Wanita dan Bias Objektivitas

Ilustrator: Rachmah Viona Citra Raymond
Nurul Safitri
Keberadaan wanita dalam sejarah sempat terkungkung dalam ruang gelap penindasan. Hal tersebut tentu berbeda dengan saat ini di mana wanita telah mendapatkan "peran" dalam masyarakat. Pada masa lalu perempuan dan laki-laki memiliki relasi yang tidak cukup baik. Di berbagai suku di dunia, berbagai penindasanan mewarnai perlakuan terhadap wanita pada masa itu. Seperti yang terjadi di tanah Arab pada Zaman Jahiliyah misalnya, di mana anak perempuan dianggap aib. Tak jauh memilukan di India seorang wanita tidak lagi dihargai saat suaminya meninggal dunia.
Meskipun keberadaan wanita kini telah diakui sebagai bagian penting dalam masyarakat, hal ini tidak serta-merta melesapkan polemik berbasis genre ini. Saat ini dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan IPTEK permasalahan wanita pun mengalami pergeseran. Terlepas dari permasalahan kesetaraan genre dan feminisime yang berkaitan dengan persamaan hak dalam persoalan politik dan ekonomi wanita juga sering menjadi sasaran objektivitas laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam dunia hiburan.
Salah satu bentuk objektivitas ini dikenal dengan istilah keren "The Male Gaze" yang pertama kali dicetuskan oleh Laura Mulvey pada esainya "Visual Pleasure and Narrative Cinema". Laura Muvey memaparkan fenomena ini yang bekaitan dengan penggambaran tokoh perempuan dalam film sebagai objek pasif yang "dilihat" oleh tokoh pria sebagai objek aktif. Dalam hal ini wanita secara terang-terangan menjadi objek yang diseksualisasikan oleh hasrat pria.
Fenomena ini memposisikan tubuh perempuan sebagai objek yang memberikan kenikmatan lewat voyeourism, yaitu kenikmatan yang didapatkan ketika seseorang secara diam-diam menatap orang lain secara seksual. Contohnya saja pada sebuah film yang menampilkan percakapan dua orang yang berlawanan jenis. Sorot kamera seringkali tidak hanya difokuskan pada aksi percakapan tokoh yang ada tapi justru menyorot bagian tubuh si wanita untuk mempertontonkan kemolekan tubuh tokoh tersebut yang sama sekali tidak berkaitan dengan jalan cerita. Tak heran jika hal ini memunculkan perspektif bahwa film-film tradisonal khususnya Hollywood merespon dorongan mendalam scopophilia, yaitu kenikmatan seksual yang terlibat dalam melihat yang memuaskan scopophilia maskulin.
Tidak hanya di dalam film objektivitas pada wanita juga ditemukan dalam bidang marketing dan promosi. Anehnya posisi wanita sebagai model iklan atau figur dalam promosi seringkali tidak memiliki keterkaitan erat dengan produk yang dipasarkannya. Pada iklan rokok misalnya, di Indonesia berbagai brand justru memilih wanita sebagai model promosinya baik melalui tayangan video maupun baliho besar yang menjadi penghias jalan raya. Padahal pangsa pasar rokok tidak didominasi oleh kaum hawa.
Dikutip dari katadata.co.id tertulis bahwa menurut praktisi iklan Miranti Abidin keberadaan wanita di dalam periklanan adalah bagian dari feminisme. Feminisme industri iklan tak lepas dari konsekuensi gerakan perempuan yang berkembang dibanyak negara sekaligus yang berhasil menempatkan posisi perempuan pada level atas. Selain itu keberadaan perempuan di dunia periklanan tak lepas dari masih mengakarbatunya pemahaman bahwa keberadaan perempuan dalam sebuah iklan dapat meningkatkan penjualan suatu produk. Wanita dengan penampilan menarik dan sexy dapat menyasar konsumen pria. Hal ini dianggap sebagai sebuah strategi penjualan dengan pemanfaatan sensualitas wanita.
Secara alami pengaruh tatapan pria meresap ke dalam persepsi dan harga diri wanita yang menjadi objek. Hal ini kemudian menghadirkan sejenis tekanan bagi wanita untuk menyesuaikan diri dengan pandangan patriarki ini. Anehnya keberadaan objektivitas ini dianggap sebagai hal yang wajar. Padahal cara laki-laki heteroseksual mempersepsikan wanita ini seolah menjadikan wanita dengan keindahan yang lekat padanya ditakdirkan lahir sebagai sasaran yang layak untuk diobjektifitas. Bentuk objektivitas ini tidak hanya berpengaruh terhadap bagaimana wanita di pandang oleh lelaki sebagai makhluk visual sebagai pemuas hasrat seksual. Melainkan juga mempengaruhi bagaimana wanita memandang diri mereka sendiri dan memandang sesama wanita. Hal ini bukannya tidak mungkin menjadi percikan yang lalu memunculkan standar-standar kecantikan yang bermuara pada momok insecurity yang sedang maraknya terjadi saat ini. Tidak hanya itu, objektivitas terhadap manusia dalam bentuk pandangan oleh laki-laki ini juga dapat menghambat pemberdayaan perempuan dan advokasi diri sambil mendorong objektivitas diri dan penghormatan kepada laki-laki dan patriarki.
Komentar
Kirim Komentar