Pendidikan Berbatas Waktu (?)
25-09-2014, 12:29 WIB
Yulia Eka Sari
Berlakunya kurikulum 2013 bukanlah akhir dari masalah pendidikan Indonesia lima tahun ke depan. Hampir satu tahun semenjak berlakunya kurikulum tersebut. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, kurikulum 2013 menambah segar berbagai kasus yang dulu sempat mencuat hingga naik kepermukaan. Masalah moral bak agenda yang enggan hengkang dari ranah pendidikan negeri ini, belum lagi baru-baru ini, kita dikejutkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam aturan ini, ditentukan bahwa beban belajar minimal mahasiswa S1/D-IV adalah 144 Satuan Kredit Semester (SKS). Untuk menuntaskan seluruh beban SKS, mahasiswa S1/D-IV diberi batas waktu 4-5 tahun (8-10 semester). Tidak hanya menyangkut generasi emas bangsa ini, kurikulum 2013 juga merambah ke generasi awal, penghapusan sekolah hari Sabtu di Ibukota masih saja jadi pembicaraan yang belum terselesaikan.
Memberikan batasan waktu pada pendidikan adalah hal wajib yang harus dilakukan oleh pemerintah. Jika kita merujuk bahwa waktu adalah uang, tentunya berharap jangan banyak uang yang terbuang dengan cuma-cuma. Namun, masalah pembatasan waktu tentu tidak dapat dipotong ringkas sama ketika kita mempersingkat mata kuliah satu semester menjadi satu bulan.
Pembatasan waktu dalam pendidikan bisa jadi mendatangkan angin segar bagi mereka yang benar-benar fokus di jalur pendidikan. Namun, bagi mereka yang tengah bereuforia karna bisa mengulur waktu untuk wisuda dan bagi siswa yang asyik melewatkan harinya bermalas-malasan di sekolah, menjadi suatu lecutan baru yang terpaksa siap mereka hadapi. Selain itu, kurikulum 2013 yang mengusung pendidikan karakter bukanlah hal yang mampu diciptakan dalam tempo yang singkat.
Seperti yang dikemukakan Thomas Lickona "Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan", artinya pendidikan karakter sudah dimulai semenjak dilahirkan ke dunia. Orang tua yang menjadi tiang utama dalam pembentukan karakter anak bangsa ini ke depannya, tentu mendapat tugas yang tepat karena dibutuhkan proses panjang dan rutin untuk membangunnya menjadi jati diri yang melekat kuat. Namun ketika pendidikan yang menjadi sarana bagi pencerdasan kehidupan bangsa dan mempertinggi peradaban dunia dibatasi oleh waktu, masihkah ini akan menciptakan kaum terdidik dengan karakter yang melekat kuat.
Alasan mempercepat waktu dalam dunia pendidikan, seperti cambuk bagi pelajar untuk tetap komitmen dengan pendidikannya. Sarana untuk mempraktikkan manajemen waktu yang tepat hingga nantinya ketika memasuki dunia kerja tidak canggung, menghemat biaya kuliah maupun sekolah yang berasal dari pemerintah atau saku orang tua sendiri sebagai dampak positifnya masihkah diagung-agungkan.
Satu hal yang terlupa. Seperti yang dibicarakan di atas, bahwa pendidikan karakter tercipta bukan dengan gampang. Tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan tersebut yakni kaum intelektual yang tidak hanya cerdas namun juga berkarakter. Tujuan mulia tersebut hendaknya dapat mengembalikan citra Indonesia sebagai masyarakat yang ramah tamah di dunia Internasional. Namun pecepatan waktu seperti cara instan yang dipaksa ditempuh guna melihat hasil yang lebih cepat.
Salah seorang tokoh Psikologi Humanistic, Carl Rogers, mengatakan "Siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas. Siswa juga diharapkan dapat membebaskan dirinya hingga ia dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang ia ambil atau pilih." Artinya kondisi memaksa tentu tidak menciptakan kebebasan tersebut, lalu apa gunanya diterapkan.
"Kami kuliah sambil kerja pak menteri krn orang tua kami tidak sekaya bapak. Jadi klau kami tidak ada biaya dan tidak ada kerjaan kami mengambil masa langkau sampai kami mendapatkan duit kembali utk kuliah. Kami harap bapak ngerti dengan keadaan rakyat miskin. (salam Indonesia)," ujar mereka pada kolom komentar JPNN.com dengan judul berita Kuliah Sarjana Paling Lama 5 Tahun. Ini gugat pemuda Indonesia. Ketika mereka benar-benar berjuang untuk melanjutkan studinya dengan cara mereka untuk memanfaatkan empat tahun masa luang. Ini patut di apresiasi karena hal demikian sudah melambangkan karakter. Kerasnya kehidupan menjadi guru yang baik untuk menghargai pendidikan, bukankah ini yang penting, lalu mengapa harus dipaksa mempercepat masa studi, ketika lambat namun membangun.
Menanggapi biaya pendidikan bagi mahasiswa tak mampu seperti yang disebutkan di atas, pemerintah telah memberi jalur Bidikmisi dan beberapa jenis bantuan belajar pemerintahan lainnya. Terlepas dari tepat atau tidak tepat sasarannya bantuan tersebut, masih banyak pemuda Indonesia yang berjuang dengan pendidikannya seperti kasus diatas, ini nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi.
Kasus senada yang dijumpai terkait dengan implementasi kurikulum 2013 adalah pembatalan sekolah hari Sabtu di Ibukota. Seperti yang diungkapakan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama, "Sekolah lima hari dalam sepekan lebih efektif bagi siswa maupun sekolah" (Kompas, 15/08). Hal ini dikarenakan kurikulum 2013 membuat waktu belajar bertambah yaitu rata-rata 6.300 jam/tahun untuk tingkat SD-SMP. Tentunya waktu belajar menjadi bertambah, setiap harinya. Membaginya menjadi enam hari dalam sepekan tidak akan menemui kendala yang berarti, namun ketika dibagi menjadi lima hari, akan terasa beratnya ketika pelajaran berlangsung.
Ditambah dengan berbagai macam kegiatan, seperti ekstrakurikuler yang juga sudah termasuk pada lima hari tersebut. "Hari sekolah itu termasuk kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain disekolah," ungkap Lasri Marbun selaku Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (Kompas, 15/08). Di sini dilema keterpaksaan semakin mencuat dan problemnya lebih besar karena menyangkut tumbuh kembangnya generasi awal bangsa.
Oleh dua problem di ranah pendidikan tersebut, terlihat bahwa implementasi dari kurikulum 2013 sendiri masih simpang siur. Waktu sebagai masalah utama dalam kasus ini tidak boleh dipangkas terlalu cepat. Pendidikan karakter tidak harus memaksa pelajarnya untuk mempergegas hal tersebut terwujud. Ketergesaan hanya akan membuat kecelakaan yang lebih besar. Tidak ada salahnya kita mengangsur-angsur jalan untuk kebaikan, seperti mengangsur menabung sehingga lama-lama menjadi bukit seperti yang dikoar-koarkan guru masa kecil kita.
Komentar
Kirim Komentar