Momentum Hari Ibu : Pelanggengan Domestikasi Perempuan dan Penghormatan Tak Setara

Ilustrasi oleh Vedri Ramadhana
Kelvin Ramadhan
Perayaan hari ibu secara nasional dilaskanakan setiap tanggal 22 Desember. Pada hari itu, jutaan orang Indonesia saling berkirim salam memberi ucapan selamat dan rasa terima kasih kepada sosok seorang "Ibu". Kata "Ibu" ditujukan dalam artian Ibu Rumah Tangga (IRT) karena dedikasinya untuk keluarga, suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.
Berbagai ungkapan ekspresi rasa kasih sayang pun diadakan, mulai dari pengucapan cinta kasih kepada ibu, membebas tugaskan ibu dari kerja domestik sehari-hari yang telah dianggap menjadi kewajibannya, memberikan hadiah, serta berbagai acara perayaaan dalam konteks kefemininan, seperti lomba berbusana kebaya, lomba memasak, lomba merangkai bunga, dsb.
Dibalik semua itu, tak banyak yang mengetahui apa dan bagaimana sejarah Hari Ibu untuk dimaknai. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih kepada ibu, tentu saja setiap ibu memiliki jasa tak terkira dengan melahirkan dan merawat anak-anaknya dari sejarah. Diketahui persis bahwa Hari Ibu bukanlah sekedar tentang penghargaan terhadap peran ibu yang sangat domestikal di dalam keluarga, melainkan tentang bagaimana perjuangan kaum perempuan terbebas dari belenggu ketidak adilan gender.
Masyarakat Indonesia memang terlanjur salah kaprah memaknai Hari Ibu yang diperingati setiap tahunnya ini. Merujuk Historiografi Indonesia, mencatat perayaan Hari Ibu diambil dari momentum Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. Kongres diadakan di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta yang dihadiri 30-an organisasi perempuan dari 12 daerah di Jawa dan Sumatera dengan total peserta kongres sekitar 600 perempuan yang berlangsung selama empat hari.
Kongres ini bertujuan untuk membangun persatuan antar organisasi pergerakan perempuan demi memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Dengan demikian, Kongres Perempuan Indonesia I inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya Hari Ibu di Indonesia. Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 tahun 1959 mengenai penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu.
Hari Ibu Bukanlah Momen Menyanjung Peran Domestik Perempuan
Momentum Hari Ibu di Indonesia membawa semangat emansipasi perempuan Indonesia pada zaman kolonial, yakni perjuangan perempuan mendapatkan kesetaraan. Kesetaraan tersebut baik dalam segi ekonomi, pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, memperoleh pengetahuan, dan keahlian di luar rumah atau lingkungan adat.
Sejak awal peristiwa ini menekankan bahwa makna Ibu dalam Hari Ibu bukan dalam pengertian Ibu Rumah Tangga atau Ibu Kandung, melainkan ibu sebagai panggilan hormat di Indonesia terhadap perempuan. Namun, faktanya penyematan ibu sering kita gunakan sebagai sebutan hormat pada berbagai hal dan penamaan, mulai dari Ibu Negara, Ibu Kota, Ibu Pertiwi, dan sebagainya. Penyematan tersebut merupakan dialektika dan mengandung unity of the opposites atau dua kutub berlawanan yang saling merasuki dalam pelanggengan seksisme terhadap perempuan.
Hari ini apa yang kita anggap sebagai bentuk penghargaan melalui perayaan Hari Ibu sangat jelasmengandung gagasan seksisme. Seksisme disini diartikan sebagai perlakuan diskriminasi, stereotip, dan prasangka berdasarkan gender. Perayaan Hari Ibu demikian mengandung seksisme karena menanamkan gagasan bahwasanya kerja-kerja domestik atau rumah tangga telah menjadi kodrat alamiah seorang perempuan.
Pada akhirnya perempuan dibebani peran dari hasil konstruksi sosial untuk menanggung sepenuhnya kerja-kerja rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah, serta merawat anak dan suami. Kerja domestik seperti ini menjadi label bagi perempuan dan kemudian diagung-agungkan sebagai kepahlawanan dan pengorbanan kaum ibu.
Melalui tulisan singkat ini, penulis menegaskan bahwasanya kerja-kerja domestik bukanlah kodrat perempuan. Kerja-kerja domestik harus disepakati dan dibagi secara adil antara mereka yang ingin menikah. Bahkan, kerja-kerja domestik perlu diindustrialisasi dan diubah ke sektor publik sehingga membebaskan perempuan dari stereotip demikian.
Misalnya pekerjaan memasak dan menyiapkan makanan bisa ditanggung lewat industri katering, dapur umum dan atau layanan antar makanan. Pekerjaan mencuci dan menyetrika bisa ditanggung lewat industri laundry. Pekerjaan membersihkan rumah bisa ditanggung lewat industri cleaning service atau jasa kebersihan. Pekerjaan menjaga dan mengasuh anak bisa ditanggung lewat industri jasa pengasuh anak atau penitipan anak.
Industri-industri tersebut sudah ada,tetapi belum tentu bisa dijangkau apalagi dinikmati oleh mereka perempuan pekerja. Mahalnya biaya yang dipatok membuatnya hanya bisa dinikmati sebagian perempuan dari kelas menengah dan mayoritas perempuan dari kelas atas. Belum lagi problem ketidaksetaraan upah antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO) 2020, perempuan dibayar lebih rendah ketimbang laki-laki dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Pekerja perempuan hanya memperoleh 77 sen dari setiap $1 yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama. Selaras dengan kondisi global, perempuan Indonesia memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibanding laki-laki. Kendati lebih banyak pekerja perempuan yang bergelar D3/D4 atau sarjana dibanding laki-laki, kualifikasi pendidikan juga tidak mempersempit kesenjangan upah berbasis gender.
Seksisme masih menjadi problem mendasar yang menimpa kaum perempuan. Di satu sisi sangat mendiskriminasi dan menindas perempuan, terutama perempuan pekerja. Dalam corak sistem yang kapitalis semua iniuntuk kepentingan reproduksi tenaga kerja. Namun, agar penindasan itu tidak terlaluterpampangmaka kapitalisme butuh hegemoni berupa berbagai konstruksi sosial dan kultural agar perempuan dan masyarakat bukan hanya menerimanya namun juga membelanya. Salah satunya dengan cara pengagungan terhadap "Ibu". Bahkan, sampai menyerupai kultus terhadap keibuan./ibuisme—dimana gelar Ibu dianggap sebagai panggilan kehormatan namun ada cerminan kesenjangan atau ketidak setaraan dalam istilah itu.
Semisal panggilan Bu RT, Bu RW, Bu Walikota, Bu Gubernur, dll yang bisa dipertukarkan dengan nama suaminya, tak lain merupakan penempatan perempuan sebagai properti/barang milik suaminya atau kepanjangan dari jabatan suaminya. Dengan demikian,kita harus melek dengan tidak terjebak pada romantisme terlebih kepada ilusi. Pengagungan terhadap keibuan melanggengkan domestikasi perempuandan hal tersebut justru memperkuat seksisme dan penindasan terhadap perempuan
Hari Ibu dan Masa Kini
Berpijak pada bagaimana sejarah Hari Ibu, penulis menggaris bawahi untuk kemudian kita maknai bahwa perjuangan perempuan sejak masa kolonial adalah untuk ikut serta berperan secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan pada masa itu mempunyai kesadaran perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah organisasi perempuan. Mereka melihat bahwa untuk berjuang mengangkat derajat dan hak perempuan, tidak cukup dengan berjuang sendiri-sendiri.
Sayangnya peringatan Hari Ibu masa kini mengalami pergeseran makna dalam sejarahnya. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih sayang kepada ibu secara lahiriah. Peranan ibu yang dimaknai disini hanyalah sosok ibu secara domestik bahkan dianggap memiliki kodrat mengurusi keluarga, membangun rumah tangga yang harmonis, menyediakan makanan, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Banyak poin-poin esensial yang terlupakan dan isu-isu ketidak adilan gender tetap terabaikan. Kita bisa melihat betapa perempuan masih menjadi objek peruntuhan dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak atas apapun, bahkan atas tubuhnya sendiri. Sangat jelas perempuan sering menjadi objek seksualitas sehingga tidak ada perlindungan dan rasa aman untuk dirinya. Beban domestik dan sosial, pemerkosaan, meningkatnya angka kematian ibu melahirkan, hingga upah yang lebih murah bagi buruh perempuan adalah model kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan hari ini.
Banyak generasi penerus tidak memahami makna dari Hari Ibu itu sendiri. Alhasil, peringatan Hari Ibu hanya seremonial budaya tanpa muatan semangat perjuangan kaum perempuan itu sendiri. Hal yang perlu dimunculkan sekarang adalah mengembalikan kodrat alamiah perempuan sebagai manusia yang tidak dibedakan dari laki-laki. Nilai-nilai itu tidak hanya sebatas peran perempuan dalam wilayah budaya secara umum dan domestik secara khusus. Akan tetapi, keikut sertaan perempuan dalam setiap dimana keputusan itu dibuat.
Kita tidak perlu lagi merayakan Hari Ibu jikalau perayaan itu justru malah memperkuat domestikasi perempuan dan melanggengkan seksisme. Apa yang kita butuhkan adalah merekonstruksi ulang tatanan sosial-budaya, membentuk relasi-relasi yang dibangun atas dasar kesetaraan gender, melanjutkan cita-cita perempuan Indonesia untuk bebas dari kungkungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, membebaskan perempuan dari budaya patriarki, serta pembebasan seluruh rakyat dari imperialisme ekonomi politik yang masih ada sampai sekarang.
Komentar
Kirim Komentar