• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Facebook
  • Twitter
  • RSS
Ganto.co

, WIB
  • Home
  • Berita
  • Info Kampus
  • Sastra & Budaya
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
    • Catatan Budaya
  • Ganto TV
  • Ganto Foto
  • Artikel
  • E-Paper
UNP Bakal Kelola Stadion Utama Sumatra Barat

UNP Bakal Kelola Stadion Utama Sumatra Barat

Usai Revisi Jadwal Wisuda, BEM KM UNP Menyoroti Alasan Penundaan Wisuda Periode 127

Usai Revisi Jadwal Wisuda, BEM KM UNP Menyoroti Alasan Penundaan Wisuda Periode 127

Berita Terbaru

  • 27-06-2022Saraswati Learning Center: Pentingnya Joint...
  • 27-06-2022HIMOTO FT UNP Sukseskan Pelaksanaan Servis Motor...
  • 27-06-2022HIMAFI UNP Adakan Pelatihan Manajemen Organisasi...
  • 26-06-2022Pelantikan PD Asosiasi Bimbingan dan Konseling...

Kategori

  • Laporan 2 Edisi 218
  • Laporan 1 Edisi 218
  • Universitas Negeri Padang
  • PPG SM3T
  • Bimbingan dan Konseling
Menciptakan Komunikasi yang Sehat dalam Keluarga

Menciptakan Komunikasi yang Sehat dalam Keluarga

Pentingnya Pola Asuh untuk Anak yang Memasuki Usia Remaja

Pentingnya Pola Asuh untuk Anak yang Memasuki Usia Remaja

Artikel Terbaru

  • 15-06-2022Pendidikan Pertama dan Selamanya
  • 11-06-2022Nayanika Malioboro
  • 06-06-2022Urgensi Pendidikan Keluarga
  • 23-04-2022Sawah Tempat Sampah Bermuara

Kategori

  • Politik
  • Pendidikan
  • Agama
  • Umum
  • Home
  • Artikel
  • Cerpen

Curhat Si Pipit Kecil

18-12-2010, 12:47 WIB

Cerpen

2751 1
Oleh:

Chandra Firman

Ia bukan elang hanya pipit kecil dengan sayap-sayap yang mungil. Paruhnya pendek dan tipis, sering berkicau dan hinggap dari dahan ke dahan, bebas dan lepas. Di tubuhnya memang tidak ada yang istimewa, dan kalaupun ada yang suka membidiknya, jelas itu bukan karena pipit kecil ini binatang spesial yang kulitnya bisa dijual mahal, tapi semata-mata karena naluri primitif manusia yang sering disamarkan menjadi hobi mereka. Tanpa keistimewaan, tanpa ada sesuatu yang dijual mahal, dengan sendirinya tak ada orang yang membuat burung ini jadi keramat. Tak ada juga yang memposisikannya menjadi mitos, apa lagi dijadikan lambang negara. Bahkan anak-anak pramuka pun enggan menjadikan nama burung ini sebagai nama grup mereka. Praktis, keberadaan pipit-pipit kecil ini hanya dianggap pelengkap pagi. Selebihnya hanya omongan belaka.

Pagi ini, di ranting pohon jambu yang kering, pipit kecil itu kembali bernyanyi. Bukan karena ia ingin benyanyi, bukan pula karena ia ingin orang mendengarkan nyanyiannya, ia hanya tahu setiap pagi ia harus bernyanyi. Namun pagi ini suaranya terdengar berat. Mungkin ia terserang flu. Maklum saja, saat ini musim memang sedang tidak menentu, kadang hujan kadang panas. Musim hujan bisa melebar dan mengambil jatah musim kemarau. Begitu juga sebaliknya, tentu yang bingung jelas para petani, dan pipit-pipit kecil itu, adakah ia juga bingung?

"Hai pipit-pipit kecil, apakah kau tahu sebabnya musim menjadi seperti ini?" tanyaku.

Pipit-pipit kecil itu terus bernyanyi.

"Hai pipit-pipit kecil, jawablah apakah alam tak lagi berjalan harmonis?" kembali kubertanya.

Pipit-pipit kecil itu tetap bernyanyi.

"Hai pipit-pipit kecil, apakah keseimbangan alam telah hilang, telah menguap bersama asap-asap industri?" tambahku lagi.

Pipit-pipit kecil itu terus bernyanyi.

Huh, rupanya pipit-pipit kecil itu bisanya memang hanya bernyanyi. Tiba-tiba sunyi. Pipit-pipit kecil itupun berhenti menyanyi. Di atas sana, di dahan-dahan kering pohon jambu, satu diantaranya melompat turun. Hinggap persis di tepi atas secangkir kopi.

"Setiap pagi kami memang hanya bernyanyi. Tapi tidakkah kau tahu dari hari ke hari suara kami semakin berat dan sumbang?" jawab Pipit.

Aku hampir melompat, nyaris terjungkal jatuh dari dudukku. Pipit itu bisa bicara!

"Jangan kau anggap ini ilusi pagi, aku benar-benar bicara padamu." ujar pipit itu lagi, kali ini dangan menekan suaranya.

Aku masih tidak percaya. Tapi pipit itu sepertinya tidak mau tahu. Ia kembali bicara tanpa memberiku kesempatan untuk sebentar saja mengusap mata.

"Kau tahu, sahabat kami yang bernama cendrawasih, mereka kini terancam punah, begitu juga singa, macan, harimau nyaris lenyap dari muka bumi ini. Mereka diburu, dikuliti, lalu kulitnya menjadi tas-tas mahal yang sangat dikagumi kaummu. Mereka memang buas dan suka memangsa, tapi keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk keseimbangan alam, sangat diperlukan agar rantai makanan tidak terputus. Kalian menyadari itu tapi tak mau sadar."

Aku tak tahu yang ku dengar ini nyata atau tidak, aku tak tahu saat ini aku menjejakan kaki atau masih larut dalam mimpi. Aku tak pernah tahu ada pipit yang bisa bicara bahasa manusia, karena itu aku pun sulit memastikan apakah pipit ini sungguh berwujud atau hanya kerena aku kurang tidur tadi malam.

"Nasib burung kecil seperti kami pun tidak jauh beda." Lanjut pipit itu, seperti mengadu. "Kami memang tidak diburu, tapi kami telah kehilangan tempat tinggal. Dahan-dahan yang teduh itu telah lama dipotong orang, jutaan akar telah dicabut. Kini sebagian besar dari kami tinggal di loteng-loteng pengap, selebihnya terperangkap penjebak, kakinya diikat tali lalu dimainkan oleh anak-anak. Sepertinya kami ini boneka, sepertinya kami ini tidak punya nyawa, sepertinya kami ini bukan makhluk Tuhan seperti kalian."

Sungguh mati aku benar-benar tidak ingin percaya. Tapi pipit kecil itu sungguh bicara. Paruhnya bergerak persis sama dengan manusia. Mungkin saja pipit kecil ini sebangsa jin atau hantu yang sedang menyamar, namun di pagi hari seperti ini, apa mungkin hantu berani keluar? Aneh juga kalau ada hantu yang keluyuran di pagi hari dan bicara tentang hak asasi binatang. Jadi pipit ini pastilah benar-benar seekor pipit, mungkin juga ilusi atau bercak-bercak tahi mata, tapi aku kan sudah cuci muka.

"Hak hidup kami telah kalian rampas dengan semena-mena, dengan darah dinginnya melebihi reptil. Kalian mengurung kawan-kawan kami di kebun binatang, di sangkar-sangkar besi, dan di suaka satwa dengan dalil agar mereka aman, agar mereka tidak punah, padahal teman-teman kami itu kalian jadikan bisnis semata, hanya untuk memenuhi nafsu kemanusian kalian, hingga yang menyebabkan kepunahan itu adalah kalian sendiri. Kalian, manusia, berlagak bak pahlawan bertopeng padahal kalian seperti mesin pemusnah yang kejam tersimpan dalam topeng kalian itu!" ujar pipit itu lagi, kali ini dengan nada menghardik.

Aku ingin segera menampik ucapan pipit itu, tapi lidahku kelu, seperti ada jemari besar dan kokoh mencekek leherku. Lagi pula apa yang diucapkannya itu benar adanya. Aku tak bisa membantah, seperti seorang murid sekolah dasar yang hanya duduk diam sambil mendengar pelajaran.

"Kalian harus ingat," ujar pipit itu sambil mengangkat sebelah sayapnya, gayanya mirip seorang orator partai saat kampanye yang mengancungkan telunjuknya. "Kalian hanya manusia dan bukan penguasa. Namun kalian sering mengaburkan dua kata itu sehingga nampak sama padahal makna keduanya sangat berbeda," bola mata pipit yang hitam itu terbelalak menatap ku. "Kalian sering bersorak ‘lestarikan alam dan bumi kita’ tapi mana buktinya yang ada hanya omongan sampah untuk bisa sampai di tujuan busuk kalian, yang ada dalam otak kalian hanyalah kesenangan dan kebebasan diri kalian masing-masing tanpa memikirkan sekeliling kalian."

Pipit kecil itu sepertinya tidak hanya menghardik, tapi juga menuntut. Sejenak pipit itu diam. Sepertinya ia memberi ruang kosong agar aku bisa bicara. Tapi akupun hanya diam, makin tak bisa membantah. Makin bisu, meskipun hingga detik ini masih teramat sulit bagiku melihat kenyataan pipit itu bercas-cis-cus seperti manusia, walau itu terjadi persis di depan mataku sendiri.

"Kami memang senang tinggal di kebun binatang," pipit itu akhirnya membuka mulut kembali. "Kami juga senang diberi makan rutin setiap hari di kebun binatang atau di sangkar-sangkar. Tapi hidup kami, seperti juga kalian, bukan hanya untuk makan, kami juga butuh kebebasan, perlu menggerakkan sayap-sayap kami untuk terbang kemanapun kami suka tanpa perlu cemas pada peluru pemburu dan perangkap burung. Hutan kini semakin habis dan kebun binatang seperti penjara, lalu kemana kami harus menetap? Apa yang kalian sebut selama ini ‘pembangunan’, bagi kami kaum binatang, tak lebih dari gerigi pemusnah masal,"

"Itu berlebihan." Kalimatnya itu meluncur begitu saja dari bibirku yang sejak tadi terkatup.

"Mungkin" jawab pipit itu. "Tapi pengelolaan dan pemanfaatan alam yang kalian lakukan sudah sangat berlebihan."

"Hei...kamu bicara sama siapa?" tiba-tiba ibu sudah berdiri di sampingku, matanya menatap aneh, dahi atasnya yang sudah keriput sedikit berkerut. "Heran...masih pagi, kok bicara sendirian?"

"Tidak kok Bu," bantahku "Aku bicara sama....," ujarku sambil menunjuk cangkir kopi "hah...mana pipit tadi yang bicara panjang lebar," heran dalam hatiku.

"Bicara sama cangkir?" sahut ibuku. "Sudah, dari pada kamu melamun yang tidak-tidak, lebih baik kamu bantu ibu mengambil air di sumur sebelah karena sumur kita sudah kering airnya akibat gersangnya hari" setelah berkata itu ibu kembali masuk ke rumah. Aku menengok ke atas, mencari pipit itu di ranting kering pohon jambu. Namun di sana yang ada hanya kebisuan. Pipit kercil itu lenyap begitu saja. "Pipit-pipit kecil itu kemanakah perginya?" Batinku bertanya terus menerus.

Tiba-tiba Deni, adik kecilku, berlari kearahku dengan tangan di belakang keduanya. "Mas lihat ini jeratanku kali ini berhasil," disogokkan kepadaku sesuatu dari belakang badannya. Aku nyaris terjungkal kaget melihatnya, ternyata seekor pipit kecil yang terikat tali dan siap untuk dipermainkan adikku. Aku langsung merebutnya dan melepaskan kembali burung itu.

"Mas kok dilepaskan hasil jeratanku, itu kan hasil pertama kali aku dapat dari lamanya aku menjerat!" omong adikku dengan dengki melihatku. Tak tahu harus jawab apa, aku langsung masuk rumah dan mengambil ember untuk mengambil air di sumur sebelah.

"Pipit tadi kemana ya?" mulutku bertanya dan bicara dengan sendirinya, ember telah penuh dengan air kemudian kuangkat ke kepala dan melangkah untuk kembali ke rumah.

"Terima kasih telah melepaskanku." Aku heran suara itu muncul dari tepi sumur, aku nyaris basah karena air yang kuangkat oleng saat aku terkejut yang bicara itu adalah pipit kecil di tepi sumur itu.

Kritik Cerpen Ganto 159:

Kepedulian Lingkungan dan Kepedulian Sastra

Cerpen Chandra Firman yang bertajuk Curhat Pipit Kecil sangat kental nuansa kepeduliannya terhadap usaha penyelamatan alam dan pelestarian lingkungan. Tema pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan melangkanya berbagai habitat flora dan fauna, menjadi titik berangkat cerpen Chandra sebagai seorang pengamat, kreator, dan kritikus.

Chandra secara satiris mengungkapkan realitas itu ke dalam fiksi melalui sebuah penceritaan setengah surealis. Burung Pipit yang sejatinya tidak bisa berkomunikasi layaknya manusia di dalam cerpen ini menjadi hidup dan bahkan bisa ‘curhat’ dengan si aku sebagai pencerita.

Gaya penceritaan seperti ini sudah jamak dipraktikkan oleh cerpenis-cerenis handal seperti Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa nama lainnya. Syarat utama agar cerpen yang mengambil teknik setengah surealis sang penulis mesti punya kemampuan mempersonifikasikan tokoh-tokoh bukan manusia secara pas, proporsional, namun khayali. Roh manusia lengkap dengan karakteristiknya yang khas sekaligus paling unggul di antara seantero makhluk lain mesti merasuk ke dalam penggambaran si tokoh secara meyakinkan.

Begitulah, si burung Pipit mesti dipandang sebagai burung yang memang "ditakdirkan" untuk bisa mengutarakan isi hati dan pikirannya, kritiknya. Si burung adalah burung ‘istimewa’, tidak sama dengan burung-burung lain. Pada tataran ini, dibutuhkan fantasi liar namun terstruktur dari si cerpenis. Meski ada ruang untuk memberi roh manusia, namun tidak dengan serta merta seluruh kemungkinan khayali itu ‘dicopy-pastekan’ secara membabi-buta.

Tantangan itu dijawab oleh Chandra dengan lumayan mulus. Ada penggambaran yang hidup, melintas sekaligus menjalin jalan cerita menjadi sebuah fiksi yang tidak kehilangan control di sisi plot, dan di sisi lain tidak pula lupa untuk terus menjaga tensi muatan kritik di dalamnya. Sebagaimana takdir sebuah cerpen satiris-ironis, spirit kritik yang tajam mesti menonjol dan terjaga tensinya di seluruh rusuk cerita.

Kelemahannya, kadang ketika masih belajar untuk menulis cerpen berkualitas, kita terjebak pada scene yang klise. Si Ibu digambarkan sebagai si lugu yang kaget ketika melihat anaknya bicara sendiri di hadapan cangkir. Kemudian si anak tersadar karena disapa si Ibu kemudian tiba-tiba sosok objek yang dilihatnya secara ilusif menghilang tiba-tiba. Ini kan adegan-adegan yang sudah sangat biasa kita temukan dalam film-film nasional. Film-film Hollywood sudah lama beranjak maju untuk tidak terjebak pada pengulangan-pengulangan layaknya film dan (kini) cerpen Chandra.

Anyway, teruslah menulis. Kemauan dan kemampuan jika dikawinkan akan menghasilkan sesuatu yang spektakuler. Selamat.***

Tags:

~

Rating

  • 2751views
  • 1comments

Subscribe

Subscribe to comments

recommend to friends

Iklan Almet

Artikel Terkait

Mak Suni

Cerpen

Mak Suni

24-03-2015

1469
Kasam

Cerpen

Kasam

07-11-2014

1669
Portulaca

Cerpen

Portulaca

15-10-2014

1632
Bom Waktu

Cerpen

Bom Waktu

21-07-2014

2029

Komentar

Kirim Komentar
vik

vik

27-09-2011 04:25 WIB

haks 

Kirim Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Nama*

E-mail*

Komentar

Kode

11 234 Subscribers
781 Followers
341 Subscribers

Berita Terpopuler

Aliansi BEM SB Bersama FSPMI Gelar Aksi Tolak Omnibus Law

Aliansi BEM SB Bersama FSPMI Gelar Aksi Tolak Omnibus Law

16-06-2022

  • 521
  • 22
Pameran 'Garih' Mahasiswa Departemen Seni Rupa, Turut Hiasi Taman Budaya Sumbar

Pameran 'Garih' Mahasiswa Departemen Seni Rupa, Turut Hiasi Taman Budaya Sumbar

04-06-2022

  • 494
  • 22
UKRO KM UNP Launching 5 Robot untuk Ajang KRI

UKRO KM UNP Launching 5 Robot untuk Ajang KRI

02-06-2022

  • 469
  • 22
573 Medali Akan Diperebutkan dalam Ajang POMPROV Sumbar

573 Medali Akan Diperebutkan dalam Ajang POMPROV Sumbar

06-06-2022

  • 443
  • 22
Diikuti Sebanyak 320 Mahasiswa se-Sumbar, UNP Siap Sukseskan POMPROV Perdana

Diikuti Sebanyak 320 Mahasiswa se-Sumbar, UNP Siap Sukseskan POMPROV Perdana

06-06-2022

  • 411
  • 22

Ganto TV

Lihat semua video

Aktivis Gerakan Suara Rakyat Sumatera Barat Tolak Penghapusan Limbah Batu Bara dari... Ganto TV

08-04-2021

  • 14
  • 1837

Galeri Foto

Lihat semua foto
Aksi Indonesia Darurat, Sumbar Menggugat 11 April 2022

Aksi Indonesia Darurat, Sumbar Menggugat 11 April 2022

12-04-2022

  • 0
  • 0
DimensiTekno old

Langganan Berita

Ganto.co
BACK TO TOP

SKK Ganto UNP

Ganto.co

"Sebuah Koran kampus sudah lama diimpi-impikan di IKIP Padang. Namun, karena keterbatasan, impian itu belum sempat diwujudkan. Sampailah beberapa waktu yang lalu, Rektor IKIP Padang 'menawarkan' suatu kemungkinan buat menerbitkan sebuah Koran kampus. Sudah tentu tawaran itu merupakan surprise. Dan Humas tak melewatkannya begitu saja. pembicaraan-pembicaraan diadakan. Rencana-rencana disusun. Sudah tentu, menerbitkan Koran tak semudah membacanya. Maka hari ini, dengan segala kekurangannya,...

Get it on Google Play

Profil

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami

Menu

  • Home
  • Berita
  • Info Kampus
  • Sastra Budaya
  • Ganto TV
  • Ganto Foto
  • Artikel
  • E-Paper

Kontak

Hubungi kami di masing-masing divisi di bawah ini :

Alamat
Gedung Student Center Universitas Negeri Padang Lantai 2, Jln. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar. Kode Pos 25131

Email: redaksiganto@gmail.com

Website : http://ganto.co

  • Bagian Umum

Nomor Hp 081271163620 (Afdal) / 083186637047 (Mona)

  • Bagian Redaksi

Nomor Hp 08973789080 (Nurul) / 083179338314 (Rino)

  • Bagian Usaha

Nomor Hp 082384139108 (Sandi)

  • Bagian Sirkulasi

Nomor Hp 085263690921 (Sherly)

  • Ketentuan Penggunaan
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Hubungi Kami
  • Facebook
  • Twitter
  • RSS

© 2017 Ganto.co - Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah. All rights reserved.

Close

Enter the site

Login

Password

Remember me

Forgot password?

Login

SIGN IN AS A USER

Use your account on the social network Facebook, to create a profile on Ganto.co