Sawah Tempat Sampah Bermuara

Sampah memadati selokan tempat mengalirnya air dari hulu ke sawah warga, Senin (18/4). f/Vedri
Vedri Rahmadhana
Tampak dari kejauhan, seorang pemuda dan traktor tangannya berjalan mengelilingi sepetak sawah dengan penuh percikan lumpur di sekujur badannya. Saat itu, pemuda tersebut sedang membajak sepetak sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup hariannya. Agung, begitu ia biasa dipanggil. Debit air yang bertambah karena sawah menjadi tempat sampah bermuara membuat Agung harus lebih berhati-hati saat membajak.
Menjadi seorang petani padi merupakan pekerjaan utama penduduk Kenagarian Duku Utara ini. Tak hanya sawah, masyarakat di sini juga memiliki kebun atau ladang yang mereka garap di lereng bukit. Menjadi petani tak menyurutkan semangat penduduk di sini, bak kata generasi milenial saat ini "Bertani adalah jalan ninjaku".
Tak jauh dari Agung bekerja, terlihat tiga orang sedang mencabut benih yang akan di tanam pada sepetak sawah untuk dijadikan batangan tumbuhan padi. Tiga orang tersebut ialah Diar, Devri, dan Eli. Saat itu cuaca terlihat tak menentu, sejam hujan, lima belas menit kemudian panas lagi, kadang hujan disertai hembusan angin yang kencang, namun hal tersebut tak menyurutkan semangat para petani. Mereka tak sekali dua kali mendapatkan cobaan demikian.
"Hal seperti ini sudah kerap terjadi, ntah kenapa disaat musim panen, musim cocok tanam, negeri ini sering dilanda hujan, terkadang banjir pun ikut berkunjung, memporak-porandakan semua harapan dari hati kecil para petani," kata Eli sembari asik mencabuti benih-benih di sawah bersama dua rekannya yang lain.
Agung terus mengajak jalan kerbau besinya mengelilingi area persawahan, dari petak yang satu ke petak sawah lainnya. Kerjasama Agung dan kerbau besinya membuat pemilik sawah puas dengan hasil kerjanya. Tak heran jika saat itu Agung begitu sibuk dalam bekerja. Kadangkala Agung letih, berhenti sejenak, diseduhnya secangkir cairan hitam kelam namun manis, di sebuah pondok sederhana namun modis. Itulah satu-satunya pondok yang besar di area persawahan tersebut.
Tak berselang lama, Agung kembali menarik porsnelling kerbau besinya, berjalan dengan hati-hati, entah sudah berapa kilometer Agung mengitari sepetak sawah tersebut.
"Aduuuhhhhh..," kata Agung dari kejauhan.
"Kenapa mu, gung?" sahut Diar dari sudut tempat benih dicabut.
"Tertusuk jarum suntik".
Agung menunjukkan jarum suntik yang telah
melukai kakinya tersebut dari kejauhan, dan menyematkannya di pakaian yang ia
kenakan. "Lumayan bikin sakit!"
"Ini pasti limbah medis Rindu (nama samaran seorang bidan yang sedang bertugas di Kenagarian tersebut)," kata Eli dengan wajah yang kesal melihat anaknya terluka.
"Nanti kamu pergi ke bidan sana, bawa barang bukti ini, dan minta ganti rugi berupa pengobatan, biar ia berpikir bagaimana bahayanya limbah medis dibuang ke selokan di area persawahan," sahut Diar pula.
Tempat pembuangan sampah memang tak terlihat di area tersebut, masyarakat kebanyakan membuang sampah di selokan atau ke sungai terdekat. Apabila hujan turun deras, debit air meningkat, meluap ke area persawahan, serta mengangkut sampah-sampah hingga bertebaran di area persawahan. Disaat situasi kembali normal, petani menjadi rugi karena sawahnya yang begitu bagus, hancur sudah karena pengolahan sampah yang tidak baik.
Tampak dua petak sawah milik Irus selalu menjadi korban tempat bermuaranya sampah-sampah yang dibuang sembarangan. Mungkin desa yang bernama Duku Utara ini perlu memperhatikan lagi perihal sampah. Jelas saja, masih banyak masyarakat dari kalangan petani yang mengeluhkan hal ini.
Adzan zhuhur pun berkumandang, seluruh petani yang berkerja seharian di sawah beristirahat sejenak di pondok. Kala itu juga disertai dengan gerimis, tampaknya akan turun hujan. Bekal nasi pun dibuka oleh Eli, mereka menyantap nasi dengan penuh kelakar sebagai penghilang lelah dilanda kesibukan bekerja. Selang beberapa menit, Agung pun kembali menyeduh sahabat sejatinya, "si hitam dari pohon kopi" itulah panggilan akrabnya. "Sudah era modern masih ada saja orang yang tak berpikir panjang," celetukan Devri di siang itu.
"Hahahah.." gelak tawa Agung mendengarnya.
"Mungkin yang membuang sampah sembarangan lebih hina dari hewan, apalagi seorang bidan, mungkin ia kurang mendapatkan edukasi perihal sampah. Apakah di sini tidak ada tempat pembuangan sampah khusus atau nanti sampah-sampah masyarakat diangkut oleh mobil sampah?"
"Sejauh ini tidak ada, masyarakat membuang sampah di selokan, sungai, terkadang mereka bakar di belakang rumah mereka, imbasnya kami yang bertani mendapatkan efeknya, pempes bekas orang tua pun ikut bermuara di sawah ini," kata Eli.
"Kadang masyarakat yang tak bertanggung jawab ini bodo amat saja, tidak mau tahu apa dampak yang akan terjadi jika ia melakukan ini," sambung Diar.
Jam telah menunjukkan pukul 14.06 WIB, para petani kembali menyambung pekerjaan mereka yang terbengkalai.
"Kerja, kerja, kerja, biar kita bisa tidur nyenyak nanti malam, petang masih lama," tegas Devri sambil tertawa.
Agung kembali menarik porsnelling kerbau besinya. Diar, Devri, dan Eli kembali mencabuti benih yang akan ditanam esok hari. Seorang bapak berumur 50 tahun kembali asik meratakan sawah yang telah dibajak oleh Agung. Tak berselang lama, senja pun datang menghampiri, para petani yang tampak kelelahan membersihkan badan, lalu bergegas untuk segera pulang ke rumah masing-masing.
Komentar
Kirim Komentar