Perempuan, Saatnya Kerja Nyata
emansipasi (f/salim)
Emma Yohanna
Sebelum era 60-an, perempuan adalah kaum yang terpinggirkan hak-haknya dalam mendapatkan akses pendidikan, berpartisipasi dalam kegiatan politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Perempuan bahkan dianggap sebagai kaum golongan kedua setelah laki-laki. Tak heran jika kaum perempuan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Di Eropa, status sosial perempuan yang dinomorduakan ini mendapat pertentangan melalui gerakan feminisme. Gerakan yang menuntut kesetaraan gender (gender equality) ini tepatnya dimulai pada abad ke-17 di mana inisiatornya adalah seorang wanita bangsawan Perancis bernama Simone de Beauvoir yang menyuarakan pemikiran melalui karya sastranyaThe Second Sex. Sementara itu, gerakan feminisme modern dimulai di Amerika Serikat pada 1960-an yang dipelopori oleh kaum intelektual, seperti Virginia Woolf dan Charlotte Perkins.
Sedangkan di Indonesia, gerakan feminisme dipelopori R.A. Kartini melalui hasil pemikirannya dalam buku HabisGelapTerbitlahTerang. Meski tidak seagresif pergerakan aktivis perempuan Eropa, R.A. Kartini tetaplah seorang inisiator dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia. Perempuan pada masa kolonial Belanda direpresentasikan sebagai golongan yang bertugas di dapur, di sumur, dan di kasur. Mereka tidak perlu mendapatkan pendidikan dan tidak diberikan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sementara, kaum laki-laki diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan dan terlibat aktif dalam urusan politik. Ketidakadilan semacam ini yang kemudian mendorong R. A. Kartini memperjuangkan hak perempuan-perempuan Indonesia dalam mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dan berpolitik. Ia mulai menciptakan perkumpulan wanita untuk istri-istri pejabat pemerintahan ketika itu.
Seiring dengan dihargainya hak-hak perempuan, darmawanita, ibu-ibu PKK, kegiatan organisasi wanita lainnya kemudian bermunculan. Akhirnya, perempuan di abad ke-21 ini telah memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam memperoleh pendidikan, berpartisipasi dalam urusan politik, ekonomi, dan penanaman serta pelestarian nilai-nilai sosial dan budaya.
Sayangnya, ada segilintir organisasi perempuan yang salah menginterpretasikan kesetaraan gender laki ini. Mereka adalah feminis radikal (radical feminism). Menurut feminis radikal, perempuan tidak seharusnya mengurus urusan rumah tangga, melayani suami, dan mengasuh anak-anak. Golongan feminis radikal melihat pekerjaan perempuan di rumah tangga tersebut sebagai bentuk penindasan yang dilakukan kaum pria terhadap wanita. Mereka menuntut untuk dibebaskan dari kungkungan rutinitas di rumah tangga dan menunjukkan eksistensi melalui cara yang malah merusak citra diri mereka sendiri. Misalnya mereka yang menjual diri demi mendapatkan jutaan rupiah atau yang tidak menikah lantaran tidak mau menghormati laki-laki sebagai suaminya.
Sebaliknya, golongan perempuan yang menginterpretasikan kesetaraan status antara perempuan dan laki-laki dengan baik serta saling menghormati pun juga ada. Golongan perempuan ini sadar bahwa kesetaraan bukan berarti perempuan harus menjadi seperti laki-laki—harus perkasa, bisa bekerja di kantor hingga larut malam, atau bisa bepergian ke mana saja tanpa memikirkan keselamatan dirinya. Perempuan-perempuan ini percaya bahwa mereka juga bisa berkontribusi dengan cara mereka sendiri.
Kontribusi dalam dunia pendidikan misalnya adalah dalam pembentukan karakter peserta didik. Naluri keibuan para perempuan membuatnya lebih bersahabat, sabar, dan paham dalam membentuk karakter peserta didik. Maka tak salah jika orang bijak mengatakan bahwa perempuan itu tiang negara. Perempuan adalah kelompok yang membangun tiang-tiang kokoh negara berupa kepribadian tangguh para generasi muda bangsa.
Tokoh wanita Indonesia dalam sejarah yang memiliki di dunia pendidikan adalah Dewi Sartika. Wanita ini sejak tahun 1902 telah merintis sekolah untuk perempuan. Pada tahun 1904, Dewi Sartika membuka sekolah perempuan pertama di Hindia-Belanda dengan nama Sekolah Istri. Berkat beliau, perempuan hari ini dapat merasakan nikmatnya mengakses pendidikan seperti halnya kaum laki-laki.
Fase memperjuangkan hak-hak perempuan sebenarnya telah selesai sejak tanggal 8 Maret 1978, hari di mana PBB mengakui tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Mulai hari itu seluruh perempuan di dunia dihargai dan dihormati keberadaannya setara dengan kaum laki-laki. Hari ini, adalah tugas para perempuan di seluruh dunia untuk mempertahankan hak-hak mereka dengan cara yang bermartabat.
Dalam rangka membantu para perempuan menikmati hak-haknya, PBB juga memiliki program MDGs (Millenium Development Goals) yang bertujuan untuk mengaplikasikan kesetaraan gender dan untuk memberdayakan perempuan. Salah satu program pemberdayaan perempuan misalnya dengan memberikan sekolah keterampilan bagi yang tidak memiliki biaya untuk bersekolah. Di sekolah tersebut diberi keterampilan praktis untuk menyokong kehidupan seperti keterampilan menjahit, memasak, menenun, dan sebagainya.
Perempuan di abad ke-21 ini sudah berada pada fase berkontribusi untuk bangsa, bukan untuk memelopori kegiatan-kegiatan controversial, seperti menuntut pemerintah mendukung hak perempuan untuk berbusana sesuai keinginan. Alasan bahwa berpakaian terbuka bagi perempuan adalah bagian dari HAM malah akan menurunkan martabat kaum perempuan. Begitu juga dengan pernyataan bahwa wanita memiliki hak untuk mempergunakan tubuhnya tanpa dibatasi oleh peraturan pemerintah. Itu merupakan pernyataan yang kekanak-kanakan. Larangan berbusana seksi adalah bentuk perhatian pemerintah terhadap harga diri perempuan sekaligus perlindungan terhadap perempuan agar aman dari kejahatan perkosaan. Harga dirilah yang membuat seorang perempuan dihargai, bukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Seperti kebijakan Walikota Surabaya untuk memberantas Gang Dolly (tempat prostitusi). Ketika pemerintah melarang praktik prostitusi, pemerintah membuat perempuan mampu mengaktualisasikan diri melalui keterampilan. Dengan begitu, perempuan akan mendapatkan penghargaan dari kaum laki-laki. Tidak lagi menjadi objek pemuas nafsu belaka.
Saatnya perempuan-perempuan Indonesia memberikan karya terbaik bagi bangsa atau setidaknya bagi komunitas di sekitarnya. Sebagai tiang negara, memang perempuan seyogianya berkarya untuk mempersiapkan generasi Indonesia yang kokoh dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Komentar
Kirim Komentar