Demonstrasi Anarkis Menjadi Budaya Baru
Grafis oleh Mitha Melanie Putri
Afdal Putra
Demonstrasi yang dilakukan akhir-akhir ini memang menjadi pemberitaan baru setelah beberapa bulan ke belakang ini kita hanya disuguhkan dengan pemberitaan tentang virus Covid-19. Aksi demonstrasi beberapa hari belakang ini dilakukan oleh Mahasiswa, Buruh, dan Masyarakat dalam bentuk penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang ini dinilai lebih banyak merugikan rakyat dari berbagai kalangan.
Demonstrasi memanglah bagus dan sudah seharusnya dilakukan di negara demokrasi. Aksi demonstrasi ini ialah jalan untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan-tuntutan rakyat kepada pemerintah dan wakil rakyatnya. Namun, demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini dinilai telah banyak merugikan beberapa pihak, karena berujung anarkis. Demonstrasi anarkis yang terjadi seperti menjadi budaya baru saat ini. Dimana-dimana kita melihat di berbagai hamparan di republik ini, ujung dari suatu demonstrasi yaitu tindakan anarkisme. Padahal tindakan anarkisme dalam berdemonstrasi dinilai sangat jauh dari nilai-nilai jati diri bangsa.
Di beberapa wilayah, para pendemo turun ke jalan dan membakar atau merusak fasilitas publik, bahkan juga menyebabkan luka-luka. Jika kita menelaah dari aksi sebenarnya bertujuan baik, yaitu menyuarakan aspirasi rakyat. Namun sangat disayangkan, aksi mulia ini ternodai oleh hal-hal yang dinilai sebagai luapan emosi yang membara dan tak terkendali.
Menurut pendapat kapolri, Komjen Pol. Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, aksi demonstrasi ini sangat diapresiasi karena masih adanya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan yang ada. Ia juga mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dan terpengaruh tindakan anarksime. Selanjutnya, ia juga mengatakan jika terjadi tindakan yang tidak diinginkan baik itu dari massa maupun anggota polisi maka silahkan divideokan dan dilaporkan.
Sangat disayangkan bahwa demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana masyarakat menyampaikan opininya malah menjadi sarana untuk saling menyerang satu sama lain. Praktik demokrasi yang seharusnya dinjunjung dan dilaksanakan dengan baik agar tercapai tujuannya menjadi melenceng dari tujuan maupun fungsinya. Seharusnya, demo dilakukan secara kritis dan digunakan menyuarakan kebenaran bukan sebaliknya. Seharusnya, para pendemo tetap memperhatikan etika dan sopan santun serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dengan tertib, aman, damai, dan yang paling penting tidak anarkis.
Tindakan anarkisme ini dinilai menajadi salah satu indikasi faham hedonisme. Secara garis besar, hedonisme ialah pandangan yang menganggap kesenangan serta kenikmatan materi sebagai tujuan paling tinggi dalam kehidupan. Budaya hedon ini juga telah mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai contoh, gaya hidup konsumtif, free sex, penyalahgunaaan narkoba, dan juga bertindak anarkis. Sebagian orang sudah terbiasa melakukan hal tersebut tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan setelah perbuatan itu.
Kita sama-sama tahu bahwa para demonstran melakukan aksinya di depan publik. Hal ini tentunya akan menjadi sorotan dan stigma buruk bagi para demonstran itu sendiri. Publik lah yang menilai jalannya aksi demonstrasi tersebut secara langsung. Jadi, dapat disimpulkan bahwa demonstrasi merupakan salah satu sarana masyarakat untuk mengutarakan pendapatnya secara bebas dan juga merupakan cerminan dari demokrasi. Oleh sebab itu, hendaknya kita melaksanakannya sesuai peraturan yang ada sebagai rasa syukur kita karena telah diberikan hak kebebasan dalam berpendapat. Hak ini jangan sampai disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak baik seperti aksi anarkis yang menjadi budaya baru ini. Jangan sampai anrkisme memecah belah bangsa Indonesia.
Komentar
Kirim Komentar