Saatnya Melakukan Revolusi Pendidikan Indonesia
22-03-2015, 23:47 WIB
Rino, S.Pd, M.Pd, M.M.
Tidak semua orang akan setuju dengan ide revolusi pendidikan, pun tidak sedikit juga yang menginginkan ide revolusi untuk segera digulirkan terutama kalangan ilmuan, praktisi pendidikan, serta mereka yang peduli dan memiliki keprihatinan yang tinggi. Suramnya dunia pendidikan telah menjadi tema-tema yang umum dibahas dalam berbagai acara berupa seminar, lokakarya, diskusi nasional maupun daerah dengan publikasi yang luas oleh media, baik cetak maupun elektronik. Bahkan, terkadang menjadi berita yang sensasional dan menempati headline pada beberapa media.
Human Development Indeks (HDI), tawuran pelajar, perbuatan asusila, korupsi dana pendidikan, jatuhnya nilai UAN siswa, nepotisme pendidikan, jual beli gelar, anggaran pendidikan, dan mungkin masih banyak lagi topik menarik lainnya yang dibicarakan sebagai hasil temuan yang diramu dari berbagai referensi. Ironisnya tema-tema kesuksesan pendidikan sepertinya tidak mendapat tempat pada acara itu. Keberhasilan putra/putri Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa di beberapa event olahraga, seni, dan sains, kurang mendapat porsi pemberitaan yang besar oleh media dan tidak begitu menarik untuk dijadikan bahasan dalam seminar. Mereka yang telah berjuang dan mendapat award sepertinya hanya dianggap sebagai peristiwa biasa saja. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang mencoba pindah kewarganegaraan untuk sebuah prestasi, harapan, serta cita-cita besarnya.
Mungkin kita akan sepakat mengatakan bahwa ini tidak adil, bahwa kegagalan sering diekspos sebagai berita besar, sementara keberhasilan tidak mendapat hal yang sama. Sorotan tajam dari berbagai pihak yang berkepentingan dialamatkan kepada sebuah kegagalan. Bermacam opini dimunculkan dari sudut pandang dan responden yang berbeda. Yang dimintai komentar akan berbicara sesuai dengan kapasitas keilmuan dan kepentingannya. Ketika keberhasilan dan prestasi diukir, komentar masyarakat sepertinya bernada sama dan tidak ingin terlalu jauh mengomentari hingga kepada sebuah pandangan analitis, cukup sampai di sana saja.
Ada beberapa kondisi objektif yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, mutu tenaga pendidikan. IKIP/LPTK adalah institusi yang memiliki otorisasi mencetak tenaga kependidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Akan tetapi persolan mendasar adalah kualitas dan kompetensi lulusannya untuk menjadi seorang guru yang profesional banyak menuai kritikan dari dalam maupun luar institusi ini. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia dalam laporannya pada musyawarah nasional di Bandung tahun 1994 menyatakan bahwa selama hampir dua dasawarsa ini yang memilih masuk IKIP/LPTK bukan lulusan yang termasuk top ten di sekolahnya. Dengan perbedaan skor yang sangat signifikan antarpelamar, berarti pendidikan anak bangsa diserahkan kepada mereka yang tidak terlalu istimewa, sehingga output yang dilahirkan tentunya tidak seideal yang diinginkan oleh IKIP/LPTK.
Kedua, komitmen pemerintah. Sampai hari ini kita masih menaruh harapan besar dengan anggaran pendidikan yang diamanatkan konstitusi sebesar 20% dari APBN. Tentunya banyak hal yang dapat dilakukan dengan anggaran yang besar itu. Pendidikan gratis, dana Bantuan Operasional Sekolah, Kurikulum Berbasis Kompetensi, komite sekolah, dan bangunan sekolah yang representatif, serta sarana dan prasarana yang mendukung, dalam tataran konsep kebijakan itu perlu didukung dengan harapan dan tentunya sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi pengejawantahan di lapangan adalah kebijakan yang belum dilakasanakan sesuai dengan amanat konstitusi. Anggaran pendidikan yang 20% sangat sulit diupayakan oleh pemerintah dengan berbagai alasan.
Ketiga penataan sistem pendidikan. Sistem pendidikan hari ini masih jauh dari sempurna. Seharusnya pemerintah segera merumuskan kembali arah pembangunan manusia Indonesia dengan mengundang seluruh cendekiawan dan orang-orang terbaik di negeri ini untuk duduk bersama membicarakan persoalan yang amat mendasar ini. Sistem pendidikan setiap negara tidak sama dan sangat dipengaruhi oleh kulturnya, Indonesia adalah negara timur yang memiliki tingkat pluralisme yang tinggi, sistem pendidikan nasional harus menjadikan kultur timur sebagai akarnya. Akan tetapi tidak perlu memperbesarkan antagonisme barat. Bagi Natsir konsep pendidikan yang unggul itu adalah konsep pendidikan yang tidak parsial sangat universal yang mengadopsi segala keunggulan dari budaya barat dan mengolaborasikan dengan khasanah sebagai orang timur. Sistem pendidikan barat yang bersifat efficiency tidak boleh ditolak mentah-mentah kalau hanya dari kebaratannya. Paradigma pendidikan sebagai agen perubah dan modernisasi perlu dicamkan, sementara paradigma lama pendidikan sebagai pengawet kebudayaan perlu dikaji ulang dalam peniatannya. Sehingga, akan lahir pendidikan dengan sistem handal yang mengakar serta memiliki paradigama baru. Oleh karena itu, penataan sistem pendidikan harus dilakukan seluas-luasnya.
Keempat kontribusi perguruan tinggi dan kaum intelektualnya. Seberapa besar kontribusi perguruan tinggi terhadap pendidikan hari ini? Tentunya ini sangat menarik untuk dibahas. Selama ini perguruan tinggi non-IKIP/LPTK, sepertinya hanya disiapkan mengisi formasi tenaga kerja di luar sektor nonedukatif. Alangkah lebih baik pendidikan juga dipikirkan oleh perguruan tinggi non-IKIP/LPTK sehingga formasi guru dan tenaga edukatif juga menjadi kewajiban bersama. Harus diakui peran perguruan tinggi dalam meningkatkan daya saing bangsa masih jauh dari harapan. Kontribusi kaum intelektual dalam membangun bangsa belum optimal. Di samping itu, fenomena menarik adalah banyak kaum intelektual yang beraktivitas di luar kampus, seperti pengusaha, politisi, birokrat, dan selebritis. Menurut Frans Magnis Susesno, hal itu tidak masalah. Namun, kaum inteletual tidak lantas berkhianat dengan membuat keputusan atau mengambil kebijakan yang bertentangan dengan keintelektualannya.
Kelima, politisasi pendidikan. Penetapan arah kebijakan serta rencana strategi pendidikan nasional hendaknya diupayakan secara maksimal, berkelanjutan, sinergis, menyeluruh, dan terukur. Tidak harus ada perubahan kebijakan mendasar ketika terjadi suksesi kepemimpinan nasional. Kalaulah setiap pergantian kepemimpinan nasional terjadi perubahan kebijakan pendidikan tentunya akan berangkat dari nol kembali. Sementara itu kebijakan pendahulu masih relevan. Jika seperti itu, terjadilah kebijakan tambal sulam. Tindakan politisasi kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan untuk kepentingan kelompok tertentu merupakan salah satu penyebab terhambatnya perkembangan kualitas pendidikan bangsa. Sektor pendidikan harus dijalankan terbebas dari tendensi politik dan secara independen harus diberikan otorisasi yang luas.
Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang
Komentar
Kirim Komentar