Generasi (Tanpa) Sejarah
06-11-2014, 22:58 WIB
Novi Yenti
Indonesia patut bersyukur untuk segenap sejarah yang dimilikinya. Karena dari sejarah, Indonesia bisa meraup banyak pelajaran yang dijadikan acuan untuk kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Perjuangan panjang masyarakat Nusantara dalam mempertahankan tanah air seharusnya selalu diingat dan diingatkan agar Bhineka Tunggal Ika masih tetap terjaga.
Banyak tokoh yang patut dijadikan panutan dalam kehidupan bernegara. Pemikiran-pemikiran para tokoh terdahulu yang hidup di zaman yang belum secanggih sekarang, ternyata bisa menyatukan Indonesia yang tidak satu daratan. Bahkan saat pendidikan tidak semudah saat ini, pahlawan tanah air mampu menanamkan semangat juang pada generasi selanjutnya. Contohnya saja Tuanku Imam Bonjol yang menggugah naluri juang Mohammad Hatta untuk turut campur tangan memerdekakan tanah Air.
Roeslan Abdul Ghani mengatakan bahwa ilmu sejarah ibarat penglihatan terhadap tiga dimensi, yaitu penglihatan ke masa silam, ke masa sekarang, dan ke masa depan. Dengan demikian, mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah akan selalu terkait dengan "waktu’ yang terus bergerak dari masa sebelumnya ke masa-masa berikutnya serta melahirkan peristiwa-peristiwa baru yang saling terkait sehingga perjalanan sejarah tidak pernah berhenti.
Peranan sejarah memang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sejarah merupakan pengalaman kelompok manusia. Tanpa sejarah, manusia tidak mempunyai pengetahuan tentang dirinya, terutama dalam proses ada dan mengada. Manusia yang demikian tidak mempunyai memori atau ingatan, sehingga pada dirinya tidak dapat dituntut suatu tanggung jawab. Untuk itu, manusia yang punya rasa tanggung jawab, biasanya menyadari kedudukan sejarah sebagai suatu yang urgen dalam kehidupan terutama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun, pentingnya pelajaran sejarah sepertinya sudah lama diabaikan di negara ini. Belum lama ini masyarakat dikejutkan oleh pemberitaan televisi nasional mengenai minimnya pengetahuan sejarah anggota DPR RI. Seorang publik figur muda yang menjadi anggota DPR tergagap-gagap ketika harus menjawab isi sumpah pemuda. Ada juga siswa yang tidak tahu makna tiap butir pancasila. atau bahkan saat mahasiswa menjawab tidak tahu saat rekannya bertanya tentang gambar pahlawan yang tertera pada lembaran rupiah. Muncul pula keprihatinan berbagai kalangan mengenai hilangnya jati diri bangsa, KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), separatisme, dan primordialisme, serta banyak lagi lainnya.
Pengetahuan sejarah memang diberikan pada siswa SD, SLTP, dan SLTA. Namun, pemberian materi tentang sejarah dapat dikatakan belum efektif. Pelajaran sejarah yang terkandung dalam subpelajaran Ilmu Pengetahuan Sosialakan dipelajari siswa dengan waktu dua sampai tiga jam pelajaran. Selain itu tidak ada lagi asupan pengetahuan sejarah yang diberikan. Mungkin, jika tidak ada ritual kenegaraan–upacara bendera–yang dilakukan setiap hari senin di sekolah, Pancasila dan pembukaan UUD 1945 pun akan membias.
Selain batasan waktu untuk pelajaran sejarah, kurang jelinya pengajar dalam memberikan penguasaan terhadap pengetahuan sejarah juga menjadi alasan rontoknya minat siswa terhadap sejarah. Umumnya siswa menggambarkan sejarah sebagai mata pelajaran yang menghafal tanggal beserta kejadian yang terjadi pada tanggal tersebut. Orang tua yang merupakan guru bagi generasi muda Indonesia dalam lingkup lingkungan rumah juga bertanggung jawab atas fenomena kurangnya pengetahuan sejarah ini. Seharusnya orang tua dan guru saling bersinergi dalam menumbuhkan minat anak untuk pengetahuan yang lebih luas terkait sejarah.
Dari fenomena di atas, muncul pertanyaan apakah karena tidak dipentingkannya sejarah menjadi alasan minimnya kesadaran sejarah generasi muda sekarang? Lalu bagaimana usaha untuk meningkatkan kesadaran generasi muda tentang sejarah bangsa?
Revolusi kehidupan dari berbagai sisi memang mengubah padangan masyarakat dari berbagai hal, salah satunya pandangan tentang sejarah. Tidak dapat dipungkiri perkembangan zaman yang semakin maju membuat manusia kadang enggan melihat ke belakang. Hal ini pulalah yang diprediksi menjadi penyebab kurang dipentingkannya sejarah oleh generasi muda.
Sebagai negara berkembang, Indonesia selayaknya menekankan kembali aspek sejarah pada kehidupan masyarakat, khususnya pada generasi muda. Terlebih saat ini sudah dikembangkan kurikulum yang berasaskan karakter siswa. Memang sebaiknya pengetahuan sejarah lebih diresapkan pada siswa SD, SLTP dan, SLTA yang kelak akan menggantikan para pengemban amanah rakyat.
Untuk itu, menanamkan kesadaran sejarah bagi generasi muda lebih dari sekadar retorika. Membangun kesadaran sejarah bagi generasi muda harus dimulai dari hulu ke hilir. Maksudnya mempersiapkan teknik mengajar pengetahuan sejarah pada siswa dengan meminimalisir kekurangan yang terjadi sebelumnya. Sistem evaluasi yang tepat dapat menjadi aspek yang berperan penting dalam pengajaran sejarah pada siswa. Evaluasi yang dimaksudkan bukan jenis evaluasi tertulis yang formal. Namun lebih kepada pendekatan pembimbing dengan siswa yang dibimbing.
Pembelajaran sejarah merupakan proses yang mempunyai makna bagi siswa, bukan sekadar menghapal angka tahun dan peristiwa saja. Dengan menjadikan pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang bermakna, siswa diharapkan memiliki keterikatan dengan masa lalunya untuk diambil pelajarannya di masa depan. Dari sanalah muncul kesadaran sejarah bagi anak-anak muda sebagai calon pemimpin bangsa.
Komentar
Kirim Komentar