In Memoriam Ady Rosa (1952-2014)
Mestika Zed
Drs. Ady Rosa, M.Sn, dosen FPBS Universitas Negeri Padang, meninggal dunia pada Rabu, pukul 03.10, tanggal 16 Juli 2014, setelah terserang stoke dan di rawat di RS Yos Sudarso Padang, beberapa hari sebelumnya. Sebagai biasanya, penghormatan almamater kepada almarhum, jenazahnya sempat disemayamkan di Rektorat UNP untuk selanjutnya dilepas dan disholatkan di masjid Kampus ‘Alazhar’, Air Tawar, sebelum diantar ke peristirahatan terakhir.
Dilahirkan di Jakarta pada 23 Juli 1952, suami dari Ibu Farida Idrus (guru SMK 4 Padang), dengan dua orang anak, Dipa Aditya Rosa dan Dibya Prayasitta Somya Rosa, adalah asli putra Minangkabau dan tercatat sebagai dosen tetap FPBS UNP dan kandidat doktor Universiti Kebangsaan Malaysia.
Sepanjang kariernya, Pak Ady Rosa juga dikenal sebagai peneliti yang tekun, perupa, kurator seni, dan instruktur desain kerajinan pada pelatihan kerajinan daerah serta aktif dalam pelbagai events budaya nasional, a.l. "Festival Istiqlal" Jakarta (1995). Keterlibatannya dalam pelbagai kegiatan ini membuat dirinya menjadi dosen yang sibuk, bukan untuk mengajar sana sini, melainkan dalam kerangka memenuhi panggilan tugas Tri Dahrma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat).
Kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan tak diragukan lagi, khususnya di bidang seni tato, sehingga membuat namanya dikenal di dunia internasional sebagai ahli tato Indonesia satu-satunya. Penelitian masternya (S2) di ITB, tentang "Eksistensi Tato sebagai Salah Satu Karya Senirupa Tradisional Mentawai (ITB, 1994) dan karya-karyanya yang lain dikutip dan keahliannya yang unik itu membuat dirinya sering diundang media atau oleh lembaga penelitian seperti LIPI Jakarta. Beberapa penelitiannya yang lain ialah "Studi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Suku Terasing Mentawai di Desa Sotboyak Kecamatan Siberut Utara" (Depsos, 1995), "Fungsi dan Makna Tato Serta Implikasinya pada Peri-laku Kehidupan Sosial Budaya dalam Pembangunan" (Hibah Bersaing PT, 1997-1999), dan "Kajian Semiotik dan Mitologis tentang Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai" (1999).
Ketekunannya dalam penelitian tato Mentawai selama lebih sepuluh tahun membawa dirinya terbiasa menelusuri kampung-kampung terpencil, keluar masuk hutan Mentawai, khususnya Siberut. Justru karena keahliannya di bidang yang satu ini, membuat dirinya dijuluki oleh media dan juga dosennya di ITB sebagai "Jenderal Tato".
Salah satu temuan penelitiannya mengatakan bahwa tradisi seni tato Mentawai sebenarnya jauh lebih tua usianya daripada tato Mesir, seperti yang dikenal selama ini. Ensiklopedi terkemuka dunia, Encyclopaedia Britannica, mencatat bahwa tato tertua ditemukan pada mumi di Mesir (1300 SM), tetapi Ady Roda dalam penelitian mengatakan bahwa orang Mentawai sudah menato badan mereka sejak Zaman Logam (1500 SM-500 SM). Tato, yaitu lukisan pada bagian organ tubuh tertentu, atau seluruhnya, adalah seni lukis tradisional, sama halnya dengan lukisan di gua zaman prasejarah, memiliki makna simbolik bagi pelakunya, umumnya tekait dan dunia kehidupan masyaraktanya, status, kelas sosial dan jati diri serta makna soisologis lainnya. Ini tentu amat beda fungsinya dengan trend tato di kalangan pesepak bola atau selebritas akhir-akhir ini. Para pesohor Indonesia seperti Ayu Azhari, Yuni Arso, Rebecca Tumewu, Jajang C. Noer, Karenina, Dian Nitami, Anjasmara, Cut Keke, Inneke Koesherawaty, dan Ari Sihasale–untuk menyebut sejumlah nama–juga bertato, tetapi bagi mereka tato hanyalah sekedar kesenangan, hobby, memuaskan nafsu ikut trend budaya pop, "sedang tato tradisional, selain unik dan dashyat juga syarat simbol dan makna. Cuma sayangnya, tato tradisional ini terancam punah," kata Drs Ady Rosa MSn sekali waktu (Kompas, 2/2/2001).
Dua menggu sebelum kepergiannya, Pak Ady sempat hadir untuk memberi dukungan semangat kepada koleganya di Jurusan Senirupa, yang mempresentasikan hasli penelitian S3-nya di Pascasarajana UNP., di mana saya menjadi salah seorang pengujinya. Tak ada tanda-tanda kepergiannya yang begitu cepat. Hanya saja kondisi fisiknya waktu itu tampak agak letih. Sehabis sidang dia pernah mengatakan dengan suara rendah kepada saya bahwa dia akan bertekad untuk melanjutkan risetnya tentang seni tato Indonesia, terutama di dua daerah lain: Dayak di Kalimantan dan Sumba di NTB. Itulah perjumpaan terakhir saya dengan Pak Ady. Meskipun keahlian kami berbeda satu sama lain, sekali-sekali kami tetap saling menyapa dan beliau juga pernah mampir ke pusat kajian saya, PKSB, FIS, UNP untuk bertukar fikrian. Kepergian Pak Ady pastilah merupakan kehilangan bagi keluarga, termasuk komunitas akademik di UNP dan dunia ilmu pengetahuan umumnya. Terlebih lagi karena dia terbilang salah seorang dari sedikit pengajar UNP yang memiliki reputasi ilmiah yang baik, di kenal di dalam dan di luar kampusnya. Selamat jalan Pak Jenderal. ***
Komentar
Kirim Komentar