Ikhlas
Dwi Agustini
"Kak, sampai kapan Ina harus menunggu? Kakak tahu bahwa Bang Ilham akan kembali ke Kalimantan dalam minggu ini. Ina harus memberikan kepastian kak," berlinangan air mata Ina mengatakan hal tersebut kepada Risa, kakak kandungnya.
Ina pun sebenarnya berat melepas kata itu keluar, tapi Ina tak bisa berlama-lama mananti kepastian pernikahannya ini. Sudah hampir satu bulan Ina dilamar oleh Ilham, teman semasa kecilnya yang juga ia cintai. Selama itu pula Ilham menanti jawaban pasti dari Ina.
...
Tepat satu minggu setelah Hari Idul Adha, banyak perantau yang pulang, tak terkecuali Ilham. Seorang laki-laki yang melamar Ina di bawah cahaya rembulan malam. Ina tak menyangka bahwa pujaan hatinya akan melamarnya. Ina masih mengingat dengan jelas, malam itu Ilham berjanji akan datang bersama keluarganya setelah mendapat restu dari Risa, kakak Ina.
Ilham kenal dengan Risa dari dulu karena mereka berteman dari kecil. Umur Risa dan Ilham sama dan tiga tahun lebih tua dari Ina. Risa sekalipun belum pernah menjalin kisah cinta dengan seorang pemuda. Hal ini membuat Ilham sedikit khawatir. Ilham tahu persis bahwa Ina sangat menyayangi kakaknya, Risa. Dari kecil mereka bertiga selalu bersama.
Ilham juga tahu bahwa Ina dan Risa tak bisa dipisahkan. Kemana Ina pergi selalu ada Risa dan begitu sebaliknya. Ia tak ingin Risa merasa dilangkahi menikah oleh Ina.
Ina berjanji pada Ilham akan berusaha menyakinkan Risa akan pernikahan mereka. "Kak Risa akan mengerti," harap Ina malam itu. Namun sayang, tak semua hal yang direncanakan manusia berjalan dengan lancar. Harapan Ina untuk menikah pada bulan itu masih samar.
Terhitung telah 25 hari sejak Ina mengatakan niatnya, tapi Risa tak juga memberikan kepastian jawaban kepada Ina. Malam ini bermandikan cahaya rembulan, Ina kembali menanyakan hal yang sama kepada Risa. Namun, jawaban yang ia nanti tak kunjung tiba.
"Kak, kapan aku akan mendapat restumu?" Kali ini tangis Ina pecah. Di bawah pohon tempat dulu ia, Risa dan Ilham sering bermain, Ina meminta jawaban Risa.
"Aku belum bisa menjawab sekarang Ina. Berikanlah aku waktu sebentar lagi. Akan ku pikirkan jawabannya," Risa membolak-balik buku yang dipegangnya. Risa hanya menatap hamparan kertas berbundel di tangannya itu. Ia tak sanggup menatap mata Ina.
"Tapi kapan kak? Satu minggu lagi bang Ilham akan pulang. Apakah aku harus menunggunya satu tahun lagi? Atau jangan-jangan aku akan ditinggalkan olehnya," Ina memegang kedua tangan Risa. Ia berharap hati kakaknya akan luluh.
"Tunggulah dik. Akupun sedang memikirkannya. Berilah waktu sedikit lagi," jawab Risa. Dilepasnya tangan Ina secara perlahan. Ia tetap tak sanggup menatap wajah adik satu-satunya itu.
"Kak, umurku sudah 26 tahun. Berapa lama lagi aku harus menunggu. Tahun ini pun aku akan menjadi 27 tahun kak. Aku semakin tua," Ina tetap berusaha meyakinkan Risa. Risa hanya diam. Risa tak ingin jika kata-katanya nanti menyakitkan adiknya. Oleh karena itu, ia memilih diam.
Hampir 30 menit Ina menunggu keputusan Risa. Angin malam berhembus makin kencang. Bunyi jangkrik pun terdengar nyaring dalam kesunyian mereka. Namun, Risa tetap diam seribu bahasa. Memandang wajah Ina saja tidak.
Kesal, Ina sangat kesal dengan kakaknya itu.
"Kak, tak usah saja kau berikan jawabannya. Biarlah aku menjadi tetap sendiri sampai besok-besok," Ina berlari meninggalkan Risa sendirian di bawah sinar rembulan malam. Ina berlari ke dalam kamarnya. Dihempasnya pintu kamar sekuat-kuatnya. Ia menangis sejadi-jadi pada bantal.
...
Sementara itu, Risa masih duduk di bawah bulan. Perlahan sungai air mata jatuh mengalir membasahi kedua pipi cekungnya. Tak mampu lagi ia membendung sesak di dalam dada. Kata-kata Ina membuat sekeping hatinya terluka.
"Sabar nak. Ibu tak akan memaksamu. Ibu tahu persis keberadaanmu. Tapi, pikirkanlah adikmu. Jika kamu rela katakan sekarang, jika tidak bicarakan dengan baik kepadanya," entah sejak kapan Ibu ada di sana. Risa tak tahu bahwa Ibu memperhatikan mereka sedari tadi.
Ibu memegang bahu Risa. Perlahan dielusnya kerudung berwarna pink Risa. Seolah Ibu tahu, bahwa ia pun menderita dengan kisah ini.
"Sebagai kakak perempuan Ina, Ibu tahu kamu mencemaskan jodohmu di kemudian hari. Tapi, tak baik mendiamkan masalah adikmu ini, sayang," Ibu mengelus-elus kerudung Risa dalam pelukkannya.
"Ibu, aku tersakiti dengan ini dibandingkan siapa pun, bu," Risa terisak.
"Ibu tahu, nak," air mata ibu tak bisa ditahan. Sebagai Ibu dari keduanya, tentu Ibu tak bisa memaksa kedua putrinya. Ia menyayangi kedua anaknya dengan harga yang sama. Tak ingin salah satu dari mereka tersakiti. Apalagi mersa kasih Ibu tak sama rata.
...
Perasaan tak pernah terlihat dari luar. Ia hanya bisa dirasakan oleh pemilik perasaan dan pemilik seluruh jiwa. Tak pernah ada yang tahu sedalam apa bahagia, pedih, cemburu dan kasih sayang dimiliki. Bahwa pedih luka yang dirasakan Risa tak hanya itu. Bukan sebatas duluan saja. Masih terselip satu luka dalam hatinya.
Sepanjang hidupnya, Risa hanya jatuh cinta sekali dan tak pernah ke lain hati. Hanya seorang yang selalu ia elu-elukan. Ilham, dialah laki-laki yang diidamkan Risa sedari dulu. Bahkan alasanya tak menikah hingga umur 30 tahun adalah Ilham. Risa selalu menanti Ilham dalam hari-harinya. Berharap teman sepermainannya itu akan menjadi sekeping hati baru untuknya.
Berjuta angan telah ia rangkai. Namun kini, sekeping hati itu tak pernah menjadi miliknya. Bahkan sekeping hati yang tersisa kini hancur tak berbentuk lagi. Menjadi butiran debu dalam angin malam itu.
"Ibu, aku tak bisa ikhlas, tapi aku lebih tak bisa menyakiti hati Ina, Bu," Perlahan isak Risa menguap. Ibu memeluknya dalam dekapan panjang. Hanya ia seorang yang dapat merasai.
Komentar
Kirim Komentar