Jiwa yang Tentram

Ilustrasi Cerpen Jiwa yang Tentram
Shobrina Shifa Auliyah
Desa Mandola disesaki bunga rangkaian dan bunga papan sejak sehari kemarin. Jalanan dipenuhi orang-orang tua dan muda yang setia berdiri menahan sengatan matahari musim kemarau demi menyaksikan sepasang manusia yang sedang diarak di atas bendi berkuda empat. Layaknya batu sungai, mereka tetap semarak dan berdiri diam meskipun yang diarak sudah melewati dua per tiga jalanan desa penuh dengan bunga makam.
Arum yang berdiri di kejauhan untuk menghindari celaka dirinya akan terinjak, hanya menatap ke langit yang gelapnya menelan semesta. Ia takut tersenggol, tetapi ia juga menginginkan menggenggam entah-bunga-apa yang terserak di jalanan. Tidak ada yang menyenangkan dari peristiwa yang seperti ini meskipun manusia sekampung terlihat bersuka ria seolah presiden akan mampir barang sekejap saja. Tapak besi kaki-kaki kuda mulai terdengar tajam di telinganya, tanda bahwa arakan itu sudah sampai ujung, tempatnya berdiri, tempat perhentian terakhir. Hal yang ia dengar dari teman sejawat, balai desa mendadak dipenuhi bunga dan pita putih-hitam. Bapak Ketua berpakaian hitam dan Bapak Sukur berpakaian putih sudah menanti tamu mereka untuk diberi wejangan yang biasa didengar bocah-bocah ketika waktu mengaji tiba. Katanya meskipun senang membutai jiwa, duka menulikan hati, manusia desa Mandola harus kembali diingatkan Pelajaran yang mungkin telah dilupakan.
Arum tidak ambil pusing hal itu, ia sendiri sudah muak mendengar Poko dan Ma[1]bertengkar di meja makan hanya karena anak gadisnya yang semakin menua tak kunjung mandiri itu tidak mengindahkan Pelajaran di sanubarinya. Arum tetap tidak ambil pusing, toh kakak sepupunya yang tiga tahun lebih tua bahkan baru akan merantau dua hari yang akan datang.
"Ya masa kamu samakan jantan dan betina, Rum. Cepatlah kamu cari atau kami yang carikan." tukas Ma, selalu dengan kalimat yang sama.
"Tidak, tidak perlu," Arum benci perjodohan, lebih benci lagi jika ternyata dijodohkan dengan orang kenalan Poko. "Biar saya saja, Ma. Seperti rencana sebelumnya, biarkan saya pergi bersama Bayan ke kota. Mana tahu di sana aku menemukan apa yang kucari," jelasnya. Ia tidak perlu mempertegas bahwa yang ia katakan juga tidak jelas kepastiannya.
Biasanya Ma selalu membuang napas dengan keras diikuti dengan gedebuk panci yang keberapa, tapi tadi ketika pagi ia hendak pamit menghadiri arakan, Ma hanya mengelus puncak kepala Arum sambil berkata, "Mataku kutukar dengan ikhlas," pelan dan lirih seolah Ma sedang merapal mantra.
Batu-batu sungai itu ternyata telah berpindah. Mereka kembali ke aktivitas awal seraya menyiapkan festival besar sebagai kelanjutan rangkaian acara hari ini. Arum yang masih tegak tak jauh dari Balai Desa mencoba mendekati sumber suara. Ia berjalan memegangi pagar bambu yang sengaja dipasang orang sekampung demi Arum yang menjadi kasus aneh desa Mandola. Ia tidak keberatan dengan hal itu, tapi memikirkan bahwa khalayak menilainya sebagai orang yang patut dikasihani, membuat hati kecilnya ingin sekali membakar satu desa, tapi tidak pernah ia lakukan demi Pelajaran.
Pada batu besar di dekat ruangan pertemuan, Arum duduk sambil melipat kakinya ke dada. Untung saja panitia penyelenggara berbaik hati membiarkan mikrofonnya terdengar sampai ujung desa. Arum tidak perlu mempertontonkan kemalangannya dengan cara membuat orang di dalam kesulitan memberinya ruang gerak yang luas agar tidak menabrak siapa dan apa.
Langit gelap lagi-lagi mengimpitnya dengan semangat, membuat degup jantungnya meningkat seiring semilir angin dan rangkaian kata Pak Sukur yang menjadikan hatinya bergetar. "Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku."
Ah, benar. Jiwa manusia itu tidak ternilai harganya.
"Arum memang selalu seperti ini ya," usik suara laki-laki dan Arum mengenali siapa itu. Ia perbaiki posisi duduknya dan bergeser agak menjauh, Bayan jelas akan duduk di sampingnya seperti kebiasaan.
"Kau hendak pergi, mengapa tidak dilanjutkan saja persiapanmu itu?"
"Lah? Kau sendiri? Poko dan Mamu sudah setuju?"
"Itu urusanku. Iya atau tidak pun jawabannya, barang tetap akan aku kemas."
Bayan tidak membalas lagi. Arum tidak tahu apa yang kakak sepupunya lakukan karena mereka berdua sepakat untuk kembali menyimak Pelajaran dari Pak Sukur yang mulai mewarnai suaranya dengan tangis. Ia hanya sedikit terganggu karena aroma udara jadi bercampur keringat Bayan yang sepertinya selepas dari membantu Poko.
"Rum,"
Arum tahu panggilan itu hanya keisengan Bayan untuk memecah sunyi, tapi ia tidak membalasnya dengan suara sekecil apapun.
"Nanti malam temani aku makan di warungnya Saripa, katanya khusus malam ini lauknya spesial."
"Pergi dengan Atik saja," ujar Arum keras. Bayan jadi tidak berujar lagi dan memilih diam seolah ia sedang menyusun rencana di balik otaknya yang hanya Tuhan tahu seberapa hebat ia.
Bau keringatnya menghilang, begitu pula dengan batang hidungnya sehari kemudian.
***
Kardus baju dan barangnya sudah tersusun rapi di sebelah pintu kamarnya. Setelah perdebatan panjang selepas jamuan makan tengah malam di ruang keluarga rumahnya, Poko, Ma, dan Arum kurang Bayan melingkari meja tamu dan berdebat sejam penuh. Kepergian gadis itu terpaksa Poko setujui. Ia tidak tahan mendengar nama Bayan yang dijadikan sebagai jaminan anak gadisnya pergi ke kota untuk mencari seseorang, tapi ia juga sudah kepalang percaya pada anak muda yang sudah dipercayanya dari bocah.
Pagi itu Ma membawa sepiring besar sup daging dari dapur umum desa dengan raut wajah gembira, pasalnya kami memang jarang memakan benda mahal itu. Peristiwa yang seperti inilah satu-satunya harapan desa Mandola mencicipi bagaimana kenyangnya perut orang kota. Namun, Arum yang melihat piring dengan uap yang masih mengepul mengerutkan keningnya dan lebih memilih lauk semalam.
Poko dengan tangan basah setelah mencuci tangan memanggil seluruh penghuni rumah untuk berkumpul di meja makan. Bayan yang baru muncul batang hidungnya keluar kamar dengan pakaian rapi siap untuk keluar langsung duduk di sebelah Poko. Ia lalu meletakkan plastik berisi lauk ikan di atas piring kosong.
"Dari Saripa," ungkapnya bangga. Arum hanya mendongak ke arahnya dan mengangguk. Tak perlu senyum padanya jika tidak ada yang bisa dilihat, batin Arum.
Ma selesai membagi sup ke atas tiga piring dan ayam kecap di piring Arum. Poko langsung memimpin doa makan dan empat manusia di bawah atap seng itu mulai menyantap dengan tenang. Arum jelas tidak peduli apakah ia makan dengan lauk ayam atau ikan. Ia pasrah saja dengan apa yang diberi Ma asal tidak sup di pagi itu, tapi Bayan sepertinya memaksanya mencicipi apa yang ia bicarakan tadi malam.
"Kau sisihkan saja sedikit untukku, sepertinya yang paling ingin makan ikan itu adalah kamu, Bayan." Bayan bersungut sebal, namun ia tetap menyisihkan sebelah kanannya ikan dan meletakkannya di pinggir piring Arum.
"Mereka telah dibersihkan, bukan?" timpal Poko. Arum yakin tujuannya untuk Ma jadi dia hanya diam dan melanjutkan suapan.
"Ya, sampai sepuluh kali," jawab Ma pelan. Arum tidak mau memikirkan hal itu meskipun gambarannya sudah terlalu jelas di benaknya.
"Semoga bumi dan langit menerima jiwanya yang kembali suci."
"Amin." Bayan dan Ma menyahut serempak. Arum mengaminkan dalam hatinya, mulutnya sibuk mengunyah, ia juga sangsi kedua hal itu mau menerima.
"Besok kalian berhati-hatilah di atas bus," Bayan yang sadar Poko sekarang berbicara dengannya mengangguk dengan semangat karena mulutnya sudah kemasukan makanan. "Bus jam tujuh pagi, bukan?"
"Ya, Poko. Tenang saja, aku sudah memastikan semua yang akan dibawa."
"Dirimu sendiri bagaimana?"
"Aku aman, Poko."
"Matamu?"
"Tidak ada yang salah, Poko."
Mendengar kalimat terakhir Arum, lingkaran meja makan kembali hening. Hanya helaan napas Ma yang sengaja dikeraskan seolah jadi jalan terakhir bentuk protesnya pada putusan akhir nasib gadis semata wayangnya.
"Kau jaga dia Bayan."
Bunyi sendok makan Bayan tanda dirinya selesai mempertegas tekadnya. "Akan dijalankan sepenuh hati, Poko."
Entah mengapa Arum tidak suka kalimatnya. Ia menyelesaikan makan, merapikan bekasnya tadi, membawa piring dan gelas ke tempat cuci piring, lalu kembali ke kamar seolah beberapa menit yang lalu dirinya tidak sedang makan bersama di atas meja makan.
Ia hanya ingin cepat kabur dari jangkauan aroma dan uap yang entah mengapa masih mengepul liar pada imajinya. Matanya tidak pernah melihat rupa dan warna dari makanan berkuah kental bernama sup daging itu, namun ia tahu dari mana bahan pokoknya berasal dan ia merasa berdosa dua tahun masa kecilnya yang tidak tahu apa-apa mengungkapkan bahwa hidangan itu enak. Arum hanya sibuk memutar ulang Pelajaran yang ia dengar kemarin sambil memainkan air botol minumnya.
"Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku."
"Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku."
"Arum!"
"Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku."
"Arum! Saripa mengajakmu ke warungnya nanti malam, katanya dilarang menolak."
"Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku."
"Arum!"
Tok…tok…
Gadis itu tersedak ludahnya sendiri, ia panik mencari sumber suara dan malah melotot kesal ke arah pintu yang sudah terbuka oleh Bayan yang menatapnya dengan raut muka senang.
"Katanya harus datang," laki-laki itu menyodorkan ponselnya ke arah Arum seolah ingin menguatkan ajakan Saripa si pemilik warung makan.
"Aku sudah katakan ketuk dulu sebelum masuk Bayan! Asal sebentar aku pergi ke sana."
Bayan hanya tersenyum sumringah tanpa memikirkan kesalahannya tadi, hanya berlalu menjauhi kamar Arum seolah kehadiran tidak diundangnya tadi tidak pernah terjadi.
Tidak ada salahnya juga kali ini ia menghadiri ajakan, mana tahu Saripa menyisihkan dagangannya untuk bekal selama perjalanan. Bayan juga telihat senang terlepas dirinya yang lebih tua tiga tahun hanya karena kali ini Arum berhasil diajak pergi main. Ia bukan bocah lagi, tapi Bayan masih memperlakukannya demikian. Selama ini yang menggantikan popok Arum semasa bayi dulu memang laki-laki itu, tapi ia tetap tidak menerima masih diperlakukan seperti dulu. Sekar Harumi sudah berusia tiga puluh tahun dan siap untuk ke kota esok hari, ia menepis kenyataan kondisi matanya yang malah semakin mengubah tingkah laku Bayan.
Seburuk apapun jiwa, ia pasti akan dibersihkan jua.
***
Kaki lecetnya membuat Arum mengaduh sepanjang perjalanan entah kemana ia menuju, yang ia tahu hanya lari. Lari dari laki-laki gila. Lari dari laki-laki gila bernama Bayan itu!
Air mata yang dipercayainya telah mengering terjun bebas dari pelupuk mata lebam bekas perlawanan. Pipinya berdenyut panas. Lutut yang ia paksa berlari bagai agar-agar yang siap meleleh kapan saja. Tidak! Tidak! Berhenti maka aku akan mati!
Isaknya mengular sepanjang perjalanan yang ia yakini kini telah menembus ke tengah hutan, karena tanpa ia sadari tadi lauknya telah dicampur obat-obatan.
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
Bajunya yang nyaris koyak berusaha ia eratkan ke tubuh sambil terus berlari. Pikirannya penuh tangis dan umpatan dan pujian yang berhimpitan seolah ingin meminta perhatian mana yang hendak didahulukan. Perih kakinya terasa semakin memanjang. Sedih hatinya mengingat kembali salam Poko dan Ma semalam. Umpatan penuh amarah untuk bajingan yang selama ini hanya mengulur waktu. Pujian untuk hatinya agar tidak tercemar. Arum tidak tahu yang mana, ia hanya tahu lari menembus semak belukar. Jika hilang nanti bisa dipikirkan bagaimana mencari jalan pulang, Bayan menjadi ayan dan Arum takut jika tangannya kembali menggerayang.
Ia masih lega orang gila itu belum melakukan apa-apa karena ia sudah sadar dan menghantam wajahnya dengan tendangan. Ia lebih lega lagi mendapati pisau masaknya masih terbungkus rapi di belitan pinggangnya.
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
"Seburuk-buruknya jiwa, pasti akan dibersihkan!"
Bruk…
Suara mengaduh keras keluar dari mulut Arum yang langsung di posisi janin. Jemari yang ditugaskan untuk memeriksa kaki merasakan cairan basah yang hangat beserta robekan luas di sebelahnya. Ia mengaduh lagi, tetapi ketika dirinya mendengar suara gemerisik yang semakin berisik kian mendekat, tubuhnya langsung berdiri tegak. Kakinya berusaha bergerak selangkah dua langkah tiga langkah, namun tampak seperti tidak ada perubahan.
"Kita berjumpa lagi Arum."
Dan itu sukses membekukan darah sang gadis. Kakinya yang perih dan berdenyut parah, patah pondasi, memberikan suara berdebum keras, disusul jeritan sepenuh hati Arum.
Jalan buntu, wahai Pak Sukur.
***
Gemerisik daun dan semilir angin serasa menghantarkan celaan di telinga Arum yang menuli sedemikian rupa. Deru mesin bus, bau keringat bercampur tembakau, dan bau iler bantalan kursi semakin mematikan indera penciumannya. Matanya menatap nanar ke arah pemandangan yang berlalu cepat di luar sana seakan tak peduli dengan waktu yang sedang berjalan di dalam sini.
Pagi tadi ia tergopoh-gopoh dengan pincang ke dalam rumah yang disambut Poko dan Ma dengan air muka kaget, tapi ia suapkan cerita tentang dirinya yang terjatuh di tanah sampai kedua orang itu mau menelan bualan Arum bulat-bulat. Melihat kerut kening mereka ketika gadis itu bercerita Bayan telah pergi duluan secara diam-diam menjadikan rasa bersalah dalam dirinya kembali membuncah. Ia harus menekannya, hal-hal itu hendak memunculkan tunas dan Arum harus segera memangkasnya segera.
Ia sibuk menggumamkan Pelajaran, berulang-ulang, seolah-olah menjadi mantra agar jiwanya kembali tentram. Tapi ia tidak tentram!
Punggungnya memanas oleh Bayan. Telinganya memanas oleh cercaan. Kepalanya memanas oleh bayangan. Semua hal itu hanya ada dalam imaji Arum yang makin liar.
Ia hanya membawa sebelah kanan Bayan, sama seperti ia menyisihkan sebelah kanan ikan. Bagian besarnya ia tinggalkan di dapur desa dan dapur Saripa, biar orang mengira Saripa yang sama bajingannya-lah yang melakukan hal itu.
"Ya, ini semua bukan masalahku. Yang memulai bencana ini mereka berdua. Aku korban. Ya, aku korban."
Langit hitam seolah ingin menimpanya dengan beban, air matanya meleleh di pipi kiri bersama dengan lelehnya seluruh pikiran otaknya yang berkecamuk. Badai dahsyat itu mencoba kembali melumpuhkan pijakannya dan Arum bingung ke mana hendak memijak.
Di sela tangis yang ia tahan setengah mati, mulutnya dengan gemetar merapal mantra Pak Sukur. "Jiwamu tidak patut dihargai manusia, Wahai Anak-anakku,
…Dan kamu terbebas dari rasa sesal akibat terlepas dari maut akibat pembelaan."
"Pem … pembelaan. Ya, pembelaan. Hahaha." bibirnya semakin gemetar.
Ya… seburuk apapun jiwa, ia pasti akan dibersihkan jua.
Arakan itu semakin ramai disambut orang, festivalnya semakin meriah dipenuhi tarian dan nyanyian, lauk makan malamnya semakin beragam. Tangisannya semakin memilukan.
Apanya yang dibersihkan? Apanya yang tentram?
Tamat!
[1]Poko dan Ma: ayah dan ibu
Komentar
Kirim Komentar