Kopi Ayah
Nabela Putri
Alarmku sudah 3 kali berdering, kembaliku tunda setengah jam lagi. Pukul 00.00 WIB, bukan alarm untuk bangun tapi untuk tidur. Ting- toong, BBMku menggoda, aku baca pesannya dari abangku " TIDUR, sekarang!!" Aku abaikan dan lanjut membantai tugasku yang sepuluh gudang. Mataku memang belum takluk pada malam.
Masalahnya bukan mataku yang tak ingin patuh, hatiku. Hatiku mendendam, karena kota sialan ini menjebakku. Seolah-olah tak terima aku sebagai beban baru. Beruntung dosenku berbaik hati untuk memberiku pelampias dendam ini. Jadi aku setidaknya tak harus menangis rindu kampung. Ada kegiatan lain. Haaaah. Di kota ini memang bukan targetku saat SMA. Akan tetapi ayahku berkata lain, "Sayaaang, kamu harus kuliah."
"Ayah, sukses tak harus jadi sarjana, pak Li sarjana tapi sekarang pengangguran. Nggak ayah, aku bilang nggak. Aku bosan belajar, ayaaah!" Aku membanting pintu kamarku dan menguncinya.
Aku berhenti sejenak, mengenang 2 tahun lalu. Saat itu ayahku terlihat kecewa dan ibuku mungkin menangis. Abangku mengetuk pintu kamarku dengan lembut.
"Dek, maksud ayah baik. Ayah tidak mengusir adek." Abangku membujuk.
Mengingat peristiwa itu, aku merasa bangku yang kududuki tak berpijak pada lantai. Aku meraih gelas kopiku. Aku rindu ayah. Rindu kopi ayah. Biasanya 2 tahun lalu sebelum berangkat ke sekolah aku minum kopi yang disediakan ibu di meja makan, kopi untuk ayah. Kebiasaanku sejakku sadari, aku mencicipi kopi yang dibuat ibu untuk ayah. "Untuk menyeleksi apakah kopi buatan ibu pas dengan selera ayah," jawabku sekenanya jika ibu memperingatiku.
Ayah tak pernah keberatan dengan kebiasaanku. Kata ayah, jika ibu berniat meracuni ayah dengan kopi itu beliau akan tahu karena aku yang meminumnya terlebih dahulu. Kalau aku pingsan atau keluar busa dari mulutku ayah takkan minum kopi itu. Aku tahu itu hanya godaan ayah pada ibu. Mendengar keterangan ayah yang mengatakan "Ibumu membenci ayah," membuat kami berempat tertawa. Ayah bohong.
Dua tahun ini ayah dan ibu pasti kesepian. Abang di Yogya dan aku? Sebagai anak bungsu seharusnya aku di sisi mereka sekarang. Menjaga mereka dan pastinya mencicipi kopi ayah. Haaah. Ini bukan keinginanku, ayahku yang memaksa, jadi ayah harus menanggung resiko. Hanya berdua dengan ibu di kampung.
Aku tak tahu, apakah ayah merindukanku atau tidak. Biasanya jika memikirkan ini aku akan tertidur, kapanpun kecuali di kelas. Dua tahun aku putus komunikasi dengan ayah. Mungkin sebagai bentuk protesku. Aku juga tak pernah pulang. Aku katakan pada ibu melalui telpon jika ingin mengunjungiku ke kota ayah tak boleh ikut. Jika ayah ikut aku akan "selesai".
Soal tak pulang aku ingat, ayah pernah berkata sebelum aku berangkat, abangku sudah siap dengan mobilnya. Ayah membawakanku segelas kopi buatan ibu dan menyuruhku mencicipinya. Tentu aku menolak.
"Dek, cicipilah. Kamu tidak akan pernah temukan aroma kopi buatan ibu di kota karena kopi kota itu kopi KW dan ayah takkan mengizinkanmu mencicipi kopi buatan ibu jika belum bergelar sarjana."
Mulai saat itu aku bersumpah pada diriku takkan pulang sebelum menyelesaikan kuliah. Entah ini berbentuk motivasi atau kode keras untuk ayah. Kurasa ayah tak pernah merindukanku buktinya ayah tak keberatan aku tak pulang, ayah tak pernah menghubungiku.
Dua kali lebaran, tanpa bolu ibu, dua kali tahun baru tanpa kembang api bersama ayah. Lebaran dan tahun baru sama sekali tak berarti bagiku. Kota inipun enggan mengajakku merayakan. Tahun baru abang menyambutnya di kosku ketika abang dan yang lainnya menghitung mundur detik tahun baru, aku malah memajukan jadwal tidurku. Tak ada alasan untukku menunggu tahun baru, yang aku tunggu gelar sarjana.
Gelar? Aku bahkan tak menginginkannya, tapi langkahku masih berlanjut hingga sejauh ini. Aku mengikuti perkuliahan di kota anarki dengan semangat seolah tak ada perkara. Jika aku yang kata teman-temanku mulai "kumat", aku akan berpikir untuk apa kuliah? Toh, aku hanya akan menjadi seorang istri lalu menjadi seorang ibu. Aku bisa memasak, bahkan mahir. Masakanku paling ditunggu di kos. Yaa.. karena anak kos doyan yang gratisan, rasa tak jadi masalah.
Lebaran kemarin abang mengajak pulang. Entah kenapa mendengar kata pulang aku seolah kehilangan gaya gravitasi, aku melayang-layang. Badanku mendadak ringan dan terasa seperti menggunakan
androidsetelah diinstal. Tidak ada apa-apa yang berarti dalam otakku. Tidak. Ayah tidak menyuruhku.
"Tidak."
Ayah memang tak pernah melarangku pulang. Hanya tak mengizinkan aku mencicipi kopinya sebelum embel-embel sarjana mengikuti namaku. "Pulang?" Apalah arti pulangku jika aku tak bisa seperti dulu, menjadi lidah ayah. Aaah. Akan sangat memiriskan posisiku.
***
Siang itu aku berjalan di koridor kampusku, sengaja tak naik lift. Aku datang lebih awal, untuk menikmati senyapnya kampus di jam kuliah. Pukul 11.20 WIB, artinya 2 jam lagi kelasku dimulai. Anginnya sepoi, membelai rambutku yang tergerai. Aku ingin ke perpus, mengobrak-abrik buku di sana.
"Dek." Sebuah suara meneriaki panggilanku. Aku abaikan mungkin orang iseng, kurang kerjaan. Aku lanjut berjalan tanpa menoleh ke arah suara. Aku dengar langkahnya semakin cepat mengikutiku. Aaah. Ini orang mengganggu saja, batinku tak bisa terima. Aku memutuskan untuk naik lift, berharap dia tak bisa mengikutiku. Ku rasa sial memang sedang berpihak padaku. Mungkin karena kakinya panjang. Jadi bisa melangkah cepat.
"Aku Tama, seniormu, kita sekampung." Dia mengulurkan tangannya.
Ooooalah. Ni anak. Kalau kamu seniorku, trus aku harus menunduk dan menyambut tanganmu gitu? Lupakan aku teramat berkelas jika harus terlibat interaksi dengannya. Sial. Ternyata lift mengantarku ke lantai dasar. Biarlah. Aku melangkah keluar. Dia masih mengikuti.
"Berhenti sok kuat, berhenti munafik. Adek kau keras kepala." Suaranya sangat dekat di telingaku.
Abaikan aku tak kenal dia. "Who are you?" Aku tak ingin tahu. Aku masih saja tuli walau dia berani menilaiku. Aku melangkah gontai, dia membalik tubuhku dengan kasar, aku tepat di hadapannya. Aku masih teramat bingung, siapa, apa, dan kenapa? Mungkin dia terobsesi padaku.
"Apa yang kau pertahankan? Apa kau merasa menang? Sudahlah apa penting egomu? Ayahmu rindu, ayo pulang!" dia malah mengoceh.
Ayahku? Tahu apa kau. Menang? Rindu? Sudahlah ni anak over gila.
"Apa kau terlalu sibuk? Apa karena ini?" dia mengambil buku di tanganku. Buku itu dirobeknya, sedangkan aku masih membatu. Aku "dejavu", ini pernah terjadi. Otakku kembali tak bisa dijadikan
partner. Aku merasakan kepalaku ringan. Hanya ada titik-titik biru dan hitam. Titik biru menyatu menyerupai cangkir dan titik-titik hitam tiba-tiba membentuk cairan pekat yang aromanya kukenal. Kopi ayah? Sial. Aku rindu.
Ayah punya cangkir khusus untuk menikmati kopinya. Hal yang paling menarik hatiku adalah warnanya, "biru." Kata ayah biru itu melambangkan kedamaian dan kenyamanan. Sedangkan menurutku hitam warna kopi seolah hidup ayah yang menurutku pahit. Jadi aku menyimpulkan ayah merasa nyaman dan damai dengan kepahitan hidupnya. Saat itu ayah tertawa dan merevisi presepsiku. "Hidup ayah nyaman dan damai karena ayah bisa menikmati manisnya gula, walaupun sudah dicampur dengan pahitnya kopi buatan ibumu." Aku tak pernah terpikir ayah begitu memaknai kopi semenarik itu.
Aku membuka tasku, mencari sesuatu untuk mengusir kantukku. Aah. Mata ini sudah mulai tak biasa. Di kampus tak boleh ngantuk. Kopiku, tak ada di sana. Ketinggalan di kos. Huuf. Aku tak ingin tumbang di sini. Aku menuju kantin, mencari tempat ternyaman bahkan aku tak sempat. Ngantuk selalu jadi masalahku jika rindu ayah. Tapi ini tak biasa. Di kampus tak pernah.
Ibu kantin memberiku secangkir kopi, kurasa kurang pekat. Semoga saja bisa membantu. Aku menghirupnya perlahan, ini kopi atau…? Aku tak sempat membandingkan. Telingaku menangkap semua yang bersuara dan mengirimnya ke sarafku. Akan tetapi, sarafku tak bisa memisahkan satu persatu stimulus itu. Semua membaur dan tak bisa dipisahkan. Seperti gula yang dipadukan dengan kopi dan air menjadi suspensi. Efek kantuk mengutukku.
Kopi kota benar-benar tak berpengaruh padaku. Kantuk masih menjangkitiku. Kopi ini mungkin "kopi KW ala kota yang pernah dikatakan ayah." Sialan kota memang tak pernah ramah.
***
Aku berada di gerbang yang tinggi. Seperti biasa aku berjalan dengan gontai dengan memangku bukuku. Tiba- tiba bukuku jatuh dan robek. Kertas-kertasnya berterbangan. Aku panik, itu buku yang kupinjam di perpus. Sembari aku mengumpulkan lembaran bukuku, seseorang memandang sinis padaku kemudian lanjut berjalan memasuki gerbang.
Aku tahu ini mimpi, aku sedang tertidur. Aku ingin bangun tapi pikiranku menyeret ke tempat lain. Tempat seperti di sebuah "glade" yang di kelilingi labirin dan tubuhku memaksa kakiku untuk berlari menuju ke gerbangnya. Aku tak punya pilihan meski ragu, itu ayahku tapi wajahnya pucat. Beliau menyuruhku mencari cangkirnya di labirin. "Jam dua labirin akan berubah dan gerbangnya tertutup." Ayah mendesak.
Aku berusaha berlari, sekarang pukul 12.00 WIB. Waktuku hanya 2 jam. Aku tak ingin kecewakan ayah. Di dalam labirin kembali kulihat buku-buku yang rusak dan berterbangan begitu juga dengan sosok tadi. Tama, aku ingat dia adalah Tama. Dia memegang cangkir ayahku dengan amarah, sama seperti saat merobek bukuku di kampus.
"Tama, apa yang kau lakukan? Hati-hati dengan…."
"Prangg." Belum usai aku memperingati. Cangkir itu, Tama membantingnya. Lagi —lagi aku hanya bisa diam, aku ingin membunuhnya. Dia tak paham makna cangkir itu bagi ayahku. Akan tetapi, tetap aku diam. Lidahku kelu, aroma kopi menyengat hidungku, tenggorokanku pahit. Dia malah memelukku dan berbisik " semua sudah berakhir dan kau menang. Banggalah, lupakan masa lalu dan keluargamu yang penting adalah siapa kamu dan apa yang kau lakukan sekarang. Pulanglah." Dia terisak lalu mendorongku dan aku kaget dengan suara tubuhku yang membentur lantai labirin.
Masih dengan posisi jatuhku dia menyeretku keluar, 2 menit lagi labirin akan tertutup dan kini lantainya mulai bergerak. Aku belum paham dan belum menyimpulkan apa- apa. Aku ingin membawa puzzle cangkir ayah. Aku terlambat, maaf ayah.
***
Hpku bergetar, aku terbangun. Dorongan Tama masih terasa dan kini dia masih di depanku.
"Apa?" aku bertanya seadanya.
"Kita pulang sekarang, angkat teleponmu."
Mendadak aku patuh, di seberang sana abangku. Suaranya serak seperti ketakutan.
"Ayah tak bohong 2 tahun lalu? Aku takkan pulang, aku tak ingin pulang." Hanya itu responku.
Mendadak aku tak ingin nantinya menjadi seorang istri apalagi seorang ibu. Istri bukan seorang "menthor" yang bisa memutuskan segala hal. Ibu bukan seorang malaikat yang bisa merenggut jatah minum kopi ayah. Aku tak ingin ceritakan kebencianku pada ibu. Ibu memang peracik kopi yang terbaik hingga bisa gantikan alam ayah. Aku bergetar mengutuk diri, "aku terlambat" hanya itu. Tak ada yang ingin ku katakan lagi.
***
Komentar
Kirim Komentar