Ketika Dusta Berbuah Kebenaran
Cover buku Kebenaran dan Dusta dalam Sastra
Iswadi
Judul Buku :
Kebenaran dan Dusta dalam Sastra
Pengarang :
Radhar Panca Dahana
Penerbit :
Indenesia Tera
Cetakan :
Pertama, April 2001
Tebal Buku :
(XIV + 206) Halaman
Persoalan seputar bahasa dan karya sastra sampai detik ini masih menjadi wacana yang cukup menarik untuk diperbincangkan. Sastra dan karya sastra selama ini dalam pengertian masyarakat awam hanya sebatas pengertian imajinasi, dunia yang banyak menawarkan mimpi yang barangkali saja tidak tercapai dalam dunia nyata. Namun, sebenarnya ketika berbicara tentang karya sastra dan dunianya, persoalannya tidak berhenti sampai di sini saja, karena masih banyak yang perlu dibicarakan
Sedikit banyaknya karya sastra memuat kenyataan serta fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan mempengaruhi pola pikirnya. Hanya sampai detik ini pertanyaan kontroversial yang masih terus berkembang; apakah yang telah diberikan oleh karya sastra kepada pembacanya? Benarkah ia hanya menawarkan mimpi berbuah dusta?.
Buku yang terdiri dari tiga bagian yaitu dusta di dalam, kebenaran di luar, serta kebenaran dan dusta berisikan 35 buah tulisan yang dihasilkan oleh pengarang dalam rentang waktu 1993-2000. Menjadi hal yang menarik karena ketiga judul besar dalam buku ini seakan sengaja dipilih sedemikian rupa oleh pengarang demi menggambarkan dusta-dusta dan kebenaran apa yang tersembunyi dalam sastra dan di luar dunia sastra.
Pada bagian pertama buku ini (dusta di dalam) mengupas habis sehubungan dalam anggapan bahwa sastra hanya menawarkan dusta pada pembacanya. Dipaparkan fenomena dan konflik-konflik seperti apa sebenarnya yang tengah terjadi di dalam dunia sastra dan bahasa saat ini.
Tidak disangkal bahwa sastra memang adalah dusta, namun dusta yang menjadi prosedur ini untuk menyingkap kebenaran. Bahkan sastra pun bisa menjadi nonsen andai kata kita meminta penjelasan rasional ilmiah kepadanya tentang berbagai persoalan keseharian.
Perlu diingat bahwa kebenaran di luar karya sastra itu sendiri akan bertemu jalan buntu. Ia mesti dilihat sebagai teks-teks yang tersimpan dalam semesta yang diwakilinya. Akan tetapi jika boleh jujur, dusta yang sebenarnya terjadi saat pembaca dan penikmat karya sastra dibunuh dengan menyatakan bahwa mereka adalah sesuatu yang naif, polos, dan tidak berpamrih.
Padahal sebenarnya secara diam-diam disadari atau tidak, lewat sejarah membacanya ia telah menyusun strategi, kuda-kuda, bahkan pamrih yang kadang-kadang berlebih ketika ia mengapresiasi karya sastra.
Pada bagian kedua, sebaliknya mengupas kenyataan sesungguhnya yang melanda di luar dunia bahasa dan sastra. Berikut dengan konflik-konfliknya. Dipaparkan panjang lebar tentang persoalan kondisi kesenian Indonesia dewasa ini, persoalan sastrawan yang berjuang mati-matian demi sebuah hubungan revitalisasi sastra pedalaman.
Tantangan yang paling penting dan menarik bagi seorang sastrawan dan sastra itu sendiri, kecuali bahasa. Sepanjang sejarah tulis menulis, sastra dan sastrawan sesungguhnya menuliskan sejarah perlawanannya terhadap bahasa tanpa terkecuali.
Bahkan riwayat tersebut menjadi persoalan yang sangat kritis pada hari ini. Bagi sastrawan manapun bahasa seolah memberi liang lahat bagi dunia sastra, jika para pelaku sastra itu sendiri tidak dengan sigap dan cerdas menyikapinya.
Ketika sastra berposisi sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan realitas faktual dan aktual di seputar mereka, saat itu sastra menciptakan jarak dengan kehidupan yang diwakilinya. Sastra telah menjadi begitu elite sebagai produk bahasa sekaligus sebagai produk budaya masyarakat yang memilikinya.
Sastra telah menjadi alien dan ketika sastra menjadi alat utama ekspresinya telah sampai pada situasi yang sangat mengiriskan bahasa cenderung membeku dan menempatkannya sebagai momen belaka.
Pada bagian ke tiga, kita dipertemukan pada kenyataan yang cukup mencengangkan. Daya kreatif para cerpenis kita saat ini harus dihadapkan pada persoalan yang mengancam kreativitas kepengarangan mereka. Ketika mereka ingin merapikan karya yang dianggap bagus, mereka harus berbenturan dengan persoalan pertentangan antara nilai-nilai kedaerahan dengan nilai-nilai internasional (universal).
Disatu sisi, cerpenis kita ingin mempertahankan nilai-nilai kedaerahan yang mereka miliki, namun di sisi lain yang dinilai sebagai karya cerpen yang baik saat ini adalah yang dapat berperan besar dan turut menciptakan nilai-nilai baru. Nilai-nilai asia yang pantas dikedepankan dalam pergaulan internasional.
Bahkan persoalan yang tak kalah rumitnya adalah perihal sejarah sastra Indonesia yang telah dihinggapi oleh konflik late, sebagai pengaruh dari perpanjangan Balai Pustaka. Akibatnya, banyak kalangan yang mengidentifikasikan sastra Indonesia sebagai sosok yang ambigu, kalau bukan stizoperenia.
Melihat begitu banyaknya persoalan dalam dunia sastra kita saat ini, nampaknya memang masih dibutuhkan kerja yang lebih banyak untuk memberikan alasan, di hidupi ataupun menghidupi. Buku ini mungkin merupakan salah satu alat yang dapat menggerakkan kearah tersebut.
Arsip Surat Kabar Kampus Ganto Edisi No. 99/Tahun XII/September 2001
Komentar
Kirim Komentar