Kegagalan Melawan Adat
Wina Widia
Aku Rosa, umur sudah 25 tahun, adalah mahasiswa yang baru saja menamatkan kuliah S2 di kota Padang. Sebelum mencari pekerjaan, aku rencananya mau refreshing dulu sebulan ini. Aku pulang kampung untuk liburan karena sudah lama tidak pulang kampung sibuk dengan tugas-tugas dan ujian-ujian. Keesokan harinya aku pulang ke kampung halaman dan disambut oleh kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku di rumah. Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Satu abangku yang dua tahun di atas aku dan dia sekarang sudah bekerja di kota Padang. Dua lagi adikku perempuan yang satu kelas VII SMP dan satu lagi kelas X SMA. Hatiku sangat senang sekali hari itu karena bisa berkumpul bersama keluarga dalam beberapa bulan ini. Aku tidak akan lagi pusing memikirka tugas, memikirkan makan, memikirkan ujian, dan lainnya.
Hari pertama liburan di rumah, momen yang tidak akanku lewatkan begitu saja. Setelah mandi dan berpakaian rapi, agenda pertamaku adalah membuka jendela kamar. Kenapa? Jawabannnya karena pemandangan yang terlihat dari jendela kamar itu luar biasa bagus, indah, dan sedap dipandang mata. Ini sangat berbeda dengan yang sehari-harinya aku lihat di kota. Di kampungku, tidak banyak polusi, udaranya segar, dan tidak akan ada lagi terdengar suara kipas angin. Di kos kipas angin hidup 24 jam. Sedangkan di rumahku, tidak ada yang namanya kipas angin.
"Sa... sarapan dulu Nak" suara yang selalu kunantikan setiap pagi. Siapa lagi kalau bukan Ibuku tercinta. "Loh pagi-pagi kok sudah tatap muka sama hp sih, ayo sarapan dulu". "Iya Ma." Aku mengiyakannya dan langsung bergegas untuk sarapan.
Aku cepat-cepat sarapan agar bisa segera keliling kampung. Aku ingin melihat pemandangan kampung halaman yang sudah enam bulanku tinggalkan ini. Sarapan sudah selesai, saatnya pergi keliling kampung di pagi hari dengan mengayuh sepeda adikku. Aku pinjam sepedanya, lalu aku berkeliling kampung halaman sendirian. Walaupun sendiri, namun aku tetap senang karena ini kampung halamanku sendiri.
Pada saat sedang enaknya bermain sepeda, aku lupa kalau jalan kampungku yang diseberang sana jalannya menurun. Sepeda adikku juga tidak pakai rem, sehingga sepedanya berjalan semakin kencang. Aku sangat panik saat itu, karena jalannya semakin menurun dan sepeda adikku yang tidak pakai rem itu semakin kencang melaju. Aku hanya bisa berdo'a saat itu, dan aku serahkan kepada Allah apa yang akan terjadi pada diriku. Tiba-tiba datang seorang ksatria hebat yang menolongku. Dia sepertinya seumuran denganku. Aku tidak tahu siapa nama ksatria yang telah menolongku itu, yang jelas aku sangat berterimakasih kepadanya karena dia telah menolongku.
Aku berbalik sambil memandangi lelaki yang telah menolongku itu. Lalu dia mendekatiku dan memandang seraya tersenyum. "Masih ingat aku?, ujarnya sambil menyengitkan dahi". "Maaf siapa? Dia kembali tersenyum dan mengatakan "Aku Peri". "Astaga! Dia Peri. Dia kan bocah lelaki yang aku sukai dulu waktu SD, waktu cinta monyet. Dia terlihat sangat berbeda sekarang. Dulu dia imut-imut dan pemalu. Akan tetapi sekarang yang ada di depanku ini adalah Peri yang sangat tampan, berkharisma, dan terlihat dewasa dari Peri yang kukenal dulu, hingga membuatku sampai tidak kenal sama dia. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Peri. Terakhir kami bertemu kelas 6 SD. Sebelum dia masuk sekolah SMP dan SMA di Jakarta, dan mungkin langsung Kuliah di Jakarta. Aku berpikir bahwa dia tak akan kembali lagi ke kampung karena kehidupnnya yang sudah enak di kota selama bertahun-tahun lamanya itu. Itu sudah sangat lama sekali. Lalu, mengapa kita harus dipertemukan kembali. Aku saat itu, sangat salah tingkah sekali di depan Peri karena sudah lama sekali kami tidak bertemu.
Percakapan diantara kami pun terjadi, walau awalnya agak terbilang ragu-ragu dan malu-malu. Sepanjang jalan kampung, aku dan Peri bercerita banyak mengulang masa-masa SD kami dulu yang begitu sangat lucu untuk dikenang. Kami tertawa bersama-sama mengingat masa-masa Peri culun dulu dan sekarang dia sudah berubah 180 derajat semenjak dia pindah sekolah ke kota. Sekarang Peri sudah sukses dan dia sekarang bekerja di salah satu kantor PLN di Jakarta.
Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, mengapa dia kembali lagi ke kampung ini?"Aku pulang kampung karena mengambil cuti sebulan untuk mencari pasangan hidup". Lalu aku agak terkejut mendengar perkataan Peri. "Ha?? Mencari pasangan hidup di kampung? Bukannya kamu lama di kota, lalu kenapa mencari pasangan hidup dikampung?" sanggahku pada Peri. "Aku merasa tidak ada yang cocok denganku di kota sana. Entah kenapa hatiku berdetak untuk pulang kampung". Lalu aku terdiam sebentar. "Hmm.. begitu... Lalu siapa pasangan yang kamu cari di kampung" jawabku dengan memberanikan diri untuk menanyakan itu padanya. "Aku juga tidak tahu, sekarang hanya firasatku saja yang membawa aku ke kampung lagi". Lalu aku juga sedikit bingung dengan yang dikatakan Peri. Tak tahu juga apa yang harus aku jawab lagi. Aku hanya bisa diam. "Kamu sendiri gimana Ros? Udah ada pasangan hidupnya?" Tanya Peri padaku. Kenapa Peri bertanya seperti itu, hingga membuat aku bingung untuk mencari jawaban dari pertanyaannya itu. "Aku.. juga belum punya pasangan hidup" dengan memberanikan diri menjawab pertanyaan dari Peri.
Keesokan harinya Peri dan keluarganya pergi ke rumahku untuk melamar aku. Lalu aku bingung, tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku hanya menurut-nuruti saja lagi. Kedua orang tuaku menyerahkan keputusannya padaku. Lalu entah ini yang namanya jodoh, aku juga kurang tahu, yang jelas aku hari itu hanya pasrah dan mengiyakan saja pinangan Peri. Dalam hatiku, berkata, mungkin memang dia jodohku selama ini, karena dari SMP, SMA, hingga kuliah S2 pun aku sendiri. Ada lelaki yang mendekatiku, namun aku tidak mau. Aku hanya sibuk dengan akademikku.
Sebelum menikah, kami mempersiapkan acara pernikahan dan masyarakat sekampung pun sudah tahu berita itu, bahwa kami akan menikah dalam waktu dekat ini. Keluarga Peri yang terbiasa hidup di kota, ingin memakai adat kota untuk pernikahan anaknya karena nanti akan datang tamu-tamu istimewa dan penting dari kota yang berbisnis dengan keluarga Peri. Jika dipakai adat kampung menurut keluarga Peri, akan terkesan kolot dan kampungan. Hal ini menurut keluarga Peri akan membuat mereka malu nantinya. Tamu yang datang jauh-jauh dari kota, tidak mungkin memakai adat kampung. Sedangkan keluarga aku ingin memakai adat kampung saja karena menikahnya di kampung. Akibatnya terjadilah perdebatan kedua keluarga kami yang saling keras kepala untuk memakai adat pada saat pernikahan.
Aku dan Peri hanya menerima dan menuruti saja adat manapun, yang penting kami menikah. Akan tetapi kedua keluarga kami semakin berseteru dan tidak mau mengalah satu sama lain. Hingga larut malam rapat diadakan dan tak kunjung selesai. Sampai-sampai kedua orang tua Peri mengatakan "Ya sudah, pernikahan ini dibatalkan saja, jika tidak memakai adat kota". Lalu orang tuaku juga menyanggah "Ya sudah.. Jika memang itu yang terbaik. Mungkin keluarga kita tidak akan bisa besatu" Ujar Ibuku dengan wajah marah pada keluarga Peri. Akhirnya pernikahan kami gagal.
Hatiku terasa hancur berkeping-keping saat itu. Rasa sakit, malu, dan cemooh dari masyarakat pun berdatangan. Gagal menikah itu rasanya sakit sekali. Semua orang dikampungku mencapatau menganggap itu sebagai pembawa sial. Tidak sedikit orang saat itu mengatakan kalau aku pembawa sial. Hatiku sangat sakit sekali. Ingin rasanya k bunuh diri saat itu. Namun, tidak sampai di situ pemikiranku. Lalu aku memutuskan pergi ke kota Padang untuk mencari pekerjaan yang telah kutunda untuk liburan di kampung kemaren. Peri pun juga sudah tidak di kampung lagi, dia juga kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja.
Aku tidak mau lagi memikirkan tentang gagalnya pernikahanku kemaren itu. Aku sekarang hanya ingin fokus kerja. Lalu aku memasukkan lowongan di salah satu instansi perusahaan di Padang. Lalu aku diterima kerja di sana. Setelah sekitar enam bulan aku bekerja di sana, lalu aku ditugaskan untuk mengikuti pelatihan di salah satu hotel di kota Padang.
Pada saat pelatihan di sana, aku bertemu Peri. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan Peri di sana. Sebenarnya aku tidak ingin bicara dengannya setelah pernikahan kami digagalkan. Namun, Peri pergi menghampiri ke tempat dudukku. "Rosa.. Akhirnya kita bertemu kembali. Sudah lama aku mencari kamu, dan aku lupa meminta nomor telepon kamu. Akhirnya aku bertemu kamu juga". Dalam hatiku berkata "Ha??? Mencari aku? Setelah pernikahan kita gagal". Aku hanya bisa diam tidak tahu apa yang akan aku katakan padanya. Hilang semua kosa kata yang ada dibenakku ketika berbicara dengan Peri. "Aku tidak ingin gagal menikah untuk kedua kalinya Ros. Aku sangat yakin, kamulah jodohku. Maukah kamu menikah denganku Rosa? Ucap Peri padaku dengan tatapan mata yang sangat serius di depan umum. Aku shock saat Peri mengatakan itu. Semua mata yang ada di sana, tertuju padaku dan Peri. Aku terdiam sejenak memikirkan jawaban pertanyaan Peri. "Aku butuh waktu Peri". "Baiklah Ros, aku akan menunggu jawabanmu secepatnya" ucap Peri.
Setelah sepanjang hari ini aku berpikir, lalu aku memutuskan untuk menerima kembali pinangan Peri. Memang selama ini aku juga merasa ada yang berbeda saat aku dekat dengannya. Lalu aku pun bergegas menelpon Peri dan mengatakan padanya bahwa aku menerima lamarannya. Lalu kami berdua pulang kampung. Setiba di kampung, semua mata masyarakat kampung tertuju pada kami yang boncengan berdua dengan motor Peri. Setelah itu Peri dan keluarganya pergi melamar kembali ke rumahku. Keluargaku menerima kembali lamaran Peri dengan alasan yang telah aku jelaskan kepada kedua orang tuaku. Lalu kami memutuskan, kamilah yang akan menentukan adat yang akan kami pakai untuk menikah berdua karena kami yang akan menikah. Kedua keluarga kami menerima keputusan kami. Kami tidak mau lagi diatur karena tidak mau terjadi kesalahan yang sama. Gagal menikah membuat aku dan Peri trauma diatur oleh kedua keluarga yang sangat kental adatnya.
Akhirnya penikahan kami pun berjalan dengan lancar. Aku dan Peri sudah sah menjadi suami istri dan semua masyarakat menyaksikan pernikahan kami yang memakai adat kampung kami. Kami memakai adat Solok Selatan yang modern dan sesuai perkembangan zaman. Adat kami di kampung pun ternyata tidak sekolot yang dipikirkan oleh keluarga Peri. Mereka senang dengan rancangan kami berdua yang memakai adat kampung asli dengan motif yang terkesan elegant. Para tamu undangan yang datang pun sangat senang dengan adat kami. Banyak yang terpukau melihat adat kami di kampung yang masih kental, namun elegant. Kedua keluarga kami pun juga sangat senang di hari pernikahan kami. Semua keluarga kami sudah baikan lagi dan tidak ada lagi pertentangan di keluarga kami. Dua minggu kami di kampung. Setelah itu, Peri membawa ku ke Jakarta karena dia kerja di Jakarta. Lalu aku berhenti bekerja dan menurut suamiku ke Jakarta.
Dua
tahun sudah kami di Jakarta. Lalu aku dan suamiku pulang kampung ingin
mengakekahkan anak kami yang pertama. Kami mengakekahkan anak kami di kampung
dengan memakai adat kampung kami, sehingga budaya kami dikampung tidak pernah
kami tinggalkan. Di mana bumi dipijak di situ langit di junjuang. Dalam satu kali setahun, kami mengusakan untuk selalu
pulang kampung. Minimal kami mudik seminggu sebelum hari raya Idul Fitri. Kami
berkumpul bersama
keluarga.Ada pepatah yang mengatakan "Jika kamu ingin merasakan yang
namanya Rindu, merantaulah". Rindu keluarga di kampung itu enaknya dirasakan saat
pulang kampung. Rasa rindu terobati dan ingat, itu bukan penyakit, namun hal
yang membuat hidup kita berwarna.Tidak asik pula
rasanya jika tidak merantau
karena tidak ada kata pulang kampung. Kata pulang kampung inilah yang membuat
kami selalu bahagia tinggal di kota orang. Sejauh
apapun
pergi
merantau
ke
negeri
orang,
pulangnya
tetap
ke
kampung
juga. Kampungku adalah
mutiaraku. Inilah kalimat yang selalu kami pegang bersama keluarga kami di
sini.
Komentar
Kirim Komentar