Jendela Pemimpi Gubuk Kumuh
Rezi Novita Putri
Kehidupannya dicatat dalam sejarah. Tujuh tahun silam ia diterima di University of British Columbia. Hidup sederhana, itu pilihannya. Siapa yang tak kenal dia. Dengan pakaian lusuh, ia mengintip di balik jendela. Kertas bekas di tong sampah sekolah selalu dikumpulkan. Baginya, belajar tak ada batas.
"x2, y3-z=0, itu PR kalian hari ini," kata Kadiman.
Imba menulis di buku catatannya. Buku catatan? Apa dia
sekolah? Di mana sekolahnya? Pertanyaan tersebut tak asing lagi di telinga Imba.
"Semir, semir, semir."
Ia berjalan sepanjang rel kereta api. Setiap hari Imba bekerja sebagai jasa semir. Mulung pun pekerjaan sampingannya. Ia harus mencukupi kebutuhan ibunya yang terkena stroke sejak tiga tahun belakangan.
Tak jauh dari tempat Imba nyemir, terdapat sekolah menengah pertama. Tepat di samping gerbang Imba berdiri membawa kotak kecil dan kantong kresek yang berisi buku bekas. Imba menawarkan jasa semir terhadap guru-guru di sekolah itu.
"Eh, keluar. Ini sekolah bukan emperan," ucap Udin, selaku satpam di sekolah itu. Dengan jurus andalan, Imba berhasil mengelabui si Udin. Tatapan panjang dan penuh perhatian, Imba memperhatikan guru dengan saksama. Meskipun merasa tak mungkin, Imba memiliki mimpi besar.
"Baiklah, sekarang kita kuis. Jika a=2, b=5 dan c= a2 + 2ab + b2; berapakah nilai c?" ucap Kadiman.
"c bernilai 49," ucap Imba dengan lantang. Kadiman terkejut. Ia pun mendekati sumber suara tersebut. Imba tepat berdiri di hadapan Kadiman. Ia menunduk seakan mengukur bayangan diri. Perlahan Imba menatap Kadiman. Matanya mengisyaratkan keinginan yang terpendam.
"Maaf, tuan. Aku tak bermaksud untuk menganggu. Aku hanya ingin belajar," ucap Imba dengan wajah pucat.
Kadiman mengambil buku dari tangan Imba. Buku bergambar obor itu penuh dengan catatan. Meskipun tidak secara formal, Imba tetap belajar.
Kekesalan Kadiman berujung simpati. Ia tak menyangka di gubuk kumuh terselip mutiara. "Tolong jelaskan kepadaku dari mana dapatnya nilai 49?" tantang Kadiman. Tanpa ragu-ragu Imba memaparkan jawabannya. Dengan sedikit tersenyum, Kadiman pun membenarkan jawaban Imba.
"Jika seandainya kau sekolah, apa kau akan bersungguh-sungguh?" ucap Kadiman.
"Tuhan murka jika amanahnya disepelekan."
"Apa itu bisa kupegang?"
"Aku tak berjanji denganmu, Pak! Namun, aku berjanji pada diriku sendiri."
Rasa simpati mulai tumbuh dalam diri Kadiman. Terbesit dalam pikiran Kadiman untuk mengatur siasat agar Imba dapat bersekolah bagaimana semestinya. Saudara bukan, kenal pun tidak tapi semangatnya tak diragukan lagi.
Kadiman mencari berbagai informasi mengenai Imba. Lewat Jun, teman dekatnya Imba, Kadiman mengetahui kehidupan pribadi Imba. Kadiman pun menceritakan hal tersebut dengan rekan-rekan kerjanya. Ia berharap bantuan dari mereka.
Mentari belum memuaikan embun. Pekik si jago membangunkan Imba. Seperti biasanya, sambil memanaskan air mandi emak, Imba membaca catatan-catatan kecil miliknya. Helai demi helai dalam setiap satuan waktu tak terlewatkan begitu saja. Ruang kecil di kepalanya pun terisi dengan catatan-catatan tersebut.
Senyuman pagi mengantarkan Imba untuk mencari sesuap nasi agar bertahan hidup. Siapa yang peduli dengannya. Siapa yang mengerti keinginannya. Mimpi dan impian mungkin terkubur sudah.
Mungkin ini isyarat Tuhan. Seperti biasanya, di balik jendela Imba mengikuti pembelajaran. Tuhan mempertemukan Imba dengan Kadiman untuk kedua kalinya. Kadiman melihat kesungguhan di wajah Imba. Kadiman memanggil Imba. Imba tahu kalau dirinya pasti akan diusir seperti yang dilakukan guru lain terhadapnya.
Namun, kali ini tebakan Imba salah. Tanpa berpikir panjang Kadiman memanggil Imba dan menawarkan Imba untuk sekolah. Ia pun bersedia membiayai sekolah Imba. Imba tercengang. Seperti mimpi. Tapi ini bukan mimpi. Tuhan memberikan jendela agar Imba keluar dari ruang hampa yang mengubur mimpinya.
Satu per satu doa Imba didengarkan Tuhan. Meskipun seragam bekas, Imba tetap semangat belajar. Disisihkan dan diejekkan bukan masalah baginya. Imba fokus pada impiannya.
"Eh, anak kampung. Semirin dong sepatu gue. Nanti gue bayar deh. Lumayan untuk makan siang," ejek Enzy dan teman-temannya.
Bukannya takut, tapi tak ingin dikatakan tak balas budi. Imba pun melaksanakan perintah Enzy. Enzy sangat membenci Imba karena ayahnya, Kadiman, selalu membandingkan dirinya dengan Imba.
Imba semakin berkilau, cerdas plus multitalenta itulah dirinya. Imba mulai dikagumi banyak orang. Sebagian dari mereka tak segan-segan memberikan Imba uang sebagai wujud simpati. Lima tahun berlalu bagai titik embun membasahi tanah. Berkat kesungguhan, Imba duduk di bangku kelas tiga SMA.
Pemberi jasa semir itu tidak hanya membuat emak tersenyum bangga dengan prestasinya. Penghargaan presiden atas prestasi Imba meraih medali emas di olimpiade mathematic of British Columbia cukup membuat Kadiman bangga.
Dinamika mendekati Imba. Bukan karena uang, tetapi kesungguhan dan keyakinan membuka jendela untuk menggapai mimpinya. Pria yang memakai pantofel hitam itu mengecek kerja karyawannya. Siapa yang tak kenal dia. Pria gagah dan bersahaya. Itulah Imba yang sekarang.
Imba yang dikenal dan dihargai dan Imba yang menghargai. Kadiman pun tak perlu pikir dua kali untuk menjodohkan Imba dengan putrinya. Gadis yang dulunya mengejek Imba sekarang menjadi istrinya.
Komentar
Kirim Komentar