Di Masa Depan Kita Butuh Rehabilitasi untuk Orang-orang Kecanduan Adsense

Ilustrasi: Rino Warisman Putra
Rino Warisman Putra
Hidup di era digital yang serba ingin baru dan mengikuti tren dewasa ini memasuki taraf yang riskan. Jika dahulu hanya dikenal istilah serakah, riya ataupun dengki, lebih ke Timur Tengah lagi ada yang namanya suudzon. Sekarang istilah itu sudah bertambah dan lebih dominan ke arah barat, ada yang namanya Fomo, SJW, dan Adsense. Semua istilah keren itu merujuk pada sikap manusia Indonesia ketika bercakap dan berperilaku di internet.
Istilah Fomo misalnya, ini merujuk pada remaja yang acap kali resah dan khawatir ketika tidak mengikuti tren. Tidak mengikuti tren sama saja dengan tidak minum air zam-zam ketika sudah sampai di Arab, begitulah kira-kira. Sebenarnya Fomo juga memiliki dampak positif, meskipun dampak negatif yang lebih mendominasi.
Kita contohkan, seorang siswa bernama Michael dari Nganjuk mengikuti tren terbaru dari teman-teman sekelasnya yang suka membaca webtoon Korea secara digital, secara tidak langsung Michael juga akan punya hobi baru membaca jika itu dilakukan berulang. Nah, dari sikap Fomo Michael tadi, ia juga memberikan sumbangsih terhadap pertumbuhan minat baca masyarakat secara digital.
Jika kita bicara tentang baca tulis, hal tersebut juga mengkhawatirkan bagi Indonesia. Negara ini berada di posisi 60 dari 72 negara di dunia dalam hal literasi. Hal ini merujuk pada survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.
Lebih miris lagi, data UNESCO 2017 mencatat minat baca masyarakat Indonesia hanya menyentuh angka 0,001%, yang artinya dari 1.000 orang yang berkumpul, hanya ada satu orang saja yang suka membaca. Nah, melihat kasus kefomoan Michael terhadap aktivitas baca membaca webtoon tadi, setidaknya Michael telah menyumbang angka positif menambah minat baca. Jadi, fomo tidak selalu berkonotasi negatif.
Kemudian istilah lain yang sedang hangat dibicarakan, yakni Social Justice Warrior (SJW). Mereka yang SJW ini cukup ambisius dalam berdialog secara online, menyampaikan argumen, dan terkadang juga terpancing emosi di media sosial. SJW banyak menjamur di platform media sosial, seperti facebook, twitter, dan instagram.
Namun, aktivitas SJW di twitter lebih masif, kita lihat saja berapa banyak perdebatan mengenai kasus Lesty Billar, kasus Reza Arab, atau yang lebih baru dalam kasus Baim Won. SJW menjadi orang nomor satu yang paling tahu, paling ingin dilibatkan, paling pandai dalam berdebat, bahkan terkadang SJW juga bertindak radikal dengan mengeluarkan makian kepada SJW lainnya.
Pantas saja Indonesia menempati urutan teratas terkait ketidakramahan di media sosial. Laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya menunjukkan netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Dengan kata lain, paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. Namun, ini berbanding terbalik jika kita bicara tentang real life, dalam sebuah survei dari World Population Review, Indonesia masuk dalam 10 besar negara teramah di Dunia. Negara yang sedang menggarap ibu kota baru ini berada di posisi ketujuh soal keramahan.
Istilah terbaru lainnya adalah adsense. Secara umum, adsense merujuk pada pendapat seseorang dalam sebuah konten yang diupload ke sebuah platform media sosial, baik itu facebook, twitter, instagram, youtube, atau tiktok.
Dalam hal adsense, youtube lebih banyak dimanfaatkan sebagai pendapatan walaupun platform lainnya juga tidak menutup kemungkinan untuk adsense ini. Jam tayang, jumlah like, dan jumlah subscriber atau followers, menjadi hal yang memuaskan dan tak ternilai harganya. Jika kita istilahkan, seperti makan popmie dikala hujan.
Lihatlah kesuksesan youtuber Atta Halilintar yang praktis telah menguasai dunia peryoutuban tanah air. Dengan sedikit trik giveaway, Atta berhasil meraup subscriber hingga 30 juta. Dihimpun dari data Social Blade, kanal youtube AH milik Atta Halilintar bisa mendapatkan penghasilan sekitar USD7.400 hingga USD118.500, atau sekitar Rp113,8 juta hingga Rp1,82 miliar dalam satu bulan.
Angka tersebut tentu sangatlah besar bahkan untuk penghasilan dari youtube saja. Belum lagi beberapa sumber kekayaan Atta Halilintar yang terus menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi dirinya. Dalam skala internasional, sebuah artikel dari BBC juga mencatat bagaimana pendapatan dari adsense youtube bisa membiayai operasional sebuah kastil di Prancis, channel milik Stephanie Jarvis yang diberi nama The Chateau Diaries rutin mengupload vlog kehidupannya di Kastil.
Dimulai pada 2018, Jarvis dengan rutin mengupload vlog berbagai kegiatannya di Kastil. Sedikit demi sedikit kanal miliknya mulai dilirik oleh khalayak ramai di Prancis dan dengan antusias hari demi hari subscribernya bertambah pesat. Perkembangan paling pesat terjadi ketika pandemi. Saat pandemi mematikan segalanya, Jarvis memutuskan bahwa dia sekarang akan membuat dan mempublikasikan video semacam itu setiap hari "dan lihat bagaimana kelanjutannya."
Hal yang mengejutkan, popularitas saluran youtubenya itu melonjak naik, dari 10.000 pelanggan pada 2019 menjadi 173.000 hari ini. Hal tersebut berarti uang yang dihasilkan dari iklan di videonya melonjak dari beberapa ratus Euro menjadi ribuan.
Namun, hal yang berbahaya dari adsense adalah ketika seseorang telah teradiksi untuk selalu trending, selalu mengikuti kasus, dan menjadikan itu sebuah konten. Youtube yang seyogyanya dijadikan ladang ekonomi kreatif justru berbuntut pada kasus hukum, ibarat kata "makan rendang, tetapi yang ketemu lengkuasnya."
Kita lihat dari kasus Baim Wong yang dengan kreatif membuat konten prank KDRT. Laporan palsu Paula ke Polsek itu namun justru menjadi bumerang di kemudian hari. Rentetan uploadan permintaan maaf Baim Wong dan reuploader akun lain di medsos, belum lagi berbagai tautan artikel media online menjadikan kasus prank kreatif ini gagal.
Dari kasus Baim Wong dan juga banyak kasus dunia maya sebelum ini, kita belajar bahwa kecanduan adsense juga harus punya ruang khusus dalam hal penanganan. Jika biasanya kita hanya mengenal yang namanya rehabilitasi terhadap pencandu narkoba, mungkin di kemudian hari kita akan disuguhkan banyaknya publik figur yang masuk rehabilitasi karena kecanduan adsense.
Komentar
Kirim Komentar