Kapitalisasi Pendidikan dan Tumbuhnya Mentalitas KKN pada Generasi Muda Indonesia
Muhammad Amar Alfian
Pada Agustus lalu, tersiar kabar tentang operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap oknum rektor di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Wilayah Barat. Kegiatan OTT itu berkaitan dengan kasus gratifikasi untuk meluluskan calon mahasiswa baru untuk mendapatkan jatah kursi di PTN tersebut melalui jalur seleksi mandiri. Oknum rektor ini diduga mematok tarif 100-350 juta untuk meluluskan calon mahasisiwa baru tersebut.
Modus yang digunakan dalam gratifikasi ini adalah dengan melakukan pertemuan dengan orang tua calon mahasiswa dan menanyakan kesanggupannya untuk membayar besaran tarif yang ditentukan diluar pembayaran resmi yang telah ditetapkan pihak kampus agar anaknya diluluskan menjadi mahasiswa di PTN tersebut.
Pada kasus lainnya terjadi kecurangan UTBK tahun 2022 di salah satu PTN di Yogyakarta yang mencoreng marwah pendidikan republik ini. Kasus ini berawal dari dugaan terjadinya pembocoran soal ujian kepada peserta oleh oknum penyelenggara, akibatnya sebanyak 15 orang berurusan dengan pihak berwajib.
Terkait kasus-kasus di atas, membuat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim merubah tata cara seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri yang selama ini dinilai sarat akan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Kasus gratifikasi tersebut menunjukan bagaimana mentalitas masyarakat di republik ini. Bagaimana banyak orang tua rela melakukan perbuatan apapun meskipun perbuatan itu tercela sekalipun, demi masa depan yang cerah bagi si anak dikemudian hari.
Tingginya biaya pendidikan di republik ini mengakibatkan banyak orang tua melakukan segala bentuk usaha untuk membuat si anak mendapatkan posisi yang strategis dalam bidang akademis, masih jamaknya pemikiran di kalangan orang tua bahwa tolak ukur kecerdasan seorang anak ditunjukan dengan nilai dan ranking yang tinggi, konsekuensinya anak menjadi orang mempertuhankan angka (profit) tanpa mempedulikan nilai karakter dan nurani dalam dirinya sendiri.
Pada kasus lainnya disalah satu SMP Negeri di Kota Padang terjadi pemmarkupan nilai siswa agar bisa masuk dalam perangkingan PPDB jalur prestasi. Oknum wali kelas mengaku bahwa pemmarkupan itu dilakukan dengan alasan sebagai bentuk kepedulian terhadap siswa yang beralamat di blank zone. Alasan ini terkesan bijak dan bertujuan mulia untuk menyelamatkan masa depan siswa tersebut agar dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi dan mendapatkan sekolah dengan akreditasi yang baik. Namun, hal ini banyak disayangkan oleh berbagai pihak apalagi ini menyangkut marwah institusi pendidikan yang harusnya bersih dari tindakan tidak terpuji seperti itu.
Belum lagi kasus-kasus lain, seperti adanya dugaan terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat sekolah untuk meningkatkan gaung dan prestise instansi yang dipimpinnya karena banyak alumninya memiliki karir yang bagus ke depannya, seperti paling banyak alumni yang diterima di PTN favorit dan mendapatkan kedudukan yang penting diberbagai instansi pemerintah maupun swasta.
Hal ini akan membuat lingkaran setan dalam dunia pendidikan di republik ini menjadi tidak bisa diputuskan. Anak rela untuk mengorbankan idealisme dan nuraninya demi mendapatkan nilai yang tinggi, mereka akan saling melakukan persaingan secara tidak sehat dengan menghalalkan segala cara mulai dari mencontek, memanfaatkan temannya, memanfaatkan pengaruh orang tua, dan lain sebagainya.
Oknum pejabat di istansi pendidikan pun tak luput dari mata rantai ini dengan sengaja memfasilitasi kegiatan kotor ini, mereka menyalahgunkan kekuasan yang dimiliki untuk memperjualbelikan yang semestinya tidak diperjualbelikan. Demi prestise yang seharusnya di kesampingkan dalam dunia pendidikan yang memiliki cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Anak bangsa yang kelak menjadi aset masa depan dan bukan malah merusak dan melakukan kapitalisasi pendidikan.
Pada kasus lainnya, kapitalisasi pendidikan di republik ini juga merambat kepada otoritas swasta, seperti menjamurnya lembaga pendidikan nonformal seperti bimbel dan lembaga kepelatihan. Dalam kasus ini banyak orang tua memasukan anaknya ke bimbel dengan tujuan agar mudah untuk lulus tes ini-itu. Banyak orang tua yang merasa bahwa dengan ikut bimbel dapat menambah pengetahuan dengan lebih baik ketimbang dengan lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Kisaran biayanya pun dapat dibilang tidak sedikit mulai dari ratusan ribu sampai 2.5 juta per semester atau tergantung program yang diambil.
Kelemahan Gen Z sebagai Momok Masyarakat
Pandangan masyarakat yang risih terhadap generasi milenial yang mulai terpapar virus KKN menjangkiti mentalitas mereka, seperti yang jamak masyarakat ketahui banyaknya praktik "main belakang" untuk mendapatkan pekerjaan di tengah ketatnya persaingan dunia kerja yang melibatkan generasi milenial sebagai aktornya.
Generasi milenial yang sebelumnya terbiasa dengan "cara-cara kotor" dalam menempuh pendidikan sebelumnya, mereka mempraktikkan hal itu kembali untuk memperoleh pekerjaan maupun untuk mendapatkan posisi yang strategis. Hal itu bukan terjadi tanpa alasan, kondisi zaman yang menuntut mereka menghalalkan segala cara demi kebaikan dirinya sendiri dan membuang idealisme bahkan akhlaknya untuk mencapai keuntungan mereka.
Pada kasus korupsi di Kabupaten Penajam Pasir Utara, Provinsi Kalimantan Timur yang melibatkan sosok dari kalangan milenial yang masih berusia 25 tahun dalam pusaran korupsi yang merugikan negara senilai Rp 240 miliar. Hal ini menunjukan bagaimana virus KKN sudah terpapar kepada generasi milenial yang seharusnya masih memiliki idealisme yang tinggi dan bukannya menjadi oportunis bedegong yang menyengsarakan orang banyak demi gaya hidup hedonistik dan kepentingan elit kelompoknya.
Generasi Z yang terbiasa dengan proses instan dan gaya hidup yang hedonistik membuat banyak diantara mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Mereka piawai memainkan relasi untuk mendapatkan posisi strategis, mereka juga piawai dalam memainkan anggran dengan rapi tanpa terendus, ditambah dengan kepiawaian mereka melakukan Flexing di media sosial membuat masyarakat tidak menduga bahwasanya mereka melakukan hal kotor di belakangnya. Ketika terbongkar, masyarakat hanya bisa berkata sambil mengelus dada "saya tidak menyangka dia tu ternyata seperti ini, kok bisa ya padahal pribadinya baik" dan ujungnya perkataan miris.
Perbaiki Cara Reformasi atau Segera Lakukan Restorasi
Hal-hal semacam ini memang akan menjadi kanker ganas jika tidak dimatikan sel-selnya dari dini. Mereka akan cepat melumpuhkan seluruh sistem yang baik dan akan menjangkiti semua tanpa terkecuali. Hal ini juga akan menjadi lingkaran setan yang tak akan kunjung putus terkecuali harus kita sendiri yang memutusnya.
Reformasi pendidikan yang saat ini hanya dilakukan pada bidang struktural dan birokrasi tapi dirasa tidak menyentuh apa yang menjadi masalah utama kependidikan di republik ini. Perbaikan kualitas pendidikan hanya terpaku pada pembangunan sarana dan prasarana, hal ini hanya tertuju penambahan jumlah sekolah, perbaikan fasilitas sekolah, peningkatan kapasitas sekolah, penambahan jumlah tenaga pendidik, dan lain sebagainya yang bersifat fisik. Akan tetapi pembangunan prasarana non fisik seperti hanya sebatas akreditasi bukan pada marwah dan tujuan pendidikan yang diharapkan oleh Bapak Pendidikan Republik ini, Ki Hajar Dewantara.
Pada saat ini kurikulum pendidikan republik ini bersifat vokasistik atau masih berorientasi pada kebutuhan komersil dan sedikit yang menyentuh ranah keilmuan dan filsafat, sehingga hasil dari pendidikan kita selama ini sebatas tenaga-tenaga ahli, tak lebih hanya menjadi robot yang hanya tau berkerja tanpa marwah dan nurani sebagai manusia yang notabenenya merupakan makhluk sosial atau yang lebih parah mendeskriditkan ajaran agama yang luhur dan menjadikannya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Saat ini revolusi mental dan pendidikan karakter tak lebih hanya sebatas wacana di atas kertas, tetapi implementasinya bagai jauh panggang dari api, masih banyaknya pemuja profit dan rating membuat wacana ini mental dan gagal untuk diimplementasikan. Walaupun dalam kurikulum memuat pendidikan karakter, tetapi masih saja ada target yang harus di kejar dan ujung-ujungnya dipaksakan oleh siswa. Banyak pelajaran yang tidak diminati oleh si siswa, tetapi harus tetap mendapatkan nilai sempurna.
Pada akhirnya hasil pembelajaran yang didapat tak lebih dari hafalan materi dan tugas yang bertumpuk tanpa pengembangan potensi atau bakat alami dari pribadi murid itu sendiri. Masih banyaknya anggapan yang mendeskreditkan ilmu atau jurusan tertentu dalam masyarakat kita, contohnya masih kuatnya anggapan orang yang cerdas itu harus orang eksakta dan hebat matematika, atau anggapan bahwa orang suskses itu harus dari jurusan kedokteran, teknik, hukum, dan ekonomi. Hal ini menambah kompleksnya permasalahan mentalitas di generasi milenial saat ini.
Republik ini tampaknya harus segera melakukan restorasi seperti yang dilakukan Negara Jepang pada masa Kaisar Meiji yang dengan tegas menabrak dogma dan norma-norma lama dan membuat Jepang menjadi negara maju tanpa meninggalakan norma masyarakat timur. Memang melakukan restorasi terlebih dengan cara yang frontal seperti Kaisar Meiji akan mendapat tantangan oleh kaum tua yang sudah terbiasa enak dengan sistem yang mereka buat. Meninggalkan kebiasan yang sudah lama dan sudah mengakar memang terkesan sulit untuk dilakukan tanpa dukungan semua elemen, baik pemerintah dan masyarakat.
Bibit restorasi pendidikan mulai dilakukan oleh Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim dengan mengganti kurikulum K13 kepada kurikulum merdeka yang memiliki tujuan untuk menghapus dogma-dogma lama dalam kependidikan di republik ini dengan menghapuskan jurusan yang terkesan sebagai pengdeskreditan dikalangan siswa. Akan tetapi, rancangan yang bagus ini mengalami hambatan dalam pelaksanaan, seperti ketidaksiapan pendidik dan masyarakat dan terlebih lagi anggapan kurikulum ini menuntun generasi muda republik ini kepada sifat sekuleritas.
Seharusnya langkah yang lebih bagus lagi, Mas Menteri Nadiem memperioritaskan pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama dan PKn serta Sejarah Nasional Indonesia pada generasi muda, sehingga akhlak karakter, moralitas, dan rasa kebangsaan dapat lebih mengakar pada generasi muda dan terwujudnya cita-cita Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni mewujudkan insan yang tidak hanya berilmu, tetapi lebih mengedepankan adab dan akhlak.
Komentar
Kirim Komentar