Pendapat: Kebablasan dalam Moderenisasi
Wahida Nia Elfiza
"Opini menyebabkan begitu banyak masalah di bumi ini daripada wabah atau gempa bumi. Dengan memperuncing perbedaan pendapat, hal tersebut bisa mendatangkan bencana." – Voltaire
Bahasa punya rasa. Rasa bagi para pemilik telinga. Hingga akhirnya rasa akan berwujud dalam bentuk respon bernilai etika atau tidak beretika. Perwujudan respon yang beretika atau tidak, berawal dari stimulus yang diberikan telah bernilai atau tidak bernilai sama sekali. Dalam hal ini, asal muasalnya adalah bahasa. Bahasa yang diungkapkan melalui mulut yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Anugerah Tuhan yang satu ini sepertinya memang harus dijaga baik dengan logika dan tata krama. Jika kedua hal ini tidak ada, maka output dari mulut akan sia-sia bahkan tidak berguna. Maka tidak salah pepatah mengatakan mulutmu harimaumu.
Sebuah objek yang disebut bahasa, tidak akan jauh dari suatu kegiatan yang bernama "bicara". Bicara adalah hak asasi setiap manusia. Melirik modernisasi zaman yang semakin canggih dan berkembang saat sekarang, setiap orang telah memiliki kebebasan dalam berbicara untuk mengemukakan ide serta pendapat tanpa tekanan dari siapapun karena hal tersebut merupakan bentuk usaha kreatif dalam mengelola pikiran. Namun, apakah kebebasan berpendapat pantas melenggang tanpa kontrol dan etika?
Etika dalam berpendapat muncul bak harmonisasi. Keterkaitannya seperti melodi dalam sebuah lagu. Tanpa etika, sebuah pendapat akan terasa keras, bising, dan tidak menenteramkan. Sehingga hanya akan menghasilkan pendapat yang kebablasan bahkan bisa saja menjadi bumerang bagi si pemiliknya. Seperti kasus yang menimpa seorang warga Ciracas, Jakarta Timur dengan inisial nama MA. MA ditahan di markas besar kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan penghinaan yang telah dilakukan terhadap presiden terpilih Ir. Jokowi Widodo beberapa waktu lalu. Setelah ditelusuri lebih lanjut, MA yang berprofesi sebagai tukang tusuk sate ini, hanya terjebak dengan situasi politik yang panas saat pemilihan presiden Juli lalu, sehingga menyebabkannya memuat beberapa gambar yang mengandung unsur SARA dan penghinaan. Singkat cerita, akhirnya MA dijerat pasal berlapis, yaitu pasal pencemaran nama baik dalam undang-undang ITE dan UU pornografi dengan ancaman hukuman 10 tahun dipenjara.
Kasus kebablasan berpendapat juga dialami Florence, Mahasiswa Pasacasarjana (S2) Universitas Gajah Mada. Florence yang kesal terhadap pelayanan sebuah SPBU di Yogyakarta menghina kota para sultan itu dengan kicauannya di media sosial. Akibat kicauannya itu, masyarakat Yogyakarta pun marah dan memperkarakannya. Florence pun nyaris dipenjarakan, sebelum akhirnya ia dimaafkan karena telah mengaku menyesal dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus serupa yang tidak sempat diekspos media. Dari kasus di atas, tersirat sebuah pelajaran, bahwasanya sebuah etika dalam berpendapat telah digerogoti oleh asas yang bernama kebebasan. Kebebasan yang telah merongrong dan membabi buta. Hal ini jelas mengancam sistem demokrasi Indonesia yang telah menjamin kebebasan dalam berpendapat. Sebuah etika dalam berpendapat secara eksplisit mampu membuat saran serta pendapat seseorang lebih berisi dan terkesan harmonis dengan lingkungan sosial. Sehingga jelas tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi siapapun.
Etika memang terlalu luas dan panjang untuk dibicarakan. Sedangkan, setiap tempat atau wilayah punya kriteria etika yang berbeda-beda dalam berpendapat. Namun, jika dirasakan perlakuan yang dianggap baik oleh hati nurani seseorang, mungkin tidak akan jauh berbeda dengan anggapan lingkungan luarnya, karena sejatinya hati nurani tidak pernah berbohong.
Dalam berpendapat, etika seperti penggunaan bahasa yang baik, sopan, dan santun merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dilupakan, karena tiga kriteria bahasa tersebut akan menuai sebuah respon dan dampak dari pendapat yang diungkapkan. Selain penggunaan bahasa, sikap menghargai dan simpati terhadap pendapat orang lain juga tidak kalah pentingnya. Sebab, seorang manusia punya hak untuk dihargai tanpa terkecuali, meskipun pendapat yang disampaikan belum memenuhi kriteria yang seharusnya, namun menolak pendapat tersebut seharusnya tetap dalam koridor cara yang bermatabat sehingga kesan menghargai masih membayang dalam lalu lintas argumentasi.
Yang terakhir, hendaknya pendapat yang disampaikan tetap berpedoman pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Karena sebuah norma merupakan akar keteraturan dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Sebuah norma akan melindungi masyarakatnya dari hal-hal buruk yang akan terjadi dalam ruang sosial. Sehingga norma dianggap penting dalam beraktivitas termasuk berpendapat. Pada intinya etika dalam berpendapat tidak boleh terkikis dan menipis. Etika harus tetap ada dan tumbuh walaupun roda modernisasi terus bergulir. Sehingga akan tetap lahir dan tercipta generasi kritis, bebas, dan bertanggung jawab dalam berpendapat.
Komentar
Kirim Komentar