Antara Perempuan, Perisakan, dan Guyonan
Grafis oleh Mitha Melanie Putri
Yosi Amelia Putri
Setiap orang lahir dengan membawa Hak Asasi Manusia (HAM), artinya HAM setiap orang telah ada sejak manusia itu lahir. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Namun, apakah itu semua sudah terlaksana dengan baik? Apakah perempuan dan tidak terkecuali laki-laki mendapatkan haknya sebagai manusia? Apakah kasus-kasus perundungan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas sudah sirna dari bumi Indonesia?
Sayangnya, itu semua belum lah terlaksana dengan baik. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2018 dalam Catahu 2019 mengalami peningkatan yaitu sebesar 406.178 kasus naik sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2018) yaitu sebesar 348.446.
Selain meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Indonesia juga tercatat sebagai negara kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan. Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Angka murid korban bully ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD yang hanya sebesar 22,7%.
Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% didorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan.
Dari data pertama di atas, kita bisa melihat betapa daruratnya Indonesia akan HAM. Kekerasan terhadap perempuan lebih sering terjadi dibandingkan kekerasan terhadap laki-laki. Akan tetapi bukan tidak mungkin laki-laki juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh perempuan. Kebanyakan laki-laki enggan melaporkan kasusnya karena malu. Mereka takut dianggap 'kurang laki' ketika terbukti menjadi korban kekerasan.
Kasus perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual juga beragam. Mulai dari pelecehan seksual via telepon, mempertontonkan aktivitas seksual, pelecehan seksual melalui media sosial daring, pelecehan seksual secara verbal dan juga catcalling.
Contoh kasus pelecehan seksual yang mempertontonkan aktivitas seksual adalah kasus HS. HS, seorang perempuan warga negara Belanda, telah menjadi korban pelecehan seksual oleh pengemudi transportasi online Go-Car. Dalam pengaduannya kepada Komnas Perempuan, HS menceritakan memesan Go-Car pada tanggal 5 September 2018 sekitar pukul 09.10 WIB. Korban duduk di kursi belakang dalam perjalanan, dan sepanjang jalan sibuk mengirim pesan.
di HP-nya. HS curiga karena pengemudi sering kali kedapatan mengatur kaca mobil supaya dapat jelas melihat korban yang duduk di belakang sambil terus-menerus melihat korban.
HS maju dari tempat duduknya dan melihat pengemudi masturbasi. HS kaget dan langsung membentak pengemudi. Pengemudi memperlambat laju kendaraan dan pada saat itulah HS langsung membuka pintu dan keluar dari mobil. HS langsung membuat laporan di Polda Metro Jaya. HS juga melaporkan peristiwa ini ke pihak PT Go-Jek Indonesia dan mendapat tanggapan perusahaan telah melakukan proses pemanggilan dan membekukan akun pengemudi.
Selain pelecehan seksual, terdapat banyak lagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu, pelecehan seksual secara fisik, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Kasus-kasus seperti ini terjadi karena pelaku merasa ada relasi kuasa dan pelaku merasa superior dibandingkan korban. Pelaku melihat korban sebagai inferior dimana pelaku berkeinginan untuk memiliki, mendominasi, dan pada akhirnya menyerang korban entah itu nenek-nenek, anak-anak, teman, perempuan, atau ke sesama jenis sekalipun yang mana hal ini adalah kelakuan yang sangat tidak baik dan merugikan orang lain. Tolok ukur kejadian ini bukanlah dari apa yang sedang dipakai korban melainkan karena adanya relasi kuasa tadi. Kalau si pelakunya ini tetap merasa ingin mendominasi si korban, pun hal ini juga pasti akan terjadi.
Kemudian jika dilihat dari data kedua mengenai perundangan, kita juga tidak akan terlepas dari relasi kuasa tadi. Perundungan terhadap perempuan juga sangat sering terjadi di sekitar kita seperti, perundungan di tingkat sekolah, perundungan di tempat kerja, dan perundungan di tempat umum. Perundungan yang sering terjadi adalah di tingkat sekolah. Seperti contoh Kasus bully disertai penganiayaan terhadap siswi SMP Muhammadiyah Butuh, Poerworejo dari tiga orang siswa teman sekelasnya.
Tindakan bully tersebut bermula dari tersangka yang meminta uang terhadap korban, kemudian dilaporkan oleh korban kepada gurunya. Namun, jumlah yang dilaporkan tidak sama. Jadi tersangka meminta Rp2000,00 tetapi korban melapor ke gurunya bahwa tersangka meminta Rp20.000,00. Lantaran laporan yang tak sesuai itu, para tersangka kemudian melampiaskan kekesalannya dengan menganiaya korban. Tersangka bergantian menendang hingga memukul punggung korban menggunakan benda tumpul. Sebelumnya tiap pulang sekolah selama berbulan-bulan, buku dan pensil korban selalu hilang. Uang korban selalu habis, dan rok korban juga robek karena uang yang diambil paksa oleh pelaku. Kapolres Purworejo, AKBP Rizal Marito menjelaskan ketiga tersangka dikenakan UU perlindungan anak.
Kasus seperti ini hanyalah segelintir dari kasus perundungan yang ditanggapi dengan baik. Kita tidak bisa bayangkan berapa kasus-kasus yang belum diketahui oleh pihak keluarga atau pun sekolah. Jika pun sudah dilaporkan, belum semua ditangani dengan baik oleh pihak terkait. Tidak jarang hal seperti ini hanya dianggap sebagai candaan oleh guru. Mengapa pelaku bisa tertawa dengan cara mempermalukan orang lain, sementara sistem melindunginya dan hanya menandainya sebagai candaan? Dengan terjadinya hal ini, adanya satu faktor yang membuat korban enggan atau malu untuk melaporkan perundungan terhadap dirinya. Faktor itu adalah karena sistem melindungi pelaku dengan menganggap perlakuan tersebut hanya lah gurauan atau keusilan dari teman atau mungkin mereka sebenarnya sama tidak peduli dengan kasus tersebut. Mereka hanya lah oportunis.
Ada beberapa faktor yang membuat seseorang menjadi pelaku perisakan, mulai dari kurangnya pengetahuan akan hal terkait, keterampilan sosial yang buruk, cerminan emosi negatif atau rasa rendah diri, hingga trauma masa kecil dan banyak lagi. Atau bisa saja sebab mereka melihat peluang kepuasan atau kuasa pada orang lain melalui pengamatan mereka yang pasti pernah melihat atau mengalami perisakan berbasis gender, kemudian mencontohnya, mendapatkan manfaat dan kesenangannya hingga kecanduan olehnya. Namun apa pun itu tidak boleh dijadikan alasan untuk kita menjadi permisif atau kesempatan bagi siapa saja untuk merisak orang lain.
Untuk itu, sebagai manusia kita harus selalu menggaungkan hal ini agar tidak ada lagi perempuan, anak-anak, kaum marjinal, atau pun laki-laki yang dirugikan dan direndahkan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia yang utuh. Kita harus berani berkata benar dan melawan segala bentuk penindasan yang dilindungi dengan kata-kata "Santai, mereka hanya bercanda."
Komentar
Kirim Komentar