Balam Atuak Awan

Ilustrasi: Burung balam
Desi Liati
" Hari apo ang kamancari balam lai Tan?" teriak Uwan pada sahabat karib di sebelah rumahnya.
"Hari Raba'a rencananyo Wan," ujar Sutan pada sang penanya.
Kampung Guriang yang terletak dekat dengan hutan liar memang terkenal akan banyaknya burung balam, sebab itu pula adanya tradisi adu burung balam. Atuak Uwan adalah salah satu pecinta burung balam yang sangat aktif, bersama rekan-rekannya ia rela untuk memasuki hutan rimba.
Sarinah istri Atuak Uwan pagi buta sudah menyiapkan beraneka ragam kue tradisonal yang ia buat sendiri untuk dijual ke pasar. Dengan keuletan dan kerajinannya, Sarinah menjajakan dagangannya di depan ruko pinggiran pasar. Sebelum berangkat ke pasar Sarinah meletakkan uang lima ribu rupiah di bawah bantal untuk Supiak anak semata wayangnya bersama Uwan yang bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah.
Menjadi anak satu-satunya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat Supiak menjadi anak yang mandiri dan tak banyak menuntut kedua orang tuanya.
"Mak kama abaknyo? Lah sanjo alun jo pulang lai," tanya Supiak pada Sarinah yang sibuk menyiapkan makan malam.
"Abak karajo Supiak, tunggu sabanta lai Nak," katanya memberi penjelasan.
Malam pun telah larut, namun tanda-tanda kepulangan Uwan pun belum ada. Supiak yang sejak tadi bertanya perihal sang Ayah pun telah tertidur di pangkuan sang Ibu yang tetap tengah gelisah menunggu sang suami.
Suara petir dan kilat yang membuat suasana malam terasa begitu dingin dan sangat menusuk hingga ke tulang. Hari berganti hari pun telah dilewati Sarinah dan Supiak, namun Atuak Uwan tidak juga kunjung pulang ke rumah.
Di penghujung malam terdengar suara ketukan pintu yang amat keras hingga membuat kaget Sarinah yang tengah tertidur pulas. Ia pun bangun dan dibukakannya gagang pintu yang tak lama menampilkan sosok Rustam yang berawakan tinggi besar, berjenggot, dan rambut yang dipenuhi uban membawakan kabar bahwasanya Atuak Uwan hilang saat mereka berburu burung balam.
Rustam menceritakan kronologi hilangnya Atuak Uwan dengan detail yang disimak oleh Sarinah. Tak lama kemudian terdengar tangisan dan teriakan dari arah kamar Supiak. Supiak sudah histeris ketika mendengar kabar ayahnya yang hilang. Sarinah yang panik melihat kondisi anaknya mencoba menenangkannya.
Dua bulan tak ada kabar dari hasil pencarian sang suami, Sarinah hanya bisa pasrah dan berlapang dada. Namun, usai dari salat Subuhnya Sarinah mendengar dari dalam kamar seperti ada seseorang yang tengah mandi. Karena rasa penasaran yang sangat dalam, hingga akhirnya Sarinah menanti orang yang telah berani-beraninya masuk ke dalam kamar tanpa seizinnya.
Tanpa diduga ketika Sarinah tengah bersiap mengambil sepotong kayu yang menjadi pengganjal pintu rumahnya, sosok yang keluar adalah Atuak Uwan, lelaki yang sudah lama ia nanti kepulangannya.
Tak terasa pipi sarinah terasa hangat akibat air mata yang telah membasahi kedua matanya, lalu dipeluknya Uwan dan dibangunkannya Supiak saking girangnya. "Bagaimana kabarmu Sarinah?" tanya Uwan pada sang istri yang tengah sibuk menyiapkan segelas kopi dan goreng ubi kesukaan Uwan.
"Tentu kabarku dan Supiak baik, mengapa lama sekali kau pulang? Tak rindukah kau dengan kami?" tanya Sarinah pada Uwan.
"Tak cukup hanya kata rinduku untukmu dan juga Supiak. Satu pesanku padamu, hiduplah dengan baik dan jangan mencemaskan aku," jelasnya pada Sarinah.
Kokokan ayam di sebelah rumah membangunkan Sarinah dari tidurnya, ketika sadar dicarinya setiap tempat di sudut rumah, akan tetapi Uwan tak juga muncul. Lemas sudah kedua lutut Sarinah yang hanya mampu bertumpu pada lantai. Ia sudah coba untuk menenangkan pikirannya, namun pertemuan dan percakapannya dengan Uwan terasa sangat nyata hingga susah untuknya mencerna apa yang barusan terjadi, apakah mimpi atau sungguhan.
Seratus hari setelah kejadian itu warga kampung dihebohkan dengan ditemukannya mayat di tepi jurang yang sudah rusak bagian mukanya akibat busuk dimakan ulat.
Dengan deru napas yang sudah tidak beraturan Sarinah membuka kantung mayat yang dibawa oleh polisi. Terlihat pakaian yang masih tetap utuh menempel di tubuh mayat tersebut, yaitu kaus yang dulunya putih kini telah berwarna hitam kecoklatan dan celana loreng yang mulai koyak di sisi kanan dan kirinya. Dengan debaran jantung yang hampir lepas Sarinah mengambil tangan mayat yang tersematkan cincin pernikahan mereka.
Sore harinya jenazahpun dimakamkan, suasana yang tadinya sangat riuh akan tangis pun mulai mereda dan tergantikan dengan lantunan doa-doa dari pelayat yang memenuhi rumah mungil Sarinah. Hingga seminggu berlalu kini hampir setiap hari di depan rumahnya selalu hinggap burug balam berwarna coklat besar di pohon mangga depan rumahnya.
Komentar
Kirim Komentar