Amis

Ilustrator: Rachmah Viona Citra Raymond
Farisyahs
"Kau akan merindukan hal yang telah lama tak kau lakukan, tapi sebelum itu, kau selalu membencinya."
Minggu pagi yang masih diselimuti kabut, aku terbangun dari kamarku pada pukul enam pagi. Itu adalah waktu paling awal untuk terjaga di hari libur. Bagaimana tidak, jika ibu melihatku masih sibuk berurusan di alam mimpi saat dia pulang dari pasar, kamarku akan digedor habis-habisan olehnya.
"Anak gadis, ayo bangun! kita buat sarapan. Setelah itu bantu ibu membersihkan ayam dan ikan!"
Aku pasti akan mengeluh mendengarnya. Eh, maksudku mengeluh dan menggerutu tak karuan. Mingguku akan selalu buruk karena ibu yang pergi ke pasar untuk berbelanja dan aku yang harus membersihkan belanjaannya yang kebanyakan isinya adalah makhluk laut dan unggas yang berbau amis. Aku sungguh tak menyukai hari Mingguku! Minggu adalah hari yang buruk ketika aku di rumah.
Biasanya, orang-orang di hari Minggu akan menghabiskan waktu bersama keluarga mereka untuk pergi berlibur. Tapi tidak dengan keluargaku. Jangankan liburan, untuk bangun siang menikmati istirahat pun aku tak bisa. Harus berapa kali aku bilang, aku benci sekali jika harus bangun pagi di hari Minggu. Pekerjaan rumahku akan menumpuk dua kali lipat di hari biasanya. Terlebih saat ini aku sedang membersihkan ayam dan udang yang baunya sangat menusuk hidungku.
Rasanya ingin sekali ku balut hidung dengan masker namun ibu pasti akan mengomeliku karena tindakanku terlalu berlebihan. Dari mana aku tau. Ya, karena aku sudah mencobanya beberapa minggu yang lalu, kugunakan masker dan sarung tangan saat tanganku sibuk melepaskan sisik ikan di badannya. Namun kau tau apa yang terjadi, ibu tertawa sambil mengejekku.
"Kau ini anak yang aneh, kau sedang membersihkan ikan nila, nak. Bukan sedang melakukan operasi jantung."
Aku yang mendengar itu hanya bisa merengut dan memajukan bibirku sedikit. Andai ibu tau, aku benar-benar tak suka dengan bau hewan laut yang pastinya begitu amis dan akan meninggalkan bekas bau meski sudah dibasuh dengan sabun beberapa kali.
Pernah pada suatu hari aku punya janji bersama sahabatku untuk keluar. Ya, hari itu hari Minggu, yang artinya aku bisa melewati sedikit rutinitasku di rumah. Kupikir tak apalah sesekali meninggalkan tugasku dan menyerahkan semua tugasku kepada ibu. Aku juga butuh istirahat di hari Minggu dan bersenang-senang. Setidaknya hanya untuk hari ini. Sengaja aku bangun pagi dan bersiap-siap untuk pergi keluar. Um, yah aku tau mungkin ini terlalu pagi tetapi aku sengaja untuk memilih pukul 8 pagi untuk keluar rumah. Sudah berulang kali aku mengatakan ini, aku pergi sepagi ini untuk menghindari semua tugas-tugas rumahku.
Perlahan aku pergi ke dapur dan mendapati ibu sedang membereskan barang belanjaan yang baru saja dibelinya dari pasar. Nampaknya ibu sedang tidak sehat, terlihat dari wajahnya yang agak pucat. Apa ini hanya karena ia kedinginan gara-gara menghabiskan waktu di pasar sepagi ini?.
"Ibu baik-baik saja, kan?" Tanyaku khawatir.
"Ada yang salah? Ibu tentu saja baik. Hanya hari ini terasa begitu dingin."
"Hah, sudah kukatakan ribuan kali, berhentilah pergi ke pasar pagi. Karena itu hanya akan membuat ibu kelelahan. Beli saja semua kebutuhan di warung terdekat." Ujarku panjang lebar.
"Kalau kita berbelanja di warung, pastilah berbeda harganya. Kau akan tau betapa pentingnya selisih harga belanja ketika kau menjadi seorang istri nanti. Sudahlah, bantu Ibu membersihkan cumi ini, Ibu akan membuatkan cumi goreng tepung kesukaanmu hari ini."
Aku hanya memutar bola mataku malas karena pernyataan ibu barusan telah diucapkannya berkali-kali. Alasan yang sangat membosankan dan tidak kreatif sama sekali.
"Ibu, aku tak bisa membantu Ibu hari ini. Aku harus pergi bersama Dinda." Jawabku.
"Sepagi ini?" Tanya ibu heran.
"Hm, iya. Aku akan menemaninya untuk mencari sepatu. Dan Ibu tau kan, dia akan memakan waktu lama untuk berbelanja?"
"Iya, kau boleh pergi. Tapi bantu Ibu membersihkan cumi ini terlebih dahulu. Ibu akan mempersiapkan bumbu masakan." Jawab ibu sambil beranjak.
Aku mengernyitkan dahiku saat mendengar pernyataan ibu barusan. "Tapi aku sudah mandi dan bersiap untuk pergi, Bu. Jika aku membersihkan cumi-cumi ini yang ada badanku bau amis."
Ibu hanya menoleh dengan wajah datarnya sambil berkata "Tidak akan jika kau membersihkannya dengan hati-hati."
Kau tau apa yang sedang kupikirkan? Ingin sekali rasanya aku membuang semua cumi yang ada di hadapanku saat ini. Ingin sekali aku berkata sambil berteriak jika aku sudah lelah untuk membantu ibu di setiap Minggu. Aku tak punya waktu bersantai dan liburan. Bahkan aku tak punya jadwal untuk bangun siang setelah apa yang kulakukan di hari-hari biasa dengan setumpuk tugas dan kegiatan kampus yang melelahkan.
Aku hanya ingin memanjakan diriku, sehari saja. Aku ingin seperti gadis normal biasanya, yang tidak pernah terlibat dengan tugas-tugas dapur. Aku hanya ingin bebas dan tak mau berurusan dengan urusan rumah tangga. Aku ini seorang gadis, belum menjadi milik siapapun. Aku belum punya tanggung jawab terhadap siapapun. Dengan amarah yang masih tertahan aku pun berkata pada ibu "Apa tak bisa Ibu berikan satu hari bebas untukku? Apa sulit sekali memberikan waktu libur di hari Minggu untukku?"
Ibu menatapku dalam dan berujar "Ibu tak pernah melarangmu untuk pergi. Pergilah, tapi Ibu hanya memintamu untuk membersihkan cumi ini terlebih dahulu."
Aku hanya tersenyum sinis "Bahkan Ibu punya anak laki-laki yang saat ini masih bisa terlelap di bawah selimut. Tapi Ibu tak pernah menyuruhnya membantu Ibu mengurusi semua belanjaan ini. Jika aku yang seperti itu, pasti Ibu akan marah padaku. Dia anak Ibu, dan dia juga masih punya kewajiban untuk membantu Ibu."
Aku tau, ibu juga mencoba menahan emosinya, terlihat dia menarik nafas panjang sebelum berkata "Lain kali, jaga tutur katamu pada orang yang lebih tua. Pergilah, tak apa, Ibu bisa membersihkan cumi ini sendiri."
Aku masih geram dengan ibu yang tak mau menanggapi perkataanku barusan. "Aku tak akan membantu Ibu lagi di hari-hari Minggu kedepan. Sebelum Ibu bisa adil dengan aku dan saudara laki-laki ku. Aku tak habis pikir jika dia bisa bebas hanya karena dia seorang laki-laki dan kodratku sebagai perempuan harus selalu mengutamakan urusan dapur." Jawabku sambil berlalu meninggalkan ibu.
Perkataanku memanglah keterlaluan tapi aku sudah lama ingin mengatakan hal itu kepada ibu. Aku tak suka jika ibu selalu saja membiarkan saudara laki-laki ku bersantai tapi tak pernah ada sehari pun waktu untukku menikmati hidupku. Semenjak kejadian itu, aku benar tak pernah membantu ibu di hari Minggu. Aku selalu bangun siang dan menghabiskan waktuku di kamar. Tak ada yang berani menegurku termasuk saudaraku, mungkin ibu yang melarangnya. Ibu pun begitu, tak mau lagi mengetuk pintu kamarku jika aku tak bangun pagi di hari Minggu.
Semua berjalan seperti biasa, hanya saja hubunganku dengan ibu agak sedikit renggang. Aku tak pernah lagi bercanda dengannya, hanya sekedar menyapa seadanya. Ibu juga begitu. Sebenarnya menyedihkan, tapi ya mau bagaimana lagi. Aku masih tetap pada prinsipku, aku akan tetap menyuruh ibu untuk lebih bersikap tegas kepada saudara laki-laki ku. Aku tak ingin hanya karena dia laki-laki, jadi dia bisa lepas tanggung jawab dari urusan dapur. Alasan macam apa itu?.
Berminggu-minggu telah berlalu. Hingga aku bertemu di suatu Minggu yang berbeda. Mungkin hal ini terjadi karena rasa santaiku sudah berubah menjadi rasa bosan. Aku jadi rindu pintu kamarku diketuk lagi seperti dulu. Aku juga jadi rindu memasak bersama ibu di hari Minggu, membersihkan lauk yang amis. Mungkin sudah waktunya aku kembali ke aktivitas menyebalkanku. Yah, kau tau, terkadang kau butuh istirahat dari mereka tapi tidak untuk meninggalkan mereka. Kulirik jam di dinding yang arah jarum panjangnya ke angka enam. Masih terlalu pagi untukmu bangun di hari Minggu, tapi aku sudah rindu akan hal itu..
Saat aku ingin beranjak ke kamar mandi, tiba-tiba kamarku diketuk "Anak gadis, ayo bangun! Kita buat sarapan." Kata orang yang sedang berada dibalik pintu. Aku pun tersenyum kecut. Bukan, bukan karena aku kesal seperti dulu. Tapi suara itu berbeda, tidak seperti biasanya. Tidak seperti dulu saat pintu kamarku juga diketuk. Dialognya sama namun suaranya tak sama begitu juga dengan sosoknya.
Kubuka pintu kamarku perlahan. Aku melirik sedikit ke sosok yang mengetuk pintu kamarku barusan dan berkata "Iya, tunggu sebentar, Ayah." Lalu yang mengetuk pun berlalu sambil tersenyum. Setelah bersiap, aku pun keluar dari kamarku dan menyiapkan beberapa bahan makanan. Kulihat ke arah tempat khusus mencuci piring di bagian luar dapurku. Kulihat sosok wanita sedang sibuk membersihkan ikan nila dan cumi-cumi. Tangannya kotor sekali, aku rasa bau amis itu tak akan pernah hilang dari tangannya. Tapi tangan itu juga yang memberikan kasih sayang terhadapku. Tangan yang merawatku hingga aku tumbuh besar, tangan yang menghapus air mataku dikala aku bersedih, dan tangan yang kuat untuk merangkul anak-anak serta suaminya untuk melewati segala rintangan.
Aku melihat dia sedang mengoceh dan tersenyum ke arahku. Jika bisa kudengar mungkin dia sedang berkata "Kau siapkan bumbu masakan hari ini, biarkan Ibu saja yang membersihkan ikan-ikan segar ini ya. Nanti kau protes tanganmu bau amis." Dalam diam aku pun tersenyum, tapi tanpa sadar air mataku telah basah. Aku menggigit bibir bawahku, merasakan sesuatu yang menusuk relung begitu dalam, sakit sekali rasanya.
"Kenapa menangis, sayang?" Kata seorang laki-laki yang entah sejak kapan berada di sini.
"Aku merindukan Ibu." Jawabku lirih.
"Ibu juga pasti merindukanmu, anak gadis kesayangannya. Sudahlah." Katanya sambil memelukku.
"Bang, apa kau masih harus pulang pagi, seperti ini? Tak ada lagi yang harus kau khawatirkan sekarang. Berhentilah bekerja sekeras ini dan carilah pekerjaan yang kau sukai." Kataku pelan.
"Aku memang tak harus mengumpulkan uang untuk pengobatan Ibu seperti dulu, namun aku masih punya tanggung jawab terhadap adikku. Kau harus tetap melanjutkan sekolahmu dan kita harus hidup dengan layak. Jangan kau pikirkan tentangku, cukup jaga dirimu dengan baik." Katanya sambil menatap manis mataku.
Aku makin tak kuasa menahan air mataku. Bisa sebodoh itu aku merasa diperlakukan tidak adil. Apanya yang tidak adil? Bahkan akulah yang berbuat tak adil. Seseorang yang bekerja keras untuk keluarga tapi masih saja kutagih untuk bekerja di rumah. Sungguh, rasa tak adil yang kurasa hanyalah sifat tamak dan keras kepala yang berasal dari lubuk hatiku. Sungguh, aku adalah manusia paling egois. Manusia yang membiarkan sosok wanita rapuh dan sakit untuk bekerja sendiri di hari Minggu. Dan seseorang yang mempertanyakan keadilan kepada dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Akulah bentuk dari ketidakadilan yang sebenarnya.
Jika waktu bisa dipermainkan, tak akan ada hal yang disesali. Bahkan di Minggu-minggu terakhir keberadaannya pun aku tak menemaninya. Hal yang terburuk adalah aku tak sempat meminta maaf secara benar. Benar ternyata, suatu hari kau akan merindukan apapun atau siapapun, namun sebelum rasa rindu itu datang, kau selalu membencinya.
Komentar
Kirim Komentar