Di Balik Kekuatan Politik dan Kekuasaan
Meri Susanti
Judul : Etika Politik dan Kekuasaan
Penulis : Haryatmoko
Penerbit : Kompas
Cetakan : III, Maret 2014
Tebal ` : 288 Halaman
Sebahagian pecandu kehidupan duniawi menyatakan bahwa pangkat, kedudukan, jabatan, dan kekayaan merupakan sumber kekuasaan nan berukir kesejatian. Dalam realisasi pengabdian, pemegang kekuasaan adalah orang pilihan yang dianggap terbaik dan paling unggul di antara semua orang pilihan, pendek kata, adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan kebijakan yang sempurna. Namun jejak pendapat Plato ini ditantang oleh Aristoteles, sebab sangat tidak realistis bila ditemukan kebaikan abadi dan kesempurnaan di bumi ini. Logisnya, bahwa yang paling baik dan sangat realistis ialah bilamana pemegang kekuasaan itu terdiri dari banyak orang yang berasal dari kelas menengah, yaitu mereka yang telah bisa memanggul senjata dan yang takluk pada hukum.
Namun tak ayal, dalam praktiknya, kedudukan terkadang membuat mereka gila atas suatu keadaan yang dilabelkan dengan kata kekuasaan. Sebab kekuasaan seperti senjata, sesuatu yang ampuh, namun bisa ditinggalkan. Dan sebagaimana senjata, ia bisa berbahaya juga untuk diri pemegangnya. Dalam kekuasaan, tak seorangpun mendapatkan apa yang dicarinya. Kekuasaan tak akan seberapa, apalagi ketika politik menjadi arena untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi serta mendapatkan pengakuan. Politik bukan lagi seperti yang dikatakan oleh Hannah Arendt sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama.
Dalam kelamnya, tantangan utama filsafat politik Indonesia adalah kekerasan dan ketidakadilan. Struktur kejahatan yang hadir akibat politik kekuasaan. Praktik kekuasaan dijalankan bukan atas dasar etika politik, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan.
Haryatmoko, dalam Etika Politik dan Kekuasaan, mengatakan agar hubungan etika politik dan kekuasaan mewujud dalam perpolitikan, etika politik membutuhkan tempat berpijak, yaitu kekuasaan. Namun terkadang, dalam berpolitik etika itu merepotkan kekuasaan. Tersebutlah, bahwa etika politik sekaligus juga memperlihatkan keterbatasannya karena ia juga merupakan rezim wacana yang berarti juga dihasilkan dari hubungan pengetahuan-kekuasaan. Lalu menjadi kentara peta kekuatan politik dan apa yang menjadi sasaran kekuasaan.
Komentar
Kirim Komentar