Cinta Terlambat

Ilustrasi: Cinta Terlambat
Diana Fitriya
Tapi saat semuanya berubah
Kau jauh dariku
Pergi tinggalkanku
Mungkin memang kucinta
Mungkin memang kusesali
Pernah tak hiraukan rasamu dulu
Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Tapi mengapa kini cinta datang terlambat
Cinta Datang Terlambat by Maudy Ayunda
Hari ini aku begitu bahagia, bukan hanya karna Yudisium-ku berjalan lancar tapi lebih karenapencapaianku mendapat IPK tertinggi di Fakultas Kedokteran tahun ini.
"Makasih ya mas, uda nraktir aku di restoran mahal," ucapkusetelah keluar dari mobil mas Rendi. Kini kita tengah berdiri di depan pagar rumah kos yang telah aku huni hampir empat tahun terakhir.
Mas Rendi tersenyum sambil mencubit pipiku, hal yang dia bilang telah menjadihobibarunya."Iya Sayang, sekali lagi selamat ya untuk kelulusan kamu." Mas Rendi menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang selalu membuatku nyaman.
"Aku mencintaimu Rhe, forever." Mungkin sudah ribuan kali aku mendengarnya dan ribuan kali pula hatiku seakan meleleh karenanya.
"I love you more."Aku membalas pelukannya tak kalah erat, menghirum aroma tubuhnya yang menenangkan.
"Rheananta!"
Aku melepaskan pelukanku dan seketika mataku bertemu dengan tatapan tajam yang hampir empat tahun ini tak kulihat.
"Fredy…." ucapku lirih tapi aku yakin mas Rendi bisa mendengarnya.
Aku membeku di tempat melihat tubuh tinggi tegap itu menatapku, sampai sebuah tepukan lembut mendarat di bahuku. "Rhe..." Aku beralih menatap mas rendi yang tersenyum manis padaku. "Selesaikan urusan kalian, aku pulang dulu." Kecupannya di keningku membuat ku sedikit tenang.
"Hati-hati," ucapku sambil melambaikan tangan.
Tatapanku kembali pada Fredy yang sekarang sudah berada di hadapanku, aku bisa melihat wajahnya yang tidak banyak berubah, tetap tampan dengan garis wajah tegas dan sorot mata tajam yang misterius, hanya saja rambutnya yang dipotong sangat pendek.
"Apa kabar?" tanyaku canggung.
"Seperti yang kau lihat." Tak ada gurat senyum di wajahnya, hanya ada kesan dingin disana.
"Bisakah kita bicara? Tapi tidak disini." Dia tetap sama, ajakannnya bagaikan sebuah perintah yang tak pernah mampu kutolak.
Aku hanya bisa mengangguk dan mengikutinya memasuki mobil. Sesaat suasana menjadi hening, Fredy tetap bungkam dengan pandangan fokus kejalan.
"Selamat ya...." Aku mencoba membuka obrolan. "Akhirnya kamu sekarang menjadi seorang perwira polisi."
Aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat walaupun sedikit, dia menatapku sejenak lalu kembali fokus ke jalan. Suasana kembali hening, aku memilih menatap keluar jendela menikamati sinar matahari senja yang mulai tenggelam, dan tiba-tiba sebuah sentuhan halus terasa di pipiku.
"Kau sekarang berdandan?"
Aku memutar kepalaku untuk menatapnya yang ternyata juga menatapku, dia tersenyum dan membuat sesuatu dalam diriku berdesir aneh.
"Awalnya hanya mengikuti teman-temanku tapi sekarang sudah mulai terbiasa," jawabku lirih.
"Kau terlihat semakin dewasa dan cantik."
Aku yakin sekarang wajahku tengah merona karena pujiannya, ditambah dengan tangannya yang masih membelai pipiku.
Ternyata Fredy membawaku ke pantai Ancol. Kita berjalan menyusuri jembatan kayu yang terhampar di sepanjang pantai dengan tangan Fredy yang terus menggenggamku erat.
Fredy tiba-tiba menghentikan langkahnya, matanya menatapku lekat dan kedua tangannya kini beralih menangkup pipiku. "Aku merindukanmu Rhe, sangat merindukanmu." Dia menarikku ke dalam pelukannya.
Jantungku berdetak tak teratur, desir aneh itu kembali muncul. Aku tahu ini salah, tak seharusnya rasa itu masih ada. Setelah dengan susah payah aku menghilangkan cintaku untuknya dan membangun cinta baru untuk Mas Rendi, kini tak akan ku biarkan semuanya rusak begitu saja.
"Aku juga merindukanmu," jawabku tanpa membalas pelukannya dan sepertinya dia menyadari itu.
"Rhe…." Fredy menggenggam kedua tanganku. "Aku yakin kau akan menganggapku konyol."
Keningku berkerut, sungguh aku tak mengerti dengan ucapannya.
"Aku mencintaimu."
Kalimat indah itu bagaikan sebuah petir yang menghanguskan hatiku, kalimat yang aku tunggu hampir enam tahun menjadi sahabatnya, kini malah terasa membunuhku.
"Sejak kapan?" tanyaku lirih, sungguh aku tak mampu menatap matanya.
"Sejak lama dan aku tak tahu kapan pastinya. Apa menurutmu, kasih sayang dan perhatianku selama kita sekolah dulu hanya wujud persahabatan?" Dia terkekeh pelan dan melepaskan tanganku. "Tidak ada hubungan semacam itu pada seorang pria dan wanita, Rhe... Itu murni karna aku mencintaimu."
Aku tersentak, mau tak mau ku tatap kedalam matanya untuk mencari kebohongan disana dan sayangnya aku tak menemukan itu. "Tapi kenapa?" Dadaku mulai sesak dan mataku memanas.
"Karena aku yakin, hubungan pacaran tidak akan bertahan lama, dan aku hanya ingin berakhir denganmu disebuah ikatan suci yang abadi, bukan percintaan konyol disaat remaja."
Air mataku luruh, tangisku pecah dipelukannya. "Maafkan aku." Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Aku melepaskan pelukanku dan mengangkat tangan kiriku untuk menunjukkan sesuatu yang berkilauan disana.
"Kau?"
Aku mengangguk dengan air mata yang terus mengalir, ku gigit bibir bawahku kuat-kuat untuk menahan isakan yang ingin keluar. "Aku telah bertunangan dengan mas Rendi."
"Sejak kapan?"
"Seminggu yang lalu," jawabku disela isakan tertahan.
"Jadi itu yang membuatmu tidak datang di acara pelantikanku?"
Aku kembali mengangguk, "Maafkan aku."
Dia tersenyum hangat sambil mengusap air mataku. "Apa aku sudah sangat terlambat?"
Aku menggeleng pelan, tanganku terulur untuk membelai pipinya dan kulihat matanya terpejam. "Kau selalu menjadi yang pertama untukku, Kau cinta pertamaku, kau yang pertama memelukku, kau yang pertama menciumku dan kau juga yang pertama mengambil hatiku tapi takdir Tuhan tak membiarkanmu menjadi yang terakhir untuk ku."
Komentar
Kirim Komentar