Tanpa Rasa
Kurnia Sandi
"Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik," rintihnya sedih melihat Joko yang sudah tidak berdaya dengan wujud tubuhnya yang terpisah ruah.
Seorang bujang yang menemukan ketidakadilan di desa dan memutuskan merantau ke kota. Tujuannya bukan untuk menghindar dari ketidakadilan yang ditinggalkannya, melainkan melihat dan mengamati ketidakadilan yang baru.
Moly adalah sosok yang aneh, melihat ketidakadilan menjadi sebuah candu baginya. Seolah ketidakadilan yang dia temukan sebagai obat atau penawar untuk teguh menjadi baik. Moly memiliki cara yang sangat unik dalam menanggapi ketidakadilan atas dirinya.
Pada era saat sekarang ini, sikap Moly memang terlihat aneh dan berbeda dari orang pada umumnya. Dalam iklim hidup yang pantang terusik akan mengusik, anti sosialistis yang kental, kapitalisme dimana-mana dan egoisme yang sangat populer. Sikap Moly begitu asing.
Pagi Minggu yang cukup mendung itu tidak berbeda, Moly memulai harinya dengan membaca. Melihat sekitar dan memikirkan sesuatu, lalu disimpan begitu saja. Mulailah Moly menafsir, "Hujan sepertinya akan turun."
Seperti biasa di hari Minggu, Moly harus melakukan pekerjaannya mengantarkan makanan untuk anak-anak di panti asuhan. Setiap Minggu khususnya pada hari Minggu, Moly merasa adalah tanggung jawabnya mengantarkan makanan tersebut. Kalaupun makanan yang diantarnya tidak mencukupi, setidaknya ada yang mereka terima dan mereka makan setiap hari Minggu.
Dengan jaket lusuh, Moly menuju Joko dan menyapanya untuk memulai pagi yang begitu keras. Joko adalah motor butut Supra, yang menjadi teman Moly dalam menata kehidupannya. Moly memulai perjalanan dengan mengunjungi rumah makan Halal Murni untuk mengambil makanan.
Rasanya Joko bagi Moly adalah ajaib, motor ini hanya dia berikan bahan bakar, untuk kesehatan motornya tidak pernah diperhatikan. Pagi ini, Tuhan membuat pekerjaan Moly begitu keras.
Dengan guyuran hujan yang sangat deras, semangat Moly tidak tergoyahkan sedikitpun.
Moly tidak peduli ini adalah hujan, panas, atau hujan yang diiringi panas pun langkah Moly tetap tegap. Jaket lusuh Moly sudah dibaluti dengan jas hujan walaupun tidak seberapa, setidaknya dapat menghindari Moly dari kebasahan. Tidak ada siapa yang harus dia ucapkan untuk pamit, karena memang Moly tinggal sendiri di rumah kosong yang tidak ditinggal penghuninya.
Derasnya hujan membuat jalan Moly tidak terlihat jelas. Sampai di jalan raya, Moly disuguhkan dengan pemandangan yang cukup mengiris hati. Bermacam-macam. Ada yang berjalan kaki menerobos derasnya hujan, ada yang mengendarai motor, dan tidak sedikit yang mengendarai mobil. Jalanan padat membuat motor Moly tidak bisa melaju dengan cepat.
Semua berdesakan karena hujan, tetapi hujan tidak seadil itu menyentuh yang di bawah. Tidak semua yang diguyur hujan, beberapa berlindung di dalam rumah besi yang memang bisa dikendarai. Lampu merah telah muncul tepat saat Moly berada dipaling depan persimpangan. Moly harus berhenti untuk menunjukkan dia taat pada hukum lalu lintas.
Namun, di tengah guyuran hujan yang deras itu, seorang wanita tua dengan menenteng plastik kresek mencoba untuk menyeberang di zebra crossing, keadaannya yang terlihat kedinginan membuat jalannya begitu lamban. Awalnya Moly tidak peduli, karna dia harus menahan makanan yang ada di depan motornya agar tidak jatuh dan tidak basah karena hujan.
Dua orang pemuda dengan gelak tawa sambil bercerita di sebelah kirinya. Di sebelah kanan terlihat seorang pemuda dengan membonceng wanita di belakangnya, duduk mereka begitu rapat, dan pegangannya begitu erat. Namun kedua pemandangan ini, tidak ada sedikitpun berpotensi yang dilihat Moly untuk membantu nenek dalam menyebrang. Moly pun langsung menepi dan menurunkan makanannya. Moly mendekati sang nenek dan menuntunnya untuk kuat berjalan.
"Ada sehat, Nek?" Moly memulai komunikasi sambil memegang pundak nenek
Tidak ada respon dari sang nenek. Moly berfikir nenek tidak dengar. Moly mencoba memulai komunikasi lagi.
"Dari mana tadi, Nek?" Sambil jalan dan menuntun sang nenek.
Namun tetap tidak ada respon, nenek hanya tersenyum dan memegang tangan Moly. Tepat di tengah zebra crossing lampu pun berubah menjadi hijau, yang artinya lalu lintas pun akan kembali berjalan.
Bunyi klakson mobil langsung menggema di tengah guyuran hujan itu. Klakson tersebut terpusat pada Moly dan nenek yang berada di depan, tidak sedikit pengendara yang menghadang-hadangkan motornya kepada Moly dan nenek agar tidak menghalangi jalanan.
"Piiipppppp..."
"Piiiipppppp..."
Tidak hanya klakson mobil, klakson motor
pun ikut mewarnai.
Dalam hati, Moly bergusar.
"Ya Allah. Apa manusia-manusia ini tidak bisa berfikir? Tidak punya hati nurani? Atau tidak punya rasa simpati."
Moly tidak hiraukan apapun yang akan menghadangnya, dia tetap fokus ke depan sampai di persimpangan.
"Ya Allah, kalaupun aku tertabrak, biarlah aku yang terluka, tetapi jangan nenek ini," doa Moly.
Sampai akhirnya di seberang jalan, Moly pun melepas pegangannya dari pundak nenek dan memohon untuk nenek melanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Saat Moly melepas pegangan. Sang nenek langsung memegang tangan Moly, senyum sambil berucap, "Terimakasih ya, Nak," Moly pun mengamati sang nenek dan membalas, "Iya, sama-sama. Hati-hati ya, Nek!"
"Kok aku merasa pernah bertemu ya dengan nenek tadi," pikir Moly. Nenek pun melanjutkan perjalanan. Moly berbalik dan kembali ke motornya, namun sesampainya di dekat motor, Moly tertegun melihat nasinya dan sekitar.
Tidak satu pun orang maupun pengendara yang melirik kepada Moly. Di tengah guyuran hujan itu, Moly terpaksa memungut semua makanan yang sudah tumpah dan jelas semua makanan itu memang tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Semuanya berserakan di jalanan. Entah kendaraan mana tadi yang tega menabrak makanan Moly, itu tidak menjadi fikirannya, yang ada dalam benaknya saat itu adalah dia harus kembali ke kedai nasi dan membeli lagi makanan yang akan dia berikan kepada anak-anak di panti asuhan.
Kira-kira sebanyak 10-15 bungkus nasi yang akan dia antarkan. Setiap hari Minggu dia selalu sisihkan uangnya untuk membeli makanan itu. Namun, pada hari ini Moly harus membeli makanan itu dua kali lipat.
Dalam perjalanan ke kedai nasi, Moly kembali berpikir. "Kenapa ya orang-orang tadi menabrak makanan ku, apa mereka tidak melihat itu makanan, atau memang mereka tidak peduli?" Moly mulai memikirkan masalahnya.
Apapun yang terjadi pada hidupnya, baik itu buruk maupun baik, Moly selalu memaksa pikirannya untuk tetap berpikir logis dan menyimpulkannya dengan husnudzhon.
"Hmmm... atau mungkin karena hujannya yang terlalu deras, jadi jalanan tidak terlihat jelas. Mereka kira itu adalah tumpukan sampah yang belum sempat diambil oleh petugas," sambil tersenyum Moly merasa lega.
Pikiran Moly mengacu pada derasnya hujan dan tumpukan sampah yang memang biasa diletakkan di tepi jalan untuk diambil oleh petugas kebersihan jalanan, sehingga Moly menganggap pengendara tidak salah apa-apa, mereka hanya keliru.
Di tengah perjalanan Moly menuju rumah makan Halal Murni, Moly dibuat heran dengan hantaman klakson mobil yang ada di belakangnya.
"Piiiiipppppp...."
Moly kaget dan langsung menepi.
"Astaga... Pak, Pak," ucap Moly.
Kembali Moly berpikir apa yang salah pada dirinya saat ini.
"Ini yang kehujanan aku loh, kamu enak berteduh di dalam mobil, mengalah sedikit kenapa, nggak ada kasian-kasiannya," omel Moly sambil menepi.
"Mau di pinggir mana lagi sih aku jalan, di atas trotoar ini,"
Setelah disalip mobil itu, Moly mengamati dari belakang dan mencoba berpikir ulang. "Hmm.... atau mungkin dia sedang buru-buru, tidak apalah, semoga selamat sampai tujuan, Pak." Ucap Moly sambil tersenyum melihat belakang mobil yang sudah mendahuluinya.
Dengan hati riang, Moly menarik gas motor dengan sepenuh hati, menikmati semua tetesan hujan yang menimpa pada tubuhnya. Tidak sedikit air hujan dia cicipi yang berlinangan pada bibirnya.
"Moly pesan 15 lagi?" Tanya mas
Yanto, karyawan rumah makan Halal Murni.
"Iya mas, tolong ya mas,"
"Lah, yang tadi kenapa?"
"Tadi ada kecelakaan di jalan,"
"Astaghfirullah, ada selamat mu, Nak,"
langsung mendekati Moly khawatir.
"Alhamdulillah aman Mas, bukan aku
yang kecelakaan, tapi nasinya mas," jawab Moly sambil ketawa.
"Astaga... hati-hati lah, Nak!"
Yanto kembali membungkus nasi.
Moly ketawa menanggapi.
Setelah selesai dibungkus dan saat hendak membayar, Moly sadar jika dia bayarkan semua, maka makan dia untuk satu Minggu ke depan tidak ada, sedangkan dia baru akan gajian di hari Jumat.
Melihat Moly yang terdiam mengamati uang yang dia pegang, Yanto berbesar hati untuk memberikan nasinya secara gratis karena dia tahu nasi itu diantarkan Moly untuk anak di panti asuhan.
"Sudah, bawa saja, Nak. Kan kecelakaan, ini giliran Mas yang berbagi," ujar Yanto.
Moly melihat dengan seksama wajah mas Yanto dan membalasnya dengan senyum.
Dalam hati, Moly berucap. "Ya Allah, baikkanlah hatiku sebaik Mas Yanto dan limpahkanlah rezeki padanya. Aamiin."
Moly langsung bergegas menuju panti asuhan.
Dia tahu bahwa nasi yang dia bawa sangat dinanti-nantikan di sana. Jas hujan yang menyelimuti jaket tidak dapat diharapkan lagi. Tidak seruangpun pakaian Moly yang kering, basah diguyur hujan. Tangan Moly rasanya sudah mati rasa karena kedinginan, macet yang panjang membuat tangan Moly kaku dalam menekan rem motor. Namun, senyum di bibirnya selalu dia pamerkan seolah tidak terjadi apa-apa.
"Aku yakin mereka di sana pasti sangat bahagia menyambut kedatanganku." Selalu terlintas di kepala Moly senyuman dan kebahagiaan anak-anak yang akan menerima nasinya nanti.
Sampai di panti asuhan, anak-anak langsung menyambut Moly, menyalaminya, dan mereka makan Bersama, bercanda ria. Padahal pakaian Moly sudah basah semua, namun tidak cukup penting untuk menjadi perhatiannya. Sekarang perhatiannya tertuju hanya pada keceriaan anak-anak di sana.
Setelah makan bersama, bermain dengan anak-anak, Moly langsung memutuskan untuk pulang. Namun, tidak hanya perjalanan pergi, perjalanan pulang Moly pun harus dihiasi dengan perjuangan. Hujan deras di Minggu ini begitu awet. Walaupun jas hujan yang sobek di bagian samping membuatnya memang tidak bisa diandalkan. Moly tetap mengenakannya.
Dengan hati bahagia Moly pun pulang. Keceriaan anak-anak panti asuhan sudah cukup untuk sebagai hadiah dari perjuangannya. Itulah bentuk liburan Moly di hari Minggu.
Sampai pada persimpangan, lampu kembali merah. Saat lampu menjadi hijau Moly melanjutkan perjalanan, namun saat Moly berada di tengah perjalanan, salah satu mobil pun menerobos lampu merah dan seketika menabrak Moly. Moly langsung tergeletak di jalan. Joko rusak parah. Syukur Moly tidak terluka, hanya saja Joko tidak layak lagi untuk dikendarai. Mobil yang menabrak Moly berhenti dan mendekat, sambil membuka kaca mobil dan melihat pada Moly yang tarduduk lesu di tengah jalan itu.
Seseorang berkata "Maaf ya, Nak," kata seorang bapak-bapak yang kisaran umurnya 40-45 tahun. Setelah berucap maaf, dia langsung menutup kaca mobil dan pergi.
Di tengah guyuran hujan, disaksikan oleh puluhan manusia dan kendaraan yang berhenti di lampu merah, tidak seorangpun yang terbesit menyentuh Moly dan menolongnya. Moly duduk melihat Joko dan sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda dia akan dibantu, walaupun hanya sekedar membawakan motornya.
"Tidakkah hati kalian semua tergerak untuk membantuku," ucap Moly dalam hati sambil mengigit bibir yang pucat.
Sampai akhirnya Moly paksakan untuk berdiri. Baru dia sadari ternyata kakinya terkilir, tetapi harus dia paksakan karena lalu lintas sedang padat.
Dengan lalu lalang motor di samping kiri dan kanan, Moly yang tergopoh-gopoh mendorong sepeda motornya menepi dari jalan raya dan melanjutkan pulang kerumahnya.
Moly pun kembali menyimpulkan."Iya, barangkali mereka segan untuk membantu atau mereka percaya bahwa aku masih kuat untuk bangkit dan mengangkat sepeda motorku. Terima kasih atas kepercayaan kalian semua," ucap Moly dalam diamnya sambil tersenyum.
Sampai di rumah, duduklah Moly dan dipandanginya Joko yang memang tidak berdaya dan tidak bisa diperdayakan lagi.
"Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik," rintihnya sedih melihat Joko yang sudah tidak berdaya dengan wujud tubuhnya yang terpisah ruah.
Komentar
Kirim Komentar