Tuan dan Tamu Kecil
Shobrina Shifa Auliyah
"Apa yang sedang mereka tangisi, Tuanku?"
"Penyesalan."
Apa yang mungkin disebutnya sebagai kepala ia miringkan sedikit tanda rasa ketidaktahuannya yang bercampur dengan keingintahuan. Tuan yang berdiri diam di sebelahnya hanya melihat sekilas sebelum akhirnya sepasang tangan kanan merenggut kepala yang sedang dalam posisi miring, menyembunyikannya di balik jubah hitam, dan memeluk eksistensi tamu kecilnya hari ini.
"Kita akan pergi."
"Ke mana? Apa orang-orang itu akan baik-baik saja? Apa yang terjadi sehingga air-air itu terjatuh?" Pertanyaan bertubi-tubi itu seperti membentuk badannya sendiri dengan rangkaian kata yang paling malas untuk dijawab sang Tuan. Ia hanya merapatkan lagi tamu kecil ke tubuhnya dan membatalkan akses telinga mendengarkan suara.
"Kau hanya perlu memetik buah di saat ia ranum," jawabnya pelan. Tangan besar berbalut sarung tangan kulit hitam itu perlahan mengangkat bobot tamu kecil dan mengangkatnya membelakangi pendar mentari sore dari balik kisi-kisi jendela besar tempat ini. Bibirnya yang tampak tidak pernah mengulum secercah senyum ia gigit sedikit seperti hendak menahan diri untuk tidak melepaskan apa yang hendak ia keluarkan. Tamu kecil yang tidak tahu-menahu dengan Tuan yang bersikap di luar kebiasaannya, hanya menelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil memukul-mukul ringan tangan besar yang menyokong bobot tubuhnya.
Untuk mencegah kesia-siaan ini, Tuan membatin dalam hatinya. Ia tidak seharusnya memberikan simpati pada tamu kecil yang sedang ia hantarkan ke tempat tujuan, tapi ketika menyaksikan betapa berharganya tamunya kali ini seperti memberikan dorongan asing yang membuatnya mati-matian tidak ingin cepat sampai tujuan. Untuk mencegah kesia-siaan.
Direngkuhnya lagi eksistensi tamu kecil di balik jubah hitam kebesarannya, entah ini yang ke berapa kali dengan tamu kecil yang ke berapa. Ia hanya tahu sudah lama sekali dirinya kehilangan kemampuan menghitung sehingga setiap yang datang padanya hanya gelar yang bisa ia panggil pada mereka. Namun ketika kata sanni yang terlintas di kepalanya langsung ia ucapkan, ia jauh tidak mengerti lagi.
"Apa itu sebutanku, Tuan? Sama seperti yang lain?" tanya tamu kecil di balik jubah. Gerak-gerik tamu kecil yang penuh rasa ingin tahu itu sama liarnya dengan badai Katrina yang memaksanya untuk mengingat kembali pekerjaan tanpa akhir, membuat Tuan harus menahan diri tidak melempar eksistensi tamu kecil.
"Ya, Sanni. Mulai saat ini kau adalah Sanni."
Sanni melonjak kegirangan di tempat persembunyiannya, ia mendapat sebuah sensasi yang mengelitik seluruh indera dan rasa yang membuatnya tak berhenti bergumam dan melompat. Meskipun ia sangat ingin mengetahui apa istilah yang digunakan untuk kondisi seperti itu. Sanni lebih memilih untuk diam.
Sanni, Sanni. Nama itu indah sekali, batinnya.
***
Ada sesuatu yang menyeruak dari dirinya ketika melihat gumpalan-gumpalan cahaya itu ikut meliuk-liuk bersama dentum dan denting alat musik yang menyambut kor indah di saat fajar masih berusaha merobek cakrawala. Padanannya sangat serasi dengan pakaian sederhana para gadis yang berusaha menghibur perempuan-perempuan tua yang tersenyum di balik penderitaan menahan sakit tulang meskipun kursi-kursi yang mereka duduki adalah yang terempuk. Gerak lincahnya senada dengan gerakan para perempuan dewasa yang bekerja cepat menyiapkan sarapan yang akan disantap segera setelah perjuangan fajar berhasil. Tuan hanya tidak menyukai fakta bahwa tidak ada yang mengetahui sinar pagi itu adalah Sanni yang kelewat senang bergerak bersama suara.Tuan hanya tidak menyukai ketiadaan eksistensinya. Ia juga tidak ingin segera merenggut kebahagiaan murni dari orang yang tidak mengenal kejamnya kenyataan, tapi ia harus tetap melakukan hal itu demi apa pun juga.
Dari kejauhan Sanni melambaikan tangan isyarat agar Tuan ikut bergabung bersamanya, tapi Tuan tahu bahwa ia harus menolak itu. Ia hanya mengacungkan ibu jari sebagai balasan sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam lautan hangat itu. Menatap kehidupan kecil yang hanya disirami kemilau ini mau tidak mau membuat Tuan tak berhenti bergumam meminta perlindungan, agar permata langka ini selalu dijaga, agar mutiara ini akan tetap sulit ditemukan di lautan dalam. Ia akhirnya sedikit bersyukur kesalahan rute membawanya ke tempat luar biasa ini, meski tak seorang pun yang akan menyapa mereka.
Sudah cukup lama ia menunggu tamu kecil itu selesai. Sengaja ia jentikkan ibu jari dan telunjuk untuk langsung membawa Sanni kembali ke balik jubah hitamnya. Hal itu sukeses membuat Sanni lebih banyak mengeluarkan suara berisik dari sebelumnya.
"Hey Sanni, istirahat sebentar lebih baik daripada kelelahan." Mendapat perkataan seperti itu, Sanni tahu harus diam dan menuruti perkataan Tuan agar teman besarnya kali ini tidak melemparnya secara sengaja.
"Ah, Tuan. Boleh aku bertanya? Apa yang membuat mereka begitu bahagia?"
Dielusnya Sanni seakan senang akhirnya tamu kecil ini bertanya sesuatu yang ia sukai. Matanya kembali melihat cahaya yang bahkan semakin terang, tidak lupa diberinya celah kecil agar Sanni masih bisa melihat pendarnya dan kembali terpukau akan keindahan itu. "Kasih sayang. Mereka berada dalam limpahan kasih sayang yang banyak, lalu membagikannya pada orang-orang terkasih di sekitar. Itulah alasan kenapa keceriaan itu menular, Sanni."
"Wah, terdengar seperti barang bagus. Apa aku bisa memilikinya satu?"
"Kau bisa memiliki lebih dari satu, Sanni. Kau juga harus membaginya kepada orang lain agar semuanya merasakan apa yang kau rasakan."
"Apa orang-orang ini sama seperti yang sebelumnya?"
"Kesedihan dan keceriaan adalah roda yang dimiliki setiap mereka."
Sanni mengangguk-anggukkan kepalanya seolah paham dengan perkataan sang Tuan, meski sebenarnya yang bisa ia bayangkan adalah roda-roda kereta kuda yang pernah dilihat sebelumnya. Ia hanya teringat suatu saat nanti ada buah ranum yang siap untuk dipetik, sama seperti setiap kali Sanni meminta penjelasan lebih lanjut. "Betapa kasihan mereka yang berada di antara."
"Itulah yang akan memoles indah dirimu, Sanni. Pejamkan matamu, saatnya menuju tempat lain." Sanni menurut, ia kembali memeluk tubuh Tuan di balik jubah sekelam malam. Tuan menghela napas pelan sebelum akhirnya sekelebat cahaya intens menyoroti eksistensinya yang kemudian tertelan bersama pusaran ruang dan waktu. Sepasang sayap merentang ke seluruh penjuru, Tuan mengibaskan keduanya seolah bobot benda itu tidak seberapa dan mulai melesat di kehampaan abadi. Sanni yang bergantung di balik jubahnya ia eratkan lagi agar tamunya tidak memiliki kemungkinan untuk lepas dan melihat pemandangan ini, di mana seluruh jeritan dan pekikan kematian menggantung begitu pekat di ruang hampa yang begitu pengap. Ia jelas sangat tidak menyukai tontonan ini, lebih tidak suka lagi jika tamu kecil berkesampatan menyaksikannya. Tapi tetap saja ini harus dilakukan sesuai prosedur agar Sanni semakin bijaksana.
"Apa tujuannya masih jauh, Tuan?" Rasanya seperti seabad bagi Sanni yang mulai lengah dengan pegangan. Ia ingin sekali menyibak jubah itu dan melihat pemandangan apa yang disuguhkan kali ini, tapi Tuan sepertinya memang sengaja menahan tali pengikat jubah agar Sanni tidak berkesampatan mengintip pemandangan luar. Membuat Sanni bertanya-tanya, apakah Tuan mencegahnya melihat sesuatu?
Tuan pun berhenti bersama dengan hilangnya ruang sengsara dan terlipatnya sepasang sayap ke realita, menjadikannya langit dengan awan yang menggantung rendah. Dibawanya Sanni keluar dan meletakkan gumpalannya untuk duduk di pundaknya. Dengan sekali desiran, ia sudah mengizinkan kembali kuasa penglihatan pada tamu kecilnya.
Sanni melompat girang dan Tuan memalingkan pandangan, tidak mau melihat perubahan langsung pada air muka Sanni yang seperti menggelegak ingin menumpahkan sesuatu. Eksistensinya berkedip-kedip pelan, sedang kepalanya miring semakin ke kanan. "Tu … tuan, hal tidak menyenangkan apa ini?"
Asam cuka mereka seperti diteteskan langsung ke tenggorokan Tuan, ia tidak tahu harus menjelaskannya mulai dari mana. Apa ia harus menjelaskan orang-orang yang terbaring kaku bersama rumah-rumah yang hancur menjadi debu? Apa ia harus menjelaskannya dari hewan-hewan peliharaan yang menggonggong dan mengeong keras di samping pemiliknya yang membisu? Apa ia harus menjelaskannya dari kepedihan yang mengkristal di cakrawala?
Diambil Sanni dari pundaknya dan direngkuhnya Sanni seperti gambaran yang pernah ia lihat di masa lalu. "Ketidaksucian jiwa hanya akan membawa sengsara satu bangsa, Sanni," bisiknya pelan untuk menenangkan kedipan cahanya yang semakin tidak terkendali. "Serakah pada milik orang lain hanya akan menimbulkan kesedihan. Tidak bisa memaafkan hanya akan memancing keributan. Kau mendengarku, Sanni?"
Sanni bergerak pelan, mulai tenang mendengar jawaban yang sebenarnya masih belum bisa dicernanya. Tapi itu semua sudah cukup membuatnya berani melihat pemandangan itu lagi, menelusuri balok-balok yang terburai dari fondasi dan tubuh-tubuh dengan air muka sedih-bahagia-takut yang tercoreng oleh abu. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang ingin jatuh dari kepalanya dan pecah bersama kor pilu yang semakin jelas terdengar dari kejauhan. Apa ini sedih?Apa ini sama seperti orang-orang di balik kisi jendela besar itu? Ke mana semua keceriaan yang sebelumnya memenuhi tawa mereka?
"Apa mereka akan selalu seperti ini, Tuan? Apa nantinya aku juga seperti ini?"
Tuan mulai menjalankan kakinya melintasi pemandangan ini dengan perlahan, seolah ingin agar kejadian ini terpahat rapi di benak Sanni bukannya melupakan setelah mereka berpisah nanti. Ia belum memiliki hak untuk menjawab pertanyaan tamu kecilnya kecuali mereka sudah sampai pada gerbang tujuan, tapi tangannya dengan pelan menggosok puncak kepala Sanni seolah itu sebuah jawaban. Jika ia memiliki hak untuk tidak melakukan tugasnya, jika ia memiliki hak untuk tidak melakukan ini, Tuan lebih memilih untuk mengambil hak itu sepenuhnya. Betapa lama ini sudah berlalu dan ia masih tidak bisa.
Gerbang itu hanyalah istilah dari pusaran kelam yang menjadi tujuan sejati mereka berdua, tujuan sejati tamu kecilnya, tempat di mana Sanni harus berpisah. Tamu kecil itu seakan tahu ini akhir perjalanan mereka saat Tuan terdiam di depan pusaran kelam dan entah mengapa ia tahu betapa berat Tuannya siap-siap untuk melepas. Ditangkupkannya kedua tangan Tuan di atas cahaya panjangnya sendiri yang tidak mirip dengan milik Tuannya, sekelebat pemandangan menjadi jelas di pikirannya seolah memastikan Sanni tidak akan lupa segala hal.
Seolah mendapat pencerahan, Sanni bersinar terang. "Terima kasih?"
"Akan ada yang menjawab seluruh pertanyaanmu dengan lebih baik." Sanni hanya menganggguk."Jangan lupakan pelajaran dari perjalanan kita dan jadilah jiwa yang indah."
"Tentu. Apa kita akan bertemu?"
"Suatu hari nanti? Ya. Aku akan menagih kesimpulanmu bila saatnya tiba."
"Wah, aku tidak sabar menantinya."
Dalam benaknya, Tuan mengulang-ulang nama tamu kecil seolah itu sebuah mantra. Dengan pelan tuan melepas tangannya dan mulai mendorong cahaya itu untuk menerangi pusaran kelam. Tanpa sadar bibirnya tertarik ke atas dan Sanni tersenyum lebar, sebelum akhirnya perlahan memudar.
"Sampai nanti, insan."
Komentar
Kirim Komentar