Berbicara Mengenai Meme "Open Minded Starterpack"

Ngomongin Soal Meme "Open Minded Starterpack"
Yosi Amelia Putri
Tulisan ini berangkat dari kebingungan penulis terhadap sebuah meme yang saban hari melintas di beranda media sosial. Di dalam meme tersebut terdapat konten yang berisi tentang "Open Minded Starterpack" yang bertuliskan aspek-aspek seseorang bisa disebut sebagai orang yang sudah open minded, di antaranya seperti berbicara menggunakan bahasa inggris, dukung LGBTIQ+, ateis, feminisme, sekuler, liberal, dukung partai PSI, dan lain sebagainya.
Hal yang menjadi poin dalam pembahasan ini adalah terhadap berbagai macam stereotype, label, serta stigma-stigma negatif yang sering muncul di dalam masyarakat pengguna internet. Orang-orang di internet seperti mempunyai suatu behaviour suka mengadopsi istilah-istilah baru seperti yang disebut di atas tadi sehingga istilah-istilah tersebut menjadi over use yang akhirnya jadi bergeser dari makna sebenarnya dan seringkali dijadikan bahan olok-olokan. Masih segar di ingatan penulis ketika salah seorang teman mengolok-olok dengan sebutan "open mindmapping" (ini benar, 'mindmapping' bukan kesalahan penulisan). Waktu itu ketika penulis sedang berusaha menjelaskan tentang urgensi RUU PKS di kelas beberapa waktu lalu.
Fenomena ini terjadi karena kita sebagai manusia sering kali mengotak-ngotakkan orang yang mana yang namanya manusia itu hidup dengan segala kekompleksan berpikirnya. Salah satu bukti tersebut sering penulis temui saat Pilpres 2019 lalu. Jika mengkritik paslon 01, orang-orang akan langsung bereaksi dengan melabeli si pengkritik tersebut dengan sebutan "kampret", begitu pula jika sebaliknya. Dalam hal ini, seakan-akan si pengkritik itu tidak bisa exist in beetween. Hal ini terjadi karena adanya kekakuan masyarakat dalam melihat seseorang, kemudian bertendensi untuk melabeli dan meletakkan seseorang dalam suatu "kotak tertentu". Hal inilah yang mengakibatkan munculnya stereotype-stereotype seperti ini.
Sebenarnya, penting untuk kita memahami sebuah istilah baru sebelum kita memutuskan untuk memakai istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi jika tidak paham dengan istilah yang sering kita gunakan, lama-lama jadi over use, akhirnya istilah tersebut artinya jadi lose dari kata awalnya. Seperti penggunaan kata SJW (Social Justice Warrior), toxic, open minded tadi, cebong-kampret, dan lain sebagainya.
Open minded adalah orang yang menerima banyak ide, banyak argumen, banyak informasi yang tujuannya adalah untuk membuat penilaian yang menyeluruh, dan keputusan yang lebih adil dan efisien. Selanjutnya, orang yang open minded itu yang bisa empati dan menempatkan dirinya di posisi orang lain walaupun mereka tidak berasal dari kelompok tersebut dan tidak pernah mengalami hal serupa. Selain mereka juga mencoba untuk mengerti berbagai sisi atau pandangan, mereka juga melihat suatu narasi atau isu dengan cara yang tidak kaku. Untuk itu, penting untuk memperbanyak referensi dalam proses pembelajaran manusia untuk tumbuh dan menjadi bijak dalam membuat better judgement decision.
Menjadi orang yang berpikiran terbuka untuk beberapa alasan memanglah sulit. Hal ini bisa terjadi karena manusia itu senang hidup dalam sesuatu yang simple, suatu dogma yang lebih mudah untuk dimengerti. Mengotak-kotakkan sesuatu supaya lebih mudah untuk diimajinasikan. Fenomena yang tidak mau menantang diri, menantang status quo. Akibatnya, jika ada seseorang yang mencoba untuk mulai membicarakan hal-hal yang tabu, hal-hal yang bertolak belakang dari dia, orang tersebut akan langsung dicap sebagai orang yang tidak taat, orang yang liberal, sekuler, kafir, toxic, SJW, dan langsung menjadi musuh masyarakat. Sudah saatnya kita membahas hal-hal yang tabu, hal-hal yang kontroversial, dibicarakan dan dibiasakan supaya orang-orang yang tidak mau dipaksa untuk teredukasi.
Menjadi open minded erat kaitannya dengan being tolerant. Ternyata, definisi toleransi yang sebenarnya itu ada banyak, dan setiap individu juga punya definisi ideal yang pas untuk mereka dan itu wajar-wajar saja. Standford University, mengelompokkan empat tipe toleransi.
Pertama, Permission Conseption. Dalam suatu masyarakat ada yang mayoritas dan minoritas. Dalam teori ini, si mayoritas menolerir si minoritas dengan syarat si minoritas mengakui kesuperioritasan si mayoritas dan mengakui bahwa merekalah yang inferior. Dalam teori ini, si minoritas ini tidak punya peran yang signifikan dalam bidang politik atau bidang yang lebih besar lagi.
Kedua, Coexisten Perseption. Teori ini bisa dibilang berlaku untuk beberapa kelompok. Contoh, dalam kelompok yang secara garis besar sama-sama kuat, setara secarapowerdan kuasa. Bentuk toleransi mereka itu kesalingan. Tapi, sewaktu-waktu antara kedua kelompok besar ini akan ada dari mereka yang merasa paling mayoritas. Akibatnya, akan timbul rasa paling superior dibanding kelompok lain.
Ketiga, Respect Conseption. Teori ini berlaku ketika berada di dalam public space. Bentuk toleransinya adalah percaya pada beberapa nilai-nilai yang umum dan bisa dipercaya dan diterima oleh semua kelompok di masyarakat tersebut, akan tetapi nilai-nilai yang umum tersebut tidak boleh merujuk pada kepercayaan apa pun atau favoring ke satu kelompok saja. Teori ini dibagi menjadi dua, pertama Formal Equality, di mana keberagaman identitas personal hanya boleh ditempatkan di ranah privat saja. Hal seperti inilah yang terjadi di Prancis, di mana perempuan yang memakai hijab tidak diperbolehkan memakainya ketika berada di tempat kerja atau ranah publik. Kedua, Qualitatif Equality, sama dengan formal equality, tapi qualitatif equality menghargai ranah privat jika hal itu penting untuk si komunitas tersebut.
Keempat, Esteme Conseption. Dalam teori ini, semua orang itu tidak cuma harus menghargai satu sama lain, tapi mereka juga merasa bahwa perbedaan tersebut atau nilai-nilai tersebut juga memberikan manfaat yang baik untuk public space. Walaupun, mereka tetap merasa tidak setuju akan beberapa hal.
Berbicara tentang toleransi, mengingatkan kita dengan seorang filsuf Prancis pada era Pencerahan, Voltaire. Menurut teorinya, toleransi itu adalah agree to disagree.
"I might disagree with your opinion, but i am willing to give my life for your right to express it."-Voltaire-
Maksudnya, "Saya boleh tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi Saya akan membela mati-matian agar Anda berhak untuk mengungkapkannya."
Berangkat dari teori Voltaire tersebut, mengantarkan penulis pada teorinya Karl Popper mengenai toleransi. Teorinya adalah "The Paradox of Tolerance".
"Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance. If we extend unlimited tolerance even to those who are intolerant, if we are not prepared to defend a tolerant society againts the onslaught of the intolerant, then the tolerant will be destroyed, and tolerance with them."
Artinya, jika kita adalah orang yang tolerir, dan kita merasa harus menciptakan suatu masyarakat yang tolerir juga, kita tidak bisa menoleransi sesuatu yang intoleran karena kalau kita tetap membiarkan hal itu terjadi dan tetap ada di masyarakat kita, lama-lama masyarakat kita akan menjadi masyarakat yang intoleran juga.
Teori dari Karl Popper tersebut juga masuk akal di beberapa kasus, seperti contoh berikut, jika seseorang menolerir orang-orang yang patriarki dan misoginis, hal-hal serupa ingin menyuarakan kesetaraan gender tidak akan bisa tercapai. Jatuhnya malah menjadi kontra produktif dengan apa yang dilakukan.
Nah, kalau misalnya kita membicarakan tentang toleransi ini, batasannya apa sih seseorang sampai bisa dianggap kriminal/illegal? Ada teori lain, yaitu dari John Stuart Mill tantang "Harm Principle". Di sini, pembahasannya tentang negara dan authority yang isinya:
"Social disapproval or dislike for a person's actions isn't enough to justify intervention by government unless they actually harm someone."
Artinya, authority atau wewenang itu tidak boleh mengintervensi hanya sekadar kebiasaan atau budaya tersebut itu tidak disukai oleh masyarakat. Authority baru bisa intervensi jika hal tersebut sudah merugikan orang lain.
Untuk hal ini, contohnya mengenai kebebasan berpendapat. Tidaklah dilarang seorang manusia untuk mengeluarkan pendapatnya, namun apabila kebebasannya dalam berpendapat itu memiliki tendensi untuk menyelakai orang lain, barulah hal tersebut boleh diintervensi.
Dalam bermasyarakat, perbedaan identitas, dan nilai-nilai kehidupan seseorang adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Begitu pula dengan kebebasan berpendapat juga bukanlah suatu paham yang tanpa cela. Kalau kita mengharapkan utopia di mana semuanya ideal, tidak akan pernah ada. Akhirnya, tugas kita adalah menerima eksistensinya selama hal tersebut tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Bukankah segala bentuk perbedaan tersebut adalah harga yang harus kita bayar jika ingin mewujudkan demokrasi?
Komentar
Kirim Komentar