Menggantungkan Harapan di Mangkubumi

Luwung Marijo saat pergi memulung. f/Afdal
M. Afdal Afrianto
Terik di akhir Februari terasa sangat ganas ketika Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mengadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) ke XIV di Yogyakarta. Jika tidak ada angin mungkin tetesan peluh akan bercucuran lebih cepat dari biasanya. Siang itu Ganto tiba di jalan Mangkubumi, Daerah Istimewa Yogyakarta dihantarkan bus Trans Jogja koridor 2A. Di jalan sepanjang 750 meter tersebut dapat dengan mudah dijumpai manusia pekerja keras, salah satunya Ngatio. Pria kelahiran Bantul yang kami dapati sedang terbaring di atas becak tua yang sudah ia kendarai sejak tahun 1983.
Ngatio telah menjadi penarik becak sejak 39 tahun yang lalu. Tiga belas tahun sebelumnya ia bekerja sebagai kernet angkot di Purwokerto, Jawa Tengah. Di sana Ngatio bertahan selama sepuluh tahun. Setelahnya, ia mencoba bekerja sebagai kuli bangunan, namun hanya mampu bertahan tiga tahun. Kemudian pada tahun 1983, pria berumur 73 tahun tersebut mulai menggantungkan hidupnya pada kayuh becak.
Sembari
menatap lalu lalang kendaraan yang melewati jalan Mangkubumi, Ngatio
menceritakan masa jaya bersama becak tuanya.
"Bien,
sedino paling sitik biso oleh lima penumpang. Tapi pas ono online-online iku
pendapatan mulai medun," tutur kakek delapan cucu itu sembari menunjuk driver
Go-Jek yang sedang mengantar penumpang.
Keran harapan Ngatio dimulai sejak pagi. Ia merupakan salah satu pengayuh becak diantara becak motor yang hobi mangkal di jalan yang menghubungkan Tugu Jogja dengan Malioboro tersebut.
"Mau isuk mangkal ten jalan Solo, terus ten UGM, terus ngkene. Tekan saiki during oleh penumpang," keluh Ngatio lesu.
Dua ratus meter berjalan ke utara, kami bertemu Luwung Marijo di depan Kantor Pemuda Pancasila Yogyakarta. Ia terlihat sedang membaringkan badan sembari minum es teh manis yang dibeli dari angkringan di seberangnya.
Luwung, pria yang lahir pada tahun 1972 di Wonogiri itu melemparkan senyum saat kami mendekatinya. Bapak beranak satu tersebut sehari-harinya bekerja sebagai pemulung dari pasar ke pasar. Setiap harinya ia berjalan delapan kilometer untuk mengais barang-barang yang bisa dijual kembali. Ia telah melakukan ini selama dua tahun. Sebelumnya, Luwung menjalani aktivitas yang sama di Semarang, Solo, dan Surabaya.
"Di sini enak, tidak ada yang mengusir seperti di Semarang. Di sana kami dikejar-kejar Satpol PP," tutur Luwung dengan tatapan kosong.
Dalam
menjalani aktivitasnya diumur yang sudah tidak lagi muda, Luwung mengaku
kelelahan saat harus berburu barang bekas.
Satu
meter dari Luwung, dengan perawakan tegap Hari memperhatikan percakapan kami.
Hari juga merupakan seorang pemulung yang baru sembilan bulan menjalani
aktivitas tersebut.
"Aku
ng Jogja mergo digondang debcollector, aku mari utang BRI dingo bangun toko.
Tapi, tokone ora mlaku mergo pandemic. Dadine gaono sing gawe mbayar," tutur
pria 36 tahun sembari menentang es teh di genggamannya.
Bapak kelahiran Kediri tersebut menggantungkan harapannya untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Jika tidak segera dilunasi, rumah yang dihuni oleh istri dan anaknya akan disita oleh pihak bank. Penghasilan Hari tidak menentu, dalam satu hari paling banyak ia mendapatkan lima puluh ribu dan setidaknya Hari mengumpulkan lima belas ribu jika hasil pencariannya sedikit.
Dengan penghasilan yang tidak menentu, Hari tetap bersyukur karena masyarakat Jogja masih menerimanya.
"Aku seneng urip neng Jogja, akeh wong apik neng kene. Saben dino, ono wae sing ngawehi aku panganan, kadang-kadang ono sing ngawehi duit pisan, " tutup Hari dengan senyum.
Komentar
Kirim Komentar