Cermin Diri
Ranti Maretna Huri
Dimensi kehidupan selalu menawarkan beberapa pilihan untuk segera dijadikan sebuah keyakinan. Sebagai insani yang berpijak pada belantara sang pencipta, pemilik lakon kehidupan sering lupa dengan esensi keberadaannya sebagai seorang hamba. Terkadang merasa puas dengan tirani, lalu terasingkan oleh kejamnya sebuah akhir yang menggelapkan.
Mereka yang tak pernah memiliki pondasi kehidupan sebagai makhluk Tuhan, selalu merasa hidup dalam sebuah dunia yang gelap. Dalam dunia yang setiap orangnya masih meraba-raba. Mencoba, mengulang, lalu memformulasikan sebuah cara. Dan akhirnya tidak menemukan denyut nurani. Tidak merasakan sentuhan kasih dan tidak melihat sorot mata persahabatan yang tulus.
Beberapa praduga pun bermunculan, hingga tersebutlah, bahwa mungkin saja mereka telah melupakan Tuhan. Dalam hal ini, manusia mungkin saja tengah mengalami krisis moral. Hilang kendali dalam berpijak, tak lagi teguh dengan keyakinan, dan seolah telanjang dari balutan akhlak sabagi riasan diri. Dalam hidupnya, di setiap sudut sebuah tampakan, selalu ada pembatas yang harus dipagarkan pada diri. Untuk mewawas diri agar tak lepas dari kendali. Lost control, hingga membuat semua membaur dalam hitamnya sebuah kegelapan.
Realitas kini, dunia yang menyeret manusia di dalamnya kepada ambang krisis perilaku dan moralitas. Krisis ini menimbulkan begitu banyak ketidakseimbangan di dalam kehidupan masyarakat yang tentunya sama sekali tidak menyampaikan pesan kebahagiaan kepada umat manusia. Hal ini berujung pada penyimpangan pemikiran. Menimbulkan aura-aura pikiran negatif dan bersarang dalam otak.
Tiada lagi pengharapan pada kemunculan prasangka baik, jika diri sudah dibaluti dengan pandangan buruk dan keterpurukan yang teramat dalam. Model kepribadian yang memadukan segala bentuk kefrustasian, prasangka-prasangka tak mengenakkan, juga munculnya antagonisme dalam pendidikan moral.
Keadaan serupa ini tentu saja mengkhawatirkan. Sebab utama yang dapat menghantarkan umat kepada bentuk dunia, di mana tak lagi mengenal diri, terutama Tuhannya. Manusia bisa saja nantinya memelihara penyakit syubhat dan syahwat, yang bersumber dari kelemahan akal dan jiwa. Semakin menjauhkan manusia dari agama Allah.
Realitas yang begitu memprihatinkan ini telah diprediksikan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya: Dari Said Al-Khudri, dari Nabi saw bersabda: "Kamu pasti akan mengikuti sunah perjalanan orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga walaupun mereka masuk lubang biawak kamu akan mengikutinya" (H.R. Bukhari dan Muslim). Bahwasannya kehidupan ingar bingar di dunia telah membawa manusia pada jalan yang sudah tak lagi dikenali. Jauh dari hubungan sosial yang baik, pun dengan kedekatan pada Illahi. Nilai-nilai Islam yang mencakup semua sektor kehidupan manusia, perlu ditanamkan kembali.
Tersebutlah akhlak, suatu tingkah laku yang harus terpelihara dalam diri manusia. Perangai baik yang tidak hanya diperbuat sekali saja, namun harus dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi sebuah kebiasaan berbudi luhur nan terpuji. Akhlak mestilah didamba dan dijadikan sebagai bunga diri. Perias dalam setiap kebiasaan-kebiasaan pribadi. Serta menjadikannya seumpama sinar dalam setiap amalan dan tingkah laku.
Akhlak dipelihara berupa pagar yang akan melindungi diri manusia dari tindak-tanduk di luar batasan agama. Entah itu pengaruh dari kehidupan dunia yang semakin lama semakin tak terjangkau oleh diri, pun dengan pribadi yang masih belum cukup puas mendapatkan kefanaan dunia, hingga ingin meminta lebih, lagi dan lagi. Di sini lah akhlak memainkan perannya. Perlindungan oleh akhlak yang sesungguhnya timbul dari dalam diri insani. Proteksi untuk menghadapi kehidupan zaman yang semakin lama kian buram saja. Tentu saja akhlak berbudi yang semestinya sudah tertanam sedari dini.
Adapun akhlak ialah sebuah penerangan dalam hidup. Penuntun jalan-jalan yang telah menggelap di dunia, hingga manusia dapat beranjak dari sebuah keadaan kelam menuju pencerahan jiwanya. Kembali pada tujuan yang menjadi muara segala kehidupan makhluk di dunia, yaitu Yang Maha Esa.
Allah dalam surahnya berfirman, "Maka, barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (Q.S. Al-Baqarah: 38). Kenyataannya, Allah telah menyebutkan dalam ayat di atas, bahwasannya akan menghapus seluruh kegelisahan yang besarang dalam diri manusia. Segala keduniawian yang melunturkan keyakinan untuk melangkahkan diri pada kehidupan yang dipunya. Hanya saja manusia perlu kembali menuju jalan Allah, berbalutkan iman dan akidah yang dipupuk melalui akhlak luhur.
Sejatinya manusialah yang cenderung bergerak perlahan-lahan menjauhi agama dan Tuhannya. Karena Allah tak pernah meninggalkan hambanya, entah itu dalam kebajikannya, sekalipun terpuruk dalam kepekatan dunia.
Komentar
Kirim Komentar