Mahasiswa Bermental Penghamba
M. Hafiz Al Habsy
"Suatu nilai tidak dapat dikunci hanya sebagai hitam atau putih, meskipun secara universal disepakati sebagai hal yang positif namun ketika digejawantahkan dalam tindakan tidak ada jaminan suatu nilai akan tetap bernilai positif."
Mahasiswa sebagai golongan minoritas sekaligus golongan istimewa harapan masa depan bangsa tengah dihadapkan kemerosotan pada ranah kualitas peranan dan fungsinya. Hal ini salah satunya disebabkan munculnya sikap apatis. Wabah apatis yang menyerang mahasiswa bukan lagi sebuah pembahasan baru, bahkan topik ini sedikit klise untuk dikulik lebih dalam lagi. Namun kali ini, fokus bahasan lebih kepada penyebab apatisnya mahasiswa atau yang penulis sebut dengan "mental penghamba".
Mahasiswa apatis cenderung hanya akan memikirkan kenyamanan diri sendiri karena buta akan permasalahan yang ada di lingkungannya. Padahal pendidikan, penelitian, dan pengabdian merupakan sebuah kesatuan yang wajib dijalankan bagi setiap insan yang menyandang gelar mahasiswa demi menjawab permasalahan yang ada. Namun kebanyakan mahasiswa hari ini hanya berkutat pada tahap pendidikan tanpa penelitian dan pengabdian.
Munculnya sikap apatis salah satunya disebabkan adanya segmentasi terhadap nilai-nilai atau hal yang dianggap lebih utama dibanding yang lain. Inilah yang penulis sebut dengan mental penghamba, artinya seseorang menganggap ada suatu hal yang berkedudukan di atas segalanya yang secara tidak langsung akan mengendalikan dan membatasi dirinya untuk masuk pada persoalan lain. Kurang lebih itulah yang akan berimplikasi pada sikap mental penghamba.
Ketika mendengar dan membandingkan slogan "hidup mahasiswa" dan "mahasiswa mental penghamba", paradoks diantara keduanya terlihat begitu jelas. Seorang penghamba tentu bukanlah insan yang merdeka, sedangkan slogan "hidup mahasiswa" merupakan representasi idealisme mahasiswa yang mengedepankan kemerdekaan berfikir dan bertindak dengan catatan berorientasi pada nilai-nilai positif.
Berbicara mengenai mahasiswa mental penghamba, mereka yakni orang yang menggantungkan diri pada seseorang, suatu tujuan yang mereka inginkan, ataupun hal lainnya. Ketergantungan ini secara otomatis akan menjadi doktrin yang dapat menghilangkan kemerdekaan pada dirinya. Cepat atau lambat, hilangnya kemerdekaan diri mahasiswa akan menjadi sumber bencana di masa depan, karena orang yang berada di bawah doktrin tidak akan mampu lagi mengatur diri sendiri apalagi masa depan suatu negeri. Hal inilah yang terjadi pada mahasiswa Indonesia.
Salah satu contoh sederhananya ialah doktrin nilai yang menganggap nilai berada di atas segalanya. Pandangan ini akan membatasi gerak untuk mengeksplorasi dunia organisasi, maupun dunia pergerakan karena dikungkung rasa takut akan tidak tercapainya tujuan tadi. Rasa takut ini juga bisa membutakan mahasiswa terhadap kebenaran, misalnya membenarkan dan menghalalkan segala cara agar nilai tetap aman. Lebih jauh lagi, contoh doktrin tersebut masih memiliki hierarki di atasnya, yakni apa yang menyebabkan mahasiswa meletakkan nilai atau IP di atas segalanya. Tentu banyak hipotesis yang bermunculan, tetapi kali ini cukup diklasifikasikan menjadi dua hipotesis dari dua perspektif yang bertentangan. Pertama, karena mahasiswa memang mengharapkan ilmu pengetahuan. Kedua, karena tekanan keluarga dan berbagai hal lainnya yang bersifat keterpaksaan.
Dalam penelitian Stanley, nilai bukanlah faktor utama dalam kesuksesan seseorang, bahkan lulus dengan nilai tertinggi hanya menempati posisi ke-30 dari 30 faktor kesuksesan atau posisi terakhir yang disusul oleh IQ dan sekolah di sekolah ternama. Dari penelitian ini bisa diambil kesimpulan bahwa doktrin nilai menjadi salah satu penyebab gagalnya para lulusan sarjana di Indonesia dalam dunia kerja, sehingga bisa berimbas banyaknya sarjana yang pengangguran sebab nilai tidak menjamin kesiapan seseorang dalam dunia kerja.
Tidak masuknya nilai sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan seseorang dalam dunia kerja dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, perlu kita ketahui bahwasanya tidak semua jurusan atau program studi merupakan ilmu terapan. Kedua, nilai tidak bisa dipastikan sebagai tolak ukur yang akurat dari kemampuan seseorang, bisa saja seorang tenaga pengajar tidak terlepas dari subjektivitas atau kekeliruan lainnya. Kemudian, apabila nilai tadi memang murni dari pengetahuannya maka dikembalikan ke poin pertama bahwa tidak semua ilmu merupakan ilmu terapan.
Mungkin pembahasan tadi terlalu hyperbole atau sedikit kontroversial, tetapi satu hal yang pasti bahwa setiap mahasiswa harus mampu merdeka dalam berfikir dan bertindak jika memang ingin membawa suatu perubahan (agen of change). Permasalahan doktrin nilai tadi hanyalah sedikit gambaran akibat dari mahasiswa yang bermental penghamba.
Pada akhirnya setelah pembahasan hyperbole tadi, tulisan ini rasanya perlu diakhiri dengan cuci narasi terhadap nilai yang seolah-olah dikesampingkan dalam dunia perkuliahan. Pertama, doktrin nilai hanya sebagian kecil dari banyaknya objek yang digunakan dalam merefleksikan mental penghamba dengan rentetan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Kedua, hingga saat ini nilai masih menjadi salah satu tolak ukur yang kredibel dalam melihat kemampuan seseorang terlepas dari adanya potensi subjektivitas dari seorang penilai.
Kemudian, pembahasan nilai ini tidak lain merupakan sebuah ajakan untuk merdeka dan memegang otonomi terhadap diri sendiri. Artinya, setiap mahasiswa harus memiliki kebebasan dan kekuatan terhadap diri dan setiap pilihan yang diambil serta terlepas dari intervensi luar. Tidak dapat bayangkan jika mahasiswa Indonesia tidak lagi mampu mengendalikan diri dan diatur oleh hal yang berada di luar dirinya.
Komentar
Kirim Komentar