Peranan Psikologi Forensik dalam Menyelesaikan Kasus Kekerasan Seksual pada Anak

Masriani Oktari
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak hanya memberikan dampak postif, namun juga menimbulkan dampak negatif yang mengakibatkan pola tingkah laku masyarakat ikut berubah menjadi semakin kompleks. Hal tersebut ditandai dengan semakin banyak pola tingkah laku manusia yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan isu kekerasan seksual yang terjadi terhadap berbagai permasalahan hukum pun semakin meningkat. Tindak Kekerasan seksual sangat sering terjadi di kehidupan sehari-hari baik itu di lingkungan keluarga, teman sebaya, maupun masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk memberantas kejahatan kekerasan seksual dari semua lapisan masyarakat.
Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari usia dewasa dan remaja, anak-anak bahkan usia balita pun juga menjadi korban kekerasan seksual. Peningkatan tersebut tidak hanya dari segi kuantitas, bahkan juga dari kualitas dan yang lebih tragis, pelakunya adalah kebanyakan dari lingkungan terdekat anak, keluarga, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak lainnya.
Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak memberitahukan hal yang dialaminya. Kemampuan pelaku menguasai korban dengan tipu daya maupun ancaman dan kekerasannya, menyebabkan kejahatan ini sulit dihindari.
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual baik itu dalam bentuk persetubuhan ataupun tidak dan terjadi tanpa memperdulikan hubungan antar pelaku dengan korban. Pada dasarnya kejahatan seksual (susila) dalam KUHP adalah setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang lain terhadap seorang anak tanpa seizinnya.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, incest, pemerkosaan, dan pencabulan. Kasus kekerasan seksual terhadap anak ibarat fenomena gunung es, yaitu satu orang korban yang melapor dibelakangnya terdapat enam anak bahkan lebih yang menjadi korban tetapi tidak melapor. Angka kekerasan seksual terhadap anak bisa jadi lebih besar namun, banyak korban tidak memiliki keberanian untuk melapor kepada lembaga perlindungan anak atau pihak berwajib. Hal ini disebabkan adanya ancaman yang didapatkan dan korban takut akan stigma buruk orang lain terhadap dirinya.
Dilansir dari SINDOnews (28/12/2021) catatan akhir tahun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa terjadi 18 kasus kekerasan seksual pada anak di institusi pendidikan selama tahun 2021. KPAI mengumpulkan data melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisan juga pemberitaan media massa. Sementara itu, terkait lokasi kejadian kekerasan pada anak tersebar di 17 Kabupaten/Kota pada sembilan provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogjakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan bahwa dunia yang aman bagi anak semakin sempit. Kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak akan jadi trauma yang berkelanjutan. Pada umumnya anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami tekanan psikologis seperti ketakutan, malu, stres, bahkan ada yang ingin bunuh diri karena tidak mampu bangkit dari rasa depresi yang dialaminya. Sangat sulit menyembuhkan trauma pada anak, apalagi jika anak menjadi semakin terpuruk, merasa takut bahkan dikemudian hari jika sudah tumbuh dewasa bisa melampiaskan dendamnya yang dulu pernah dialaminya. Luka fisik mungkin bisa disembuhkan dalam waktu yang tidak lama, namun luka psikis akan terekam dan teringat oleh anak dalam waktu yang cukup lama.
Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Dalam hal ini, pemeriksaan dengan bantuan psikologi forensik dapat membantu melengkapi dan memperkuat bukti-bukti pada penyidikan kasus kejahatan seksual pada anak bahkan balita. Proses penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual pada anak berjalan cukup sulit, karena anak masih terlalu kecil untuk dimintai keterangan. Meskipun anak telah lancar berbicara, tapi biasanya keterangan anak masih berubah-ubah. Di sinilah peran psikologi forensik dibutuhkan.
Secara umum psikologi forensik dibangun oleh dua disiplin ilmu yang beririsan, yakni psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi dalam konteks legal yang menekankan pada aktivitas asesmen dan intervensi psikologis dalam proses penegakan hukum. Individu yang berkecimpung dalam psikologi forensik biasanya dibedakan menjadi dua. Pertama, ilmuwan psikologi forensik, tugasnya adalah melakukan kajian atau penelitian yang terkait dengan perilaku manusia dalam proses hukum. Kedua, praktisi psikologi forensik dengan tugas memberikan bantuan profesional terkait dengan masalah hukum. Psikolog yang menjadi praktisipsikolog forensik memiliki keahlian spesifik dalam kasus hukum dibandingkan dengan psikolog pada umumnya.
Pada prakteknya, psikologi forensik berperan dalam empat tahap penegakan hukum. Pertama pencegahan, pada tahap ini psikolog membantu aparat hukum dalam memberikan sosialisasi tentang cara pencegahan perilaku kriminal. Kedua penanganan, psikolog membantu aparat hukum dalam mengidentifikasi motif pelaku. Ketiga pemidanaan, dalam tahap ini psikolog memberikan penjelasan tentang kondisi psikologis dari pelaku sehingga aparat hukum bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan tindak kejahatan pelaku. Keempat pemenjaraan, pada tahap ini psikolog memberikan pendampingan pada pelaku kejahatan yang telah ditempatkan di lembaga pemasyarakatan. Di sisi lain untuk lingkup operasionalnya, psikolog forensik memiliki tugas untuk melakukan autopsi psikologi, wawancara investigasi pelaku, wawancara saksi, dan melakukan criminalprofiling.
Di Indonesia, peran psikologi dalam proses penegakan hukum mulai dilakukan sejak hadirnya Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) pada tahun 2007. Psikologi forensik dibutuhkan untuk mengungkap kasus kriminal masyarakat khususnya yang membutuhkan identifikasi psikologis pelaku dan korban kejahatan. Psikolog forensik dapat memberikan gambaran yang utuh tentang kepribadian pelaku dan korban sehingga aparat penegak hukum bisa memberikan perlakuan yang tepat dalam menangani kasusnya. Meskipun memiliki peran yang penting dalam membantu tindakan hukum, namun ruang gerak psikolog sendiri masihlah sangat terbatas. Psikolog forensik tidak memiliki kewenangan untuk ikut andil dalam suatu kasus pidana apabila tidak dimintai pendapatnya oleh aparat hukum yang berwenang.
Psikologi Forensik berperan penting dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual pada anak. Di mana anak adalah generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan, dan diskriminasi. Maka pemerintah, sekolah, lembaga, masyarakat, keluarga, khususnya orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Komentar
Kirim Komentar