Kontroversi UU PPA
Riri Haryati
Penodaan agama bukanlah kasus yang baru. Masih lekat diingatan, tahun 2005, umat Islam heboh karena terjadi pelecehan terhadap Rasulullah Saw. Sebuah karikatur Muhammad terpampang di sampul depan sebuah media massa Denmark. Di Perancis terjadi paham sekularisme, masyarakat muslim dilarang untuk memakai berbagai atribut keagamaan. Sedangkan di Indonesia, fenomenanya adalah banyaknya agama-agama baru yang disinyalir beraliran sesat dan melecehkan agama Islam. Salah satu contohnya adalah ajaran Ahmadiyah, yang mengganti ayat Al Quran dan mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Lalu timbul pertanyaan kenapa pelecehan itu ditujukan pada umat Islam?
Sebenarnya pada 27 Januari 1965, Presiden Soekarno telah mensahkan adanya Undang Undang tentang Pencegahan Penodaan Agama, yang sering disebut dengan UU-PPA. Dalam pasal 1 undang-undang ini disebutkan, "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu". Pasal tadi jelas menegaskan larangan untuk melecehkan satu agama yang diakui oleh Negara Indonesia. dalam berbagai bentuk tindakan.
Walau demikian, kenyataanya sekarang menunjukkan masih adanya pertentangan mengenai undang-undang tersebut. Di satu pihak, ada yang menginginkan UU-PPA dihapuskan karena menghambat kepentingannya, kepentingan untuk menjalani rutinitas. Hal ini seperti yang dialami mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto. Dia mendekam selama lima tahun di penjara lantaran mengeluarkan jajak pendapat tokoh terfavorit dan hasilnya menempatkan Nabi Muhammad di posisi ke-11 (kompas.com). Bagi mereka yang dirugikan oleh UU ini, menganggap UU-PPA mengancam kebebasan berpendapat mereka.
Namun, masih ada orang-orang yang menginginkan UU-PPA tetap ada. Pertimbangan yang diberikan memiliki dasar yang kuat, yaitu kekhawatiran akan lahirnya berbagai agama sempalan, yaitu agama pecahan. Sehingga secara tidak langsung mengindikasikan akan lahirnya banyak agama baru namun masih mencaplok dasar ajaran sebuah agama dan masih berada dalam satu ruang lingkup agama yang besar. Misalnya kelahiran Ahmadiyah yang telah dipaparkan sebelumnya, yang nantinya bisa melecehkan agama lainnya.
Di negara-negara barat masih terdapat UU terkait Penodaan Agama, yaitu ‘Religious Blasphemy Law’. Tapi pada umumnya UU ini cenderung tidak digunakan lagi, meskipun tidak dicabut. Undang-undang ini disebut juga dengan ’Religious Blasphemy Law’. Saat ini Religious Blasphemy Law dianggap sudah semakin permisif dengan munculnya banyak ucapan dan penggambaran yang bisa dikategorikan sebagai penodaan agama. Padahal, yang demikian itu telah dianggap sebagai hal yang biasa di sana.
Dari kontroversi tadi, timbullah semacam pertentangan pendapat. Yang pertama mengenai makna kebebasan yang menurut sebagian orang menjadi hilang. Seperti kebebasan pers untuk memuat sebuah karya. Pers yang diusung agar bisa bergerak bebas dan independen, menjadi terbatas dalam publikasinya. Dampaknya adalah terkekangnya keleluasaan dalam menyuarakan aspirasi serta dinilai diskriminatif pada suatu pihak.
Kedua, saat ditilik dari sisi positifnya maka akan tergambar bahwa maksud dan tujuan undang-undang ini adalah untuk meminimalisir orang-orang yang akan melecehkan agama lainnya, yang secara nyata ditujukan untuk Agama Islam. Penegakan undang-undang ini akan memberikan sebuah perlindungan terhadap eksistensi suatu agama dalam koridor hukum. Lebih lanjut, undang-undang ini kiranya masih dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan beragama di Indonesia. Negara membentuk undang-undang itu sebagai pelaksanaan tanggung jawab untuk melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum.
Tampaknya pro kontra yang timbul dari adanya kepentingan. Kepentingan yang tidak bisa sejalan, namun saling berkaitan. Dimana orang yang menolak undang-undang ini melihat dari dalam kacamata kepentingannya. Kepentingan untuk bertahan dan laju dalam profesionalitasnya. Sedangkan yang setuju pun tampaknya juga masalah kepentingan, yaitu kepentingan umat Islam secara khususnya dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Jika dibawakan dalam analogi untung-rugi, maka harus dilihat secara objekif bagaimana tingkat manfaat yang dapat diperoleh. Kalau undang-undang ini tidak dilaksanakan maka yang teruntungkan adalah beberapa pihak. Coba bandingkan dengan dampak yang timbul jika undang-undang ini berlaku, yaitu keuntungan umat Islam Indonesia, yang merupakan agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia. Jika ingin mengorbankan kepentingan banyak orang demi kepentingan sekelompok orang, rasanya akan mendatangkan mudharat yang besar. Sedangkan jika berpikir terbalik, dengan mengorbankan kepentingan sekelompok orang demi kepentingan umat, tentu ini lebih potensial.
Selanjutnya, tentu tak ada yang mau melakukan penindasan terhadap sesamanya. Sehingga menurut penulis perlu sebuah terobosan untuk bisa mengembalikan hak segelintir orang ini untuk berpendapat. Begitu pula hak untuk menghentikan penindasan maupun pelecehan terhadap sebuah agama. Sehingga akan lahir keseimbangan tanpa ada pihak yang dirugikan..
Sebuah revisi merupakan jawaban yang tepat untuk kontroversi UU-PPA ini. Sehingga nantinya akan terjadi sebuh simbiosis yang sama-sama menguntungkan. Dimana bagi mereka yang merasa kebebasannya terancam bisa menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Sedangkan bagi mereka yang akan mencoba-coba untuk melecehkan agama tertentu akan berfikir dua kali untuk berbuat yang demikian itu. Sehingga agama-agama sempalan tidak lahir dan berkembang begitu saja karena masih ada satu UU yang bisa menjerat mereka.
*Mahasiswa Pendidikan Geografi UNP TM 2007
Komentar
Kirim Komentar