mulai menyebar gosip bahwa tak heran bapaknya July banyak yang benci dan dendam, sebab semasa hidupnya juga suka menyuruh anak buahnya menghabisi nyawa orang lain. Berita bapaknya July seorang mafia yang berkuasa di kota kami, hingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya terus menjadi perbincangan. Berita orang terkaya itu mati ditangan musuh-musuhnya sendiri membuat July dan keluarganya sangat terpukul.
Keluargaku tidak langsung percaya karena baru sebatas isu yang bisa saja berita hoax. Soal sikap dermawan keluarga July entah hanya sekedar pencitraan atau tulus dari hati. Ada satu pesan yang terus aku ingat dari guruku bahwa setiap orang punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Jadi tak perlu menghakimi dan merasa paling benar apalagi sampai menambah masalah orang yang tersangkut masalah.
Di gang kami juga ada dukun yang kadang dikunjungi orang luar. Rumahnya selalu tertutup dan gelap. Suka agak merinding bila melewati rumah satu-satunya dukun di gang kami ini. Biasanya yang datang mulai dari pengaduan barang berharganya hilang hingga meminta sang dukun untuk mencari tahu siapa yang mengambilnya. Bahkan ada juga yang berobat karena terkena santet.
Aku jadi ingat ketika dulu adikku sering sakit-sakitan sampai malas sekolah. Sudah sering dibawa berobat tapi kata dokter tidak ada penyakitnya. Berbagai cara dilakukan oleh abangku Arman dengan mencoba berbagai pengobatan. Alhamdulillah adikku bisa sembuh setelah diobati seorang ustad. Suatu hari abangku Arman sedang membongkar video kami yang rusak. Tiba-tiba abangku menemukan buntelan kain berisi paku, jarum, dan serbuk besi terselip di video. Barang ini setahu kami adalah alat santet yang dikirim orang untuk mencelakai orang lain. Apa ini berarti ada orang yang ingin mencelakai keluarga kami? Wallahu a'lam.
Di gang rumah kami memang terdiri dari puluhan keluarga yang menetap, mulai dari keluarga Batak, China, Jawa, Melayu, Padang, dan Mandailing. Namun ada satu keluarga yang menurutku memiliki kebiasaan dan cerita unik dari anggota keluarganya. Mereka adalah keluarga Melayu yang tinggal tak jauh dari rumah kami yaitu kalau berjalan sekitar 100 meter. Aku sendiri suka bermain ke sana untuk nonton televisi atau sekadar bertandang saja. Mereka juga selalu menyambut kedatangan anak gang kami. Kebetulan keluarga Melayu ini juga membuka warung sembako di rumahnya. Jadi, pembeli datang sekalian untuk ngobrol-ngobrol.
Keluarga ini memiliki prinsip yang berbeda dari kebanyakan keluarga lainnya, yaitu tidak pernah menyimpan uang mereka di bank dengan alasan kurang percaya dan merasa lebih aman menyimpan duit mereka di bawah kasur. Ho-ho-ho, bagaimana kalau ada keperluan untuk kirim uang, ya? Misalnya mengirimi anggota keluarga yang butuh uang atau keperluan lainnya yang memerlukan jasa bank. Namanya juga prinsip keluarga secara turun-temurun dan hingga sekarang terbukti selalu aman. Hal ini semakin membuat anak gang kami percaya saat ibu mereka meninggal dan ditemukanlah uang puluhan juta di bawah kasur kamar ibunya.
Tak hanya prinsip masalah soal uang, anak laki-laki Wak Umin, yaitu Bang Juhi dan Bang Ipang pemilik warung sembako di gang kami ini juga memiliki prinsip. Mereka tidak tertarik untuk menikah. Jadi, mereka tidak lagi tertekan karena ditanya terus kayak zaman sekarang.
Kebalikan dari anak lelaki Wak Umin, yaitu Kak Nuri malah ingin cepat nikah. Bukan karena tidak ada yang mau menikah sama Kak Nuri, sebab Kak Nuri cantik, berkulit kuning langsat dan imut, juga pembawaannya sedikit manja. Hanya saja sulit baginya untuk menemukan jodoh sehingga membuat Kak Nuri trauma bila diundang ke acara pernikahan akibat sudah dua kali gagal menikah.
Soal Kak Nuri yang tak kunjung menikah ada cerita yang melatarbelakanginya. Calon mempelai pria Kak Nuri yang pertama mendadak meninggal karena jatuh sakit sehari sebelum pernikahan. Padahal undangan sudah disebarkan dan keperluan pesta pernikahan juga sudah dibeli. Untungnya Kak Nuri segera melupakannya sehingga dia kembali menjalin hubungan asmara sampai serius ke pernikahan. Namun, lagi-lagi calon mempelai prianya meninggal dalam kecelakaan ketika menuju rumah Kak Nuri untuk menikah.
Bayangkan dua kali hampir menikah dan calon suaminya mendadak berpulang. Kak Nuri tidak sempat merasakan bahagianya menjadi pengantin bersama lelaki yang dicintai dan mencintainya. Kasihan rasanya ketika Kak Nuri hanya bisa menatap iri ketika satu-persatu adik perempuannya menikah.
"Aku kan juga pengen menikah, tapi kalau menungguku terus baru adikku boleh menikah kasihan juga," keluhnya.
Itulah sebabnya Kak Nuri tidak pernah mau datang ke pesta pernikahan. Anak gang kami pun jadi tidak enak hati mengundang Kak Nuri, takut dia sedih.
Oh, ya, Atok atau kakek Kak Nuri adalah orang yang terkenal di gang kami paling banyak memiliki tanah. Tak heran setiap anak dan cucunya sudah memiliki rumah sendiri yang dibangun di atas tanah Bapak atau Atok mereka. Ceritanya Atok mereka yang sudah berumur 90 tahun adalah orang pertama yang tinggal di gang kami di zaman penjajahan. Waktu itu tanah di gang kami masih berupa hutan dan semak belukar.
Atok punya inisiatif sendiri untuk membuka lahan dan menggarapnya yang waktu itu bebas diambil oleh siapa saja asal mau menggarap tanah yang masih belum banyak dihuni itu.Tak heran keluarga Atok tidak ada yang mengontrak karena masing-masing anak sudah dapat jatah rumah. Atok pintar berinvestasi untuk anak cucu dan hari tuanya.
Selain keluarga Wak Umin, di gang kami ada keluarga Wak Husein yang membuatku salut dan terinspirasi. Wak Husein hidup sangat sederhana bersama kelima anaknya di sebuah kontrakan kecil. Tapi Wak Husein tak pernah mengeluh dengan kehidupannya yang sangat sederhana. Wak Husein juga tetap taat beribadah walau hidup susah. Ia hanya menjadi karyawan di bengkel tempat mertuanya sendiri yang lumayan perhitungan soal duit.
Saking perhitungannya, mertuanya bahkan menjual makanan yang tidak bagus lagi seperti salak yang sudah busuk. Alamak! Anak gang kami pun menjulukinya dengan nama Wak Pelit. Namun, Allah Maha adil dan penyayang. Di hari tuanya Wak Husein dan istrinya tak lagi hidup susah sejak anak-anaknya berhasil. Bahkan mendapatkan rejeki bisa naik haji dan jalan-jalan ke luar negeri dari menantunya yang cukup berada.
Ada lagi keluarga Wak Ita seorang guru mengaji yang sudah ditinggal suaminya dan sekarang hidup dengan anak semata wayangnya. Beliau menjadi guru mengaji. Awalnya Wak Ita mengajar ngaji di sebuah madrasah dan masjid dekat rumah. Sampai akhirnya Wak Ita menjadi guru ngaji secara privat di rumah orang berduit tebal dan para pejabat. Tentu saja ini sebuah berkah bagi Wak Ita karena bayarannya lumayan. Walau aku tahu Wak Ita tidak pernah memasang tarif karena ia memang tulus dalam mengajar murid-murid mengajinya. Bahkan Wak Ita sampai diberangkatkan haji oleh muridnya yang kaya raya.
Wak Ita juga mendapatkan cobaan hidup. Iaharus bersabar menghadapi sikap Kak Ita anaknya. Kak Ita yang baru lulus sekolah menengah atas tiba-tiba meminta menikah. Walau Wak Ita keberatan karena selain masih muda, calon suami Kak Ita bukanlah pria yang baik.
Terbukti setelah menikah, Wak Ita sulit bertemu Kak Ita karena dilarang oleh suaminya. Bahkan Kak Ita pun ikut tak peduli pada ibunya sendiri dengan jarang mengunjungi Wak Ita. Istilahnya Kak Ita terjebak cinta buta. Alangkah sedihnya Wak Ita, namun dia hanya bisa berdoa agar anaknya kembali sadar dan bisa bersamanya lagi seperti dulu walau hidup pas-pasan.
Doa seorang ibu pasti didengar oleh Allah. Setahun setelah menikah, Kak Ita pun sadar suaminya bukan orang baik. Mereka pun bercerai dan Kak Ita kembali pada keluarganya. Kak Ita lalu melanjutkan kuliah hingga berhasil menjadi sarjana dan menikah dengan lelaki yang baik dan sholeh. Hanya saja, Wak Ita mengalami cobaan yang lebih berat lagi. Sebelum hari pernikahan, Kak Ita sakit kanker dan harus dirawat sampai akhirnya meninggalkan Wak Ita dan pria yang benar-benar mencintainya. Wak Ita yang tengah bersedih akibat kehilangan anak satu-satunya dan tak lama kemudian ditinggal ibunya, berusaha tetap tegar menjalani hidup dengan tetap menjadi guru ngaji.
Waktu berlalu, kudengar saat di rantau Wak Ita meninggal dunia menyusul ibu dan anaknya Ita. Wak Ita hanya berpesan bila ia sudah tiada, maka rumahnya tolong diwakafkan saja.
Satu pelajaran yang kudapatkan dari kehidupan berkeluarga adalah harus adanya saling menguatkan, bekerja sama dan saling peduli agar ikatan antara anggota keluarga semakin kokoh walau tak bergelimang harta. Oh, indahnya kehidupan sebuah keluarga yang tetap saling peduli dan saling membantu. Bak lagu keluarga cemara harta yang paling berharga adalah keluarga. Jadi, mari kita jaga keutuhan keluarga kita, sebab orang yang pertama kali peduli ketika kita jatuh adalah keluarga.
Kini setelah aku merantau di Jakarta, aku hanya bisa tersenyum sekaligus rindu mendengar kisah anak gang karbak lewat teman kecilku dan saudaraku yang masih tinggal di gang tersebut. Termasuk cerita anak gang yang telah berpulang satu demi satu. Namun, kenangan indah dan pahitnya selama dulu tinggal di sana akan terus hidup untuk kusimpan sebagai kenangan.
Komentar
Kirim Komentar