Kepakkan Sayap Patah

Ilustrasi: Rawpixel
Nurul Safitri
Bagi anak perempuan surganya adalah rumahnya. Bukanlah negeri antah berantah yang kau sambangi demi gelar-gelar panjang yang tiada habisnya itu, Midar. Bukan pula itu yang akan menyenangkan hati amak di kampung yang barangkali sudah kau lupakan ini.
Berlinang air mata Midar membaca sepucuk surat yang penghantarannya melalui burung besi yang digaung-gaungkan masyarakat kampungnya di tepi Danau Maninjau. Dua hari lalu, Hamdan kakak laki-lakinya mengabarkan akan datangnya sepucuk surat dari amaknya. Tak tidur Midar dua hari dua malam memikirkan kiranya apa yang hendak di sampaikan amaknya hingga harus menuliskan sebuah surat.
Rupanya tak banyak, hanya satu bait yang mengisyaratkan bahwa rumahnya telah merindukan langkah kaki Midar. Kampuang nan jauh di mato itu menghimbaunya untuk pulang. Dilipatnya surat itu mengikuti bekas-bekas yang tertinggal pada kertas bergaris yang Midar ingat merupakan buku tulisnya ketika MA dulu. Buku yang amak belikan dari uang hasil menjual telur dari itik peliharaannya yang berjumlah dua ekor.
Diletakannya surat itu pada sebuah nakas yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Baru dua tahun Midar di ibu kota, tanah yang ramai dikunjungi perantauan yang sebenarnya tak cukup jauh dari kampungnya. Sampailah ingatan Midar dua tahun lalu usai lulus dari MA kala Midar mengatakan niatnya pada amak untuk melanjutkan pendidikannya.
"Alhamdulillah Mak, Midar lulus dengan nilai yang bagus. Mudah juga jalan untuk masuk universitas kata Pak Syahril," Sore itu sepulang dari sekolah langsunglah Midar menghampiri amaknya yang tengah menjemur padi hasil sawah di pelantaran rumah kayunya.
"Mengapa susah-susah masuk universitas Midar, kau turuti saja langkah kawan mu si Rina itu. Lihatlah betapa senang hidupnya sekarang. Menikahlah, kau sudah patut umur!" jawab amaknya tanpa sedikitpun menoleh pada Midar yang duduk di tangga rumahnya."Bagadang hati Midar pulang menyampaikan kabar baik ini kepada Amak. Tidakkah terbesit niat di hati Amak untuk turut senang atas kelulusan Midar?" Tak sanggup Midar menahan air matanya yang bak gerimis di waktu petang. Bergetar jemarinya yang mengeggam buku yang dibawanya pulang.
"Bukan begitu maksud Amak Midar, di kampung kita ini sudah lulus sekolah menengah atas pun sudah sangat hebat. Lalu untuk apa kau menghabiskan waktu untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi? Toh ujung-ujungnya yang kau urusi juga dapur yang mengepul dan sawah yang hijau kemudian menguning," lagi-lagi tanpa melihat kepada Midar.
Tiada jawaban yang bisa diberikan Midar atas ungkapan orang tuanya yang tinggal seorang itu. Tiada ayah yang biasa menjadi penengah kala apa yang diinginkannya tak sejalan dengan pikiran amaknya. Tanpa kata-kata, Midar masuk ke rumah kayunya yang berderit karena langkah Midar yang tak sepelan biasanya.
Di kamarnya Midar menumpahkan segala sesak yang ia tahan sejak tadi. Dipandangnya poster sebuah universitas ternama di Indonesia itu. Matanya pun juga berhenti pada foto Rosi, kakak tingkatnya di MA yang sekaligus menjadi panutannya selama ini. Mungkin tak banyak yang amak tau tentang anak perempuannya yang seorang ini. Tentang betapa besar keinginan Midar untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke Universitas Indonesia. Universitas yang memproduksi orang-orang hebat di negeri ini.
**
Sampailah pada hari itu saat keteguhan hati Midar meluluhkan keras hati amaknya. Sore itu kala gerombolan bangau pulang seusai mencari makan amaknya harus menghantarkan Midar putri semata wayangnya untuk merantau. Sudah siap semua bekalnya, tak lupa randang buatan amaknya yang dibungkus dengan daun pisang untuk lauk makan di perjalanan.
"Midar pamit Mak. Doa Amaklah yang Midar harapkan menghantarkan kepergian Midar." Diucapkannya juga kalimat itu pada amaknya, sembari menggapai tangan keriput dengan urat yang timbul. Itulah saksi bisu betapa berat beban yang harus dipikulnya setelah ditinggal sang suami tiga tahun lalu.
"Amak lepas engkau mengudara Midar. Seperti bangau yang terbang itu, semoga kau tetap pulang ke tempat seharusnya engkau berpulang. Dima bumi dipijak di situ langik dijinjiang, ingatlah pepatah itu Midar" amak menjawab, bukanlah menatap Midar melainkan menengadah ke langit.
"Pesan Amak akan selalu Midar ingat"
Maka berangkatlah Midar sore itu bersama doa amak yang melepasnya dengan sendu. Gerbang yang telah terbuka lebar itu menghantarkan Midar ke tempat yang dia impikan meski harus meninggalkan kampung tempat ia lahir dan dibesarkan juga meninggalkan amak yang menjadi satu-satunya yang tersisa untuk tempatnya berbakti.
***
Kini di sinilah Midar berada, dengan sepucuk surat yang mengisyaratkan kepulangannya. Belum habis masa studinya, masih tinggal dua tahun lagi. Midar tengah berada dalam kebimbangan, tak kuasa ia mengabaikan surat amak yang memintanya pulang tapi biaya untuk pulang pun tidaklah murah. Midar juga khawatir, jika kepulangannya nanti justru menjadi akhir dari masa studinya. Masih segar diingatannya saat amak menelponnya bulan lalu, tentang datangnya seorang tamu dari desa sebelah. Adalah Ramli, kawan semasa tsanawih Midar yang mengutarakan niat baik untuk mempersuntingnya. Padahal sudah jelas Midar katakan pada amaknya bahwa dia belum ingin menikah. Apapun yang terjadi dia harus selesaikan kuliahnya, dia harus menjadi lulusan Universitas Indonesia seperti Rosi yang baru saja yudisium tiga bulan lalu.
Maka dengan berat hati, dituliskannya sebuah surat balasan untuk amak. Sedikit lebih panjang dari surat yang dikirim amak untuknya yang hanya satu bait. Surat itu dimulai Midar dengan kabar bahwa ia baik-baik saja diperantau, kuliahnya pun berjalan dengan lancar. Terakhir barulah dituliskannya bahwa dirinya belum bisa pulang.
"Sabarlah menahan rindu, Mak. Midar akan pulang jika sudah waktunya" begitu akhir dari surat Midar untuk amaknya.
Dilipatnya surat itu, waktu itu sudah malam maka Midar putuskan untuk mengantarkannya ke kantor pos esok hari. Maka tidurlah Midar dengan kerasahan hati yang masih tertinggal.
Baru saja hendak terpejam mata Midar, tiba-tiba ia dijagakan oleh bunyi ponselnya yang keras sekali di tengah keheningan malam. Midar melihat jam dinding yang berada tepat di hadapannya. Sudah pukul 11 malam. Midar terimalah panggilan itu, Hamdan kakaknya.
"Pulanglah Midar, sekarang waktunya. Amak payah."
Tidak ada lanjutan lagi, hening. Midar benar-benar harus pulang.
Komentar
Kirim Komentar