Pembohongan dan Pembodohan

Ilustrasi: mediaindonesia.com
Meiza Efrina
Berbicara tentang praktek mengajar yang sedang dihadapi sekarang, membuat kita sedikit emosional menghadapi ketidakidealismean yang ada. Kita mau meneriakkan "reformasi pendidikan", namun teriakan kita tersekat di tenggorokan. Keinginan untuk memberikan masukan terhadap metode mengajar guru pamong yang full otoriter hanya membuahkan kekecewaan saja, karena guru pamong telah berubah fungsi menjadi diktator kurikulum.
Dengan berdalih bahwa kurikulum harus diajarkan sebagaimana adanya, karena soal-soal ujian diambil dari kurikulum. Tidak peduli apakah murid bisa menyerap yang diajarkan atau tidak, yang jelas kurikulum semuanya harus diajarkan. Jika tinggal satu pokok bahasan berarti itu kesalahan total.
Ketika kita mengajar dengan pendekatan kasih sayang, sang pamong langsung menegur "mengajar jangan banyak senyum, jangan banyak canda. Nanti murid tidak segan dengan kita". Beradu argumen dengan guru yang telah puluhan tahun mengajar ditambah dengan ketidakinginannya untuk mendengarkan masukan dari kita yang hanya guru PL, membuat kita tidak berdaya menghadapinya. Dalam hati kita berkata, "Bu, sekarang sudah reformasi, mengajar bukan memakai tangan besi lagi namun pakai hati". Kalau saja mereka tidak terlalu sombong menerima masukan dari yang muda-muda ini tentu pendidikan semakin baik, karena pendidikan dan sektor lainnya akan selalu berkembang mengikuti pertukaran masa dan waktu.
"Pembohong", demikianlah kata yang pantas diucapkan ketika kita mengajari murid-murid bahasa Inggris di sekolah, sebab kali mereka harus mencatat membuat latihan-latihan menulis yang banyak. Setahu saya ini adalah cara yang bodoh untuk mempelajari suatu bahasa, karena dengan metode yang ini (lagi-lagi karena kurikulum), sepandai-pandainya siswa menangkap pelajaran bahasa Inggris dengan metode ini mereka paling pintar seperti "Si bisu barasian, taraso lai takatoan tidak".
Murid bisa mengerti bahasa Inggris, namun tidak mengucapkannya. Mereka sangat kaku' malah tidak bisa, karena metodenya sangat reading to oriented. Sementara bila kita mencoba metode yang lain berarti itu salah besar. Porsi speaking sangat kecil cuma 5% selebihnya, ditambah dengan rumus-rumus tensis yang harus dicatat oleh siswa, sementara yang dipelajari bahasa dan bahasa yang tidak menjadikan murid trampil untuk berbahasa oral sama saja dengan bohong besar.
Banyak siswa yang curhat pada penulis dengan komplain rata-rata bahwa bahasa Inggris itu susah, "buk, bahasa inggris itu payah ban amah, awak indak mangarati saketek alah joh doh buk, kalau bu guru manarangkan awak maangguak-angguak senyoh".
Kita berharap banyak dengan dilaksanakannya otonomi daerah seluas-luasnya, akan menjadikan otonomi pendidikan juga di masing-masing daerah, sehingga kurikulum tidak ditentukan oleh pusat lagi. Ebtanas dihapuskan karena kemampuan murid tidak bisa dipukul rata secara nasional. Kemampuan murid di desa terpencil tidak sama dengan anak yang berada di kota metropolitan, apalagi soal bahasa yang sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang canggih.
Akan lebih baik sekiranya kurikulum ditentukan oleh setiap sekolah, serta harapan masyarakat yang ada di sekitarnya yang mengetahui kemampuan murid mereka secara jelas, tentu saja sekolah tempat anak itu belajar. Mereka lebih faham kemampuan dan kelemahan muridnya sendiri serta bisa menyesuaikan antara kurikulum (idealita) dengan kemampuan muridnya (realita) yang ada. Kalau tidak maka kebohongan-kebohongan akan terus berlanjut sehingga pendidikan bukan untuk menciptakan kecerdasan, namun untuk pembodohan, Nauzubillah, wallahualam.
Arsip Surat Kabar Kampus Ganto edisi No. 99/Tahun XII/ September 2001
Komentar
Kirim Komentar