Aku; Waktu yang Memikirkanmu
Yanda Dewi Kurnia
Pagi ini aku terbangun dengan riasan warna warni di langit. Aku pikir, aku telah melewati satu kelam seram. Tapi tidak, ini masih senja menjengkelkan bukan? Aku mulai menangis. Kesedihan membalut erat dan beriring sesak kurasakan di dada. Tidak pernah aku kira, Ia memberikan harapan lalu, membiarkan aku berharap, tanpa bertanggungjawab. Kali ini, bagaimana dia bisa memasuki kepalaku lagi? Resah air mataku membasuh kasur.
Tiba-tiba saja, senja ini kesedihan bertamu padaku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis,yang kutahu aku tidak boleh bersedih. Ada hal lain yang harus aku pikirkan dan kerjakan. Senja di hadapanku semakin ungu, aku harus menemukan pagi yang mungkin berwarna putih.
Kurasakan tubuhku berat sekali untuk bangun dan enggan untuk mencari tahu. Dia kenapa masih ada di kepalaku? Pagi ini langit bewarna abu-abu tak sesuai harapanku mungkin saja sebentar lagi akan turun hujan. Aku tidak ingin bersedih begitu lebih lama lagi. Apa peduliku pada langit abu-abu ini. Aku segera bangun, melipat selimut. Tiba-tiba hujan deras datang dan membuat basah seluruh pertanyaanku. Aku bahkan tidak mampu membacanya lagi. Sebab hujan menjadikannya luntur, sungguh aku lelah.
Aku menyadari bahwa pertanyaan tidaklah berarti jika yang ditanya itu sendiri tidak pernah menjawabnya. Aku rasa itu semua sudah tidak kubutuhkan lagi. Bahkan jawabannya sudah terlebih dulu aku temukan. Dengan berkhayal sedalam-dalamnya. Telah kusadari hujan deras yang datang tiba-tiba, membuatku tidak usah bertanya jika aku saja bisa merangkai jawabannya sendiri.
Mataku deras bagaikan hujan. Aku tahu hatimu tidak bisa menerima. Kini sudah kupahami hatimu. Iya aku paham, lewat puisimu yang kubaca setiap malam. Kemudian kumulai mencerna arti dari setiap kata-katanya. Aku ingat pernah ada seorang perempuan yang mengirimkan sepucuk puisi untukku. Di dalam puisi itu, terkemas senja nan manis. Dengan warnanya yang indah begitu juga dengan kata-kata yang menyejukkan hati. Waktu itu, aku hanya sebatas membaca puisi itu saja. Sebab, aku tidak pernah menulis puisi.
Aku tahu, maka kini aku menuliskanmu. Izinkanlah aku menulis untukmu, dalam sehelai kertas putih. Akan kubuka kembali rasa yang pernah mati, dan sebagai penyejuk hati. Untuk seorang perempuan yang dulu pernah menaruh hati.
Sebab aku memiliki kata-kata dan mengenal kata-kata dengan seluruhnya. Aku bahkan bisa menuliskan apa saja dan menjadikan diriku tuhan di dalamnya. Aku bisa membuat seseorang bersedih dan terus menangisi kesedihannya. Bahkan, membunuh karena rindu yang membuat ingin menyerah. Bisa juga menyerah karena lelah dengan pertanyaan yang tak kunjung ada jawabnya. Aku akan membuat seolah-olah ia sedang terjebak senja yang panjang usia, hingga ia mencari keberadaan waktu di lain hari. Aku tahu aku bisa menuliskan kenyataan apa saja.
Aku ingin tahu, apa yang kamu pikirkan saat mengirimiku sepucuk puisi itu. Bahkan aku juga ingin tahu, bagaimana perasaanmu saat menerima dan membaca puisi yang aku berikan untukmu. Aku rasa, kamu pasti bahagia. Sebab itulah yang kamu harapkan dariku. Tapi aku tidak punya kuasa mengetahui apa yang sedang kamu pikirkan. Karena aku hanya bisa berkhayal dalam-dalam apa yang kamu pikirkan.
Aku ingin kamu menunggu, Tidak ada yang melarangmu untuk sejenak berada pada waktu tunggu. Tapi alangkah kejam aku, menganggap kamu pengganggu. Pengganggu, tidak kali ini kau adalah lambang setia yang harus bahagia.
Ya, kau memang tidak pernah membalas sepatah kata pun yang aku tujukan padamu. Puisi ini, adalah puisi yang aku tulis di atas senja agar indah dan cantik bentuknya. Kulakukan itu, hanya untuk menarik perhatianmu. Aku kira menarik dan membuat dirimu tertarik padanya agak barang sedetik. Tetapi, kau tetap menjadi orang yang pendiam seperti tanpa hati saja. Kau patahkan kecintaanku dengan diammu, kau tampak agak kejam saat diammu itu. Bahkan tidak menjawab puisi yang sedang kutangisi. Tanpa aku sadar dulu aku juga begitu pada dirimu.
Komentar
Kirim Komentar