Aku Karmamu

Grafis: Fauziah Safitri
Nora Agus Lestari*
Aku masih menatap matamu yang tertutup. Aku telusuri kulit wajahmu yang berwarna sawo matang itu. Aku lalu membelai rambutmu yang kasar dan lebat. Entah mengapa aku menyukai rambutmu yang telah ditumbuhi oleh beberapa helai uban itu. Satu hal lagi, aku tidak akan pernah bosan seperti itu. Kumis dan jambangmu juga membuatku terpesona. Telapak tanganmu agak terasa kasar, tetapi sangat hangat ketika kau membalas perlakuanku dengan mengelus rambutku kembali.
"Aku sangat mencintaimu," aku mengucapkannya tepat di telingamu.
Kali ini, aku akan memelukmu dan tidak akan pernah aku biarkan siapa pun melepaskannya. Aku menatapmu kembali dan aku tersadar hanya kau yang bisa membuatku tersenyum dalam kondisi apa pun.
Dan, di bawah langit senja berwarna jingga ini, dalam kondisi memelukmu, aku menarik napas dalam-dalam. Angin pantai sore menusuk tulang-tulangku. Apa saat ini kaudengar debur ombak yang memecah batu karang. Aku mengikutimu memejamkan mata dan teringat semua kenangan yang telah kita lalui. Kenangan yang tak dapat aku gambarkan dengan kata-kata.
Apa kau masih ingat ketika malam itu, di tepi pantai, kau melepaskan jaketmu dan memakaikannya di tubuhku. Apa kau tahu betapa bahagianya aku saat itu. Bahkan, dinginnya ombak yang menerjang kakiku terasa hangat dengan perlakuanmu yang romantis itu.
Telingaku masih terasa hangat oleh napasmu saat kau mengungkapkan bahwa kau akan selalu ada untukku, menjagaku dengan segenap jiwa dan ragamu. Percayalah, saat itu, aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Apakah kau masuh ingat ketika aku memberanikan diri untuk berterus terang dengan masa laluku yang segelap malam tanpa bulan maupun bintang. Malam yang hanya dihiasi rasa sakit yang semakin hari semakin menggunung. Aku berkata padamu, "Jangan pernah pergi dariku! aku takut untuk sendiri lagi."
Dengan tatapan yang jernih, kau menjawab, "Ya, aku tidak akan pernah pergi."
Setiap hari kau membuatku tertawa. Pandanganmu membuatku merasa dilindungi seakan kau akan selamanya di sisiku. Setiap aku merasa resah, kau selalu dapat membuatku kembali tersenyum. Kau selalu mengatakan kau sangat menyukai senyumanku seolah-olah senyumanku bagaikan zat yang membuatmu candu.
Saat aku meninggalkan kota ini untuk pulang ke kampung halamanku, kau membelai rambutku berkali-kali sambil berkata, "Jaga dirimu baik-baik! Ingat, ada yang mengkhawatirkanmu di sini!" Tatapanmu pada mataku membuat bola mataku mengalirkan rinai sakit sebuah perpisahan, dan kau memelukku. Begitu erat dan tanpa kau sadari keinginanmu mempertahankanku membuat napasku tak bisa beraturan. Setelah kau sadar, kau deraikan bulir bening di sudut matamu menggambarkan penyesalan tanpa sengaja menyakitiku.
Setiap malam aku selalu merindukanmu. Aku selalu sabar menantikan kabar kegiatanmu di kota itu. Bila malam telah datang, aku meneleponmu. Apa kau tahu betapa bahagianya aku ketika mendengar suara tawamu. Seolah aku ingin membunuh jarak yang ada ini agar tak ada lagi penghalang antara kita.
Tetapi, semua berubah pada malam itu, saat kau mengatakan bahwa kau ternyata sudah memiliki kekasih selain aku. Saat itu, aku merasa dunia berhenti berputar. Deras air mata basahi wajahku. Kau katakan maaf berulang kali. Kau bilang ini kesalahanmu. Kau mengutuk diri sendiri. Kau mengatakan pertemuan kita salah. Kau mengatakan betapa baiknya aku dengan semua yang telah kulakukan padamu. Maaf, maaf, dan maaf yang bisa kau katakan saat itu.
"Kau adalah laki-laki paling brengsek yang pernah kutemui," kataku mengakhiri telepon malam itu. Kau benar-benar membunuhku saat itu. Kau hempaskan aku kembali dalam lubang gelap itu. Kenapa? Kenapa kau harus lakukan hal ini padaku. Ribuan tanda tanya berperang di benakku. Sekali lagi orang yang kupercaya mematahkan sayapku. Aku kecewa karena kau tak tepati janjimu dulu.
"Kenapa kau lakukan hal ini? Apa salahku? Apa kurangku? Apa dia lebih cantik dariku? Apa dia lebih baik dariku? Kenapa kau harus memilihnya?" Sekali lagi air mataku jatuh menyentuh pipiku. Sebagai seorang wanita, apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa menangisi kebodohanku. Bagaimana bisa kau berpaling pada yang lain. Aku juga mengutuk diriku. Berulang kali aku hanya bisa menangis terisak. Sejujurnya, aku tak pernah merelakan kau pergi dariku. Apakah setiap perkataanmu hanya ujaran semata? Dimanakah janji manis yang dulu kau utarakan padaku? Siapakah wanita yang sanggup memalingkan hatimu dariku? Lalu, bagaimana denganku setelah keputusanmu yang jauh dari kata adil ini?
Kenapa? Kenapa kau tega meninggalkan bunga yang baru saja mulai berkembang karenamu? Mengapa kau dengan sengaja membiarkannya layu? Dan, akankah kau juga akan membiarkannya mati? Tidak, Sayang! Kau salah dalam menilaiku. Duri-duri mawarku akan mengingat detail tangan yang memetiknya. Buka matamu, Sayang! Saat ini, kau berada di sampingku. Kau menggenggam tanganku, bukan? Lihatlah jari kita menyatu. Jemarimu dan duri-duri mawar yang kau petik.
"Kenapa kau diam sayang?"
"Kenapa kau hanya diam? Apa kau tidak rindu denganku? Lihatlah aku memakai lipstik merah! Bukankah kau menyukainya?" Aku membisikkan di telingamu, tetapi kau juga tidak menjawab. "Kenapa kau tetap menutup matamu? Apa kau tidak sudi melihat senyumku lagi? Apa perempuan itu lebih memiliki senyuman yang indah dibandingkan diriku?"
Bibirku mencium setiap jengkal lehermu. Aku tidak ingin melewatkan setiap inci dari aroma tubuhmu. Bibirku mengecup telingamu. "Aku tidak akan membiarkan perempuan itu memilikimu! Selamanya kau harus mencintaiku, Sayang." Cintailah mawarmu ini sampai kau tak mampu menggenggamya lagi. Sampai mawar ini benar-benar mati. Sayang, tataplah aku!
Tetapi, kau tetap diam. Tidak menjawab pertanyaanku. Tidak menjawab kata-kataku. Oh, iya. Apa karena pisau ini menancap tepat di ulu hatimu? Apa karena pisau ini kau memejamkan matamu? Kau benar-benar laki-laki lemah, Sayang. Sakit hatiku lebih dalam dari tancapan pisau ini. Kau katakan biar karma yang menghampiri semua kesalahanmu. Biarkan saat ini dan seterusnya aku yang menjadi karmamu untuk menebus dosamu padaku.
Tanganku mencabut pisau yang menancap di tubuhmu. "Saat ini dan selamanya kau akan tetap milikku." Aku lekas menancapkan pisau penuh darahmu tepat di jantungku. Sangat perih, pedih. Kau dan aku sama-sama terbaring dengan pisau keabadian kita. Sakit! Aku masih berkesempatan menatap tubuh yang membiru itu. Aku mencintaimu, Sayang.
*Mahasiswa Jurusan Guru Pendidikan Anak Usia Dini TM 2014
Komentar
Kirim Komentar