Sasuku

Ilustrasi: Akibat Kawin Sasuku
Yeni Maharani
"Ambo ka manikah samo Luma! Satuju indak satuju, ambo tetap ka manikahi Luma. Ambo ndak ka manuruiki adat tu do!" Bentak Rinan.
Kakak laki-lakiku satu-satunya. Rumah tak lagi menjadi tempat yang menghadirkan bahagia bagiku dan orangtua. Setiap hari bapak dan ibuk mendidik dan menegur kami dengan baik meski kami selalu bertengkar dan saling iri. Bagiku ia tetap kakakku, aku menyayanginya. Aku merasa merekalah yang paling berharga bagiku dibanding apapun di dunia ini.
Uda adalah kakak yang baik meski terkesan sedikit keras. Namun ia berubah semenjak mengenal sosok Luma, gadis yang sangat dicintainya dan paling penting dalam hidupnya dibanding aku, bapak dan ibuk, sesuai ucapannya waktu itu. Sudah 1 tahun Uda mengenal Luma, meski kami tak terlalu menyukai Luma karena perilaku Luma yang agak kurang sopan dan terlihat angkuh, namun Uda gigih mengatakan Luma terbaik untuknya. Ia sangat mencintai Luma.
Hingga hari itu datang, Uda mengatakan akan segera menikahi Luma, tak peduli perkataan ibuk dan bapak. Sebelumnya ia pernah mengatakan bahwa ia memiliki suku yang sama dengan Luma. Sudah jelas kami sekeluarga menentang hal itu dan mencoba mengingatkan pada Uda Rinan bahwa pernikahan sesuku tidak boleh terjadi. Di Minangkabau jika ada yang menikah dengan suku yang sama, maka akan dapat ganjarannya, seperti rumah tangga selalu bertengkar, tidak memiliki keturunan, serta jika punya anak, maka akan menderita kekurangan secara fisik atau keterbelakangan mental.
"Masa bodoh samo adat," ungkap Uda Rinan. Meski adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti adat berdasarkan islam, islam berdasarkan Alquran di adat Minangkabau, menikah satu suku dilarang dan merupakan pantangan. Namun, dalam islam tak ada yang melarang hal itu, yang dilarang hanyalah saudara pertalian darah. Uda menjelaskan itu pada kami. Bapak merupakan datuak sebuah suku di kampung dan pastinya sangat menjunjung tinggi adat dan juga disegani oleh masyarakat. Lalu ia menegaskan, "Apo yang wak ang ambiak dari Luma tu, kok mode iko bana ang?"Uda Rinan menjawab "Kalau apak jo ibuk indak satuju, ambo barangkek! Ambo bisa hiduik surang!" ujarnya.
Uda Rinan akan menjadi buah bibir orang sekampung dan tidak akan diterima lagi di kampung karena adat di kampung kami sangat melarang hal itu. Ibuk pun sudah mencoba membujuknya, namun Uda Rinan bersikeras dengan keinginannya.
Pagi itu Uda Rinan langsung berangkat dari rumah tanpa meminta izin lagi pada bapak dan ibuk. Ia meninggalkan surat bertuliskan "Pak, Buk, Diak, ambo pai lai, ambo tau kalian indak suko jo Luma, tapi ambo ka manikah juo samo Luma, kalo kalian labiah mamantiangan adat daripado kebahagiaan anak sendiri, pakai bana lah adat tu."
Rinan menikah dengan Luma di luar daerah dengan direstui oleh keluarga Luma yang tak mempedulikan adat dan larangan menikah sesuku. Baginya hal itu hanya mitos. Setelah satu tahun menikah, mereka hidup seperti orang biasa dan bahagia. Rinan memang memiliki gaji yang besar, sehingga Luma dengan mudahnya menghabiskan uang tersebut. Luma memang angkuh, sering belanja, arisan dan memfoya-foyakan uang. Sibuk dengan arisan hingga memasak pun tak lagi dia sempatkan untuk Rinan. Rinan tak pernah curiga, ia hanya tahu istrinya sesuai apa yang ia kenal selama ini, namun semua itu hanyalah tipu daya Luma yang tidak diketahui Rinan.
Suatu hari kemalangan menimpa Rinan. Ia diberhentikan dengan tidak hormat oleh bosnya karena hasutan dari rekan kerja yang iri padanya. Akhirnya Rinan harus kesana-kemari mencari kerjaan, namun tidakj kunjung dapat. Keuangan yang semakin menipis membuat Rinan harus berhemat, tapi Luma tidak peduli, ia masih saja berfoya-foya.
Setelah mendapat pekerjaan baru, Rinan mendapat gaji yang lebih kecil dibanding dengan sebelumnya. Beberapa bulan setelah itu, mereka dikarunia anak, namun anaknya memiliki keterbelakangan mental dan juga bisu. Luma tidak terima dengan kenyataan itu, dia tak mengakui itu anaknya. Rinan pun mencoba membujuk Luma, akhirnya Luma merawat anak tersebut meski dengan cara yang berbeda. Ia tak pernah memberikan ASI pada sang anak, ia hanya berikan air nasi. Si anak yang diberi nama Timah itu sudah menginjak usia 6 tahun. Kehidupan mereka semakin sulit, gaji Rinan tak lagi mencukupi kehidupan mereka. Ia harus lembur kerja yang lain agar bisa menafkahi keluarganya. Meski Timah memiliki kekurangan, namun Rinan sangat menyayanginya, tidak dengan Luma yang sering membiarkan Timah tidak makan, bahkan memukulinya ketika di belakang Rinan.
Semenjak Timah kecil, ia tak tahu seperti apa rasanya disayangi dan kasih sayang dari seorang ibu, ia tak pernah sedikitpun dianggap anak oleh Luma. Suatu malam Rinan pulang lebih awal dan terkejut melihat Timah yang terbaring lemas di lantai. Istrinya tidak ada di rumah dan makanan pun tidak ada yang dimasak sehingga Rinan memasak dan merawat Timah hingga Timah sadarkan diri. Timah pun memperlihatkan wajahnya yang sayu pada bapaknya dan ingin menceritakan sesuatu tapi tidak tahu bagaimana caranya.
Rinan pun akhirnya menemukan hal yang tak biasa. Istrinya Luma sering menghabiskan waktunya untuk berkumpul dengan arisan teman-temannya dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan. Rinan pun memarahinya, tetapi selalu dijawab oleh Luma "Kalau bukan karena mau uang kamu aku takkan hidup miskin begini".
Rinan kaget mendengar hal itu terlontar dari mulut orang yang selama ini ia cintai dan percayai. Ia hanya diam, meredam amarah. Keesokan harinya Rinan kembali bekerja hingga malam. Timah yang sudah sembuh membantu membersihkan rumah semampunya meski tak jarang pukulan Luma masih menimpa kaki dan tangannya. Malam itu Rinan tak pulang, ia harus bekerja sampai pagi karena hari itu menerima gaji. Sementara Luma memanfaatkkan waktu itu bersama teman laki-laki yang ia kenal beberapa bulan lalu. Laki-laki itu selalu menjemput Luma tiap sore. Hal ini pun diketahui Timah, tetapi dia hanya bisa diam dan menagis melihat kelakukan ibunya.
Desas-desus tetangga pun sampai ke telinga Rinan, namun ia tak percaya karena ia tahu Luma sangat mencintainya. Timah mencoba untuk mengatakan ini pada bapaknya, namun selalu saja ibunya mengancam dan dipukuli berkali-kali.Suatu hari tetangga Rinan, Bu Retno berkunjung ke rumahnya dan mendapati Luma bersama laki-laki lain. Ia curiga dan mencari tahu hal tersebut. Dengan menanyakan pada Timah melalui bahasa isyarat dan menuliskan di atas kertas, Timah menyampaikan bahwa ini sering terjadi, tapi dia tak tau cara mengatakannya pada bapaknya.Akhirnya Rinan mengetahui hal tersebut dan sangat kecewa terhadap istrinya. Meskipun begitu, Luma selalu mengelak, ini tidak benar.
Rinan tidak lagi mempercayai Luma, ia harus terus bekerja dan membiarkan anaknya dipukuli. Pertengkaran terus terjadi, hingga tak terelakkan lagi setelah didapati langsung Luma membawa laki-laki lain ke rumah. Rinan sangat marah dan akhirnya Luma membentaknya, "Aku tak kuat hidup seperti ini terus dengan kemiskinan dan dengan anak macam itu, aku muak!" Kejadian dan pertengkaran terus terjadi, Luma sering keluyuran hingga malam dan tak terkendali lagi hingga Rinan jatuh sakit.
Timah mencoba merawat bapaknya dan pada suatu malam sebelum Timah tertidur di dekatnya. Rinan menuliskan surat untuk dikirimkan pada keluarganya di kampung yang berisikan bahwa dirinya keras kepala selama ini dan karma akibat dia menentang adat itu ternyata terjadi dan membuat dirinya tersiksa. Ia mengakui telah salah dalam memilih istri dan meminta maaf pada bapak, ibu, dan adiknya karena telah melanggar pantangan adat tentang menikah sesuku. Dia juga berpesan pada adiknya untuk menjaga Timah agar dia hidup bahagia. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Rinan berpesan pada Timah untuk menjaga ibunya dan jangan pernah menentang adat seperti dirinya.
Luma, istrinya yang baru pulang sehari setelah Rinan meninggal, terkejut dengan kabar Rinan pergi secepat ini. Laki-laki lain yang dia sering bawa ke rumah pun mencampakkannya karena ia memilih keluarganya dibanding Luma. Pada kenyataannya laki-laki itu adalah teman kerja Rinan yang membuat Rinan dipecat dulu. Ia berambisi menghancurkan keluarga Rinan. Akhirnya Luma frustasi, tak ada lagi uang, tak ada lagi makanan, keluarganya pun berada jauh dan tak sanggup membiayainya karena mereka juga hidup pas-pasan. Luma yang angkuh tidak tau lagi cara mendapatkan uang dari mana, anaknya pun sudah dibawa oleh keluarga Rinan.
Luma hanya mengurung diri dan berpikir ternyata selama ini benar larangan adat bahwa menikah sesuku takkan baik dan akan beroleh keburukan. Dia stres dan tidak makan selama 2 hari. Ia juga tak berganti pakaian layaknya orang tidak waras, mencari makanan di jalanan, dan menyebut-nyebut kalimat "Dek ulah sasuku, sasuku".
Itulah akhir dari kehidupan Uda Rinan yang sempat aku ketahui. Masih teringat bagaimana perjuangan mereka untuk bisa bersama dan menjalin hubungan keluarga yang tak direstui adat dan kini ia menelan pahitnya. Meski ditemani seorang anak, namun anak itu mengalami kecacatan fisik ulah dirinya dan Uda Rinan yang meremehkan adat yang berlaku.
Komentar
Kirim Komentar